Advertisement
Oleh: Prof. Yusmar Yusuf
Arnold van Gennep, tak lebih dari sebuah nama. Ya, hanya sebuah nama. Tapi, di belakang nama ini terpelanting beberapa pendaman menghunjam yang selama ini senyap dan misteri. Gennep membongkar, lalu mendedahkannya kepada dunia; tentang pasase dan rangkaian inisiasi (upacara) yang menyertainya dalam tahap-tahap transisi kehidupan manusia. Upacara ini seakan gerak siklik yang hampir berlaku secara universal. Dan itulah yang dikenal sebagai “rite de passage” (ritus-ritus masa transisi kehidupan).
Sastra amat lemak menggauli wilayah transisional ini. Sastra amat cerdik, lihai mengolah arena ini. Di sini ada serangkaian upacara, prinsip-prinsip dramaturgi, ada teater kehidupan yang dijalankan secara alami oleh setiap suku bangsa atau etnik apa pun. Pun, terhidang kekuatan ‘sastra lisan’ (bisa dalam bentuk mantra atau doa, cuca dan wafak suara). Pasase ini mengalami ‘pensucian’ ketika disauk oleh peristiwa gereja, dilaksanakan dalam kenduri berbasis Islam, dikemudikan oleh seorang resi di sebuah biara, seorang rabi dalam sinagoge, di kuil dan di tapak-tapak suci (bisa sungai dan rendamannya); bisa pula laut nan bergolak. Dan inilah yang dimaksud sebagai ‘wilayah kritis’ (critical area) dalam fase-fase kehidupan manusia. Persamaannya dalam garis waktu adalah maghrib sebagai wilayah transisi dari siang ke malam. Pun saat fajar (dari gelap ke benderang siang). Sastra tinggi dan kuat, terlahir dari wilayah-wilayah “transisional” ini. Sebuah wilayah yang bergolak, tak rendam-perbani.
Ritual transisi adalah ritual yang dijalani anak manusia untuk meninggalkan situasi yang lama, masuk dalam situasi yang baru (serba baru). Ada ritual setelah kelahiran (aqiqah, baptis dan pemberkatan air suci dalam tradisi agama-agama). Diikuti dengan pengguntingan rambut, asah gigi atau cukur. Ini sebagai penanda kesiapan bayi masuk dalam kehidupan sosial setelah kelahiran. Selanjutnya, masa transisi dari kanak-kanak ke masa pubertas (akil baligh). Ritual perkawinan (pernikahan); pada saat itu baik pria muda dan remaja puteri hilang dari bursa jodoh. Membangun unit sosial mungil dalam buana sosial bernama keluarga.
Pada sistem patrilineal, mempelai malah berganti marga, masuk dalam klan pihak suami. Selanjutnya ada lagi ritual pemakaman; transisi dari kehidupan “maya” di dunia ini untuk masuk ke alam barzakh (alam antara). Wah…. Sastra mendatanginya dengan lemak, lewat sajak, cerpen, lewat cerbung atau malah novel, roman, naskah drama dan seterusnya. Juga dilambung dan hayun lewat seloka, talibun, pantun dan gurindam. Sastra memahkotakan diri di atas fase-fase itu. Bak rajawali, namun tetap dalam misi burung dara (pasifis). Karena pada setiap pasase transisional ini ada cinta. Sastra adalah media cinta.
Ritual transisi di seluruh dunia mengikuti pola yang sama. Tahap pertama, ritual ‘perpisahan’. Ritual ini memikul tugas untuk memisahkan orang yang bersangkutan dengan kehidupan lamanya secara simbolik (dalam bentuk bercukur, asah gigi, gunting rambut). Ada pula lewat pemukulan dan penyiksaan jasmani; sebagaimana dulu para pelaut dan bangsawan Bugis membawa si bayi berlayar ke tengah laut menggunakan perahu kecil. Setiba di tengah laut, lalu melemparkan bayi itu ke tengah gelombang atau sekedar dicelupkan ke permukaan laut. Wah… teringat nama Arenawati dengan memoir Enda Gulingko (1991). Bayi, mengalami “kematian simbolis”. Masa aqiqah, juga biasa pula muncul kejadian si bayi menangis keras, menjerit kuat tanpa dikasi susu ibu dalam beberapa menit selama penabalan nama; jua mengalami “kematian simbolis”. Sebuah kematian yang memisahkan alam lama dengan alam baru yang akan disongsong.
Dalam permandian Katholik, seorang bayi pada masa lalu sengaja direndam kepalanya beberapa saat dalam bak mandi, sehingga nafas terhenti beberapa jenak. Ihwal ini juga menggambarkan kematian sekilas. Seorang pendeta yang ditahbis, juga harus menjalani “diam” beberapa menit di depan altar. Juga simbol kematian untuk memasuki alam yang baru. Dulu, dan dulu lagi, seorang tua bernama Zakaria (Zacarias; pamanda Siti Maryam @Maria), mengalami “kematian lidah”, tak bisa bertutur beberapa hari; juga sebagai penanda transisional bakal dianugerahkan seorang bayi bernama Yahya (Yohanes sang pembatis dalam tradisi Kristen). Dialah Nabi Zakaria yang renta, (mengulang kisah Ibrahim dan Sarah yang renta mendapat hadiah anak bernama Ishaq). Dan Yahya (Yohanes) inilah yang dalam kepercayaan Kristen yang memandikan Yesus (Nabi Isa) di sungai Yordan. Ihwal ini, juga mendedahkan silhouette panjang tentang “kematian simbolik” itu. Dikenal sebagai fase liminal. Seseorang dianggap maut (mati) secara simbolis. Terasa kejam? Wah sifatnya hanya sementara. Jelang menjalani fase normal dalam dunia dan alam yang baru.
Ada pula ritual yang berpembawaan memandu. Seseorang dengan sadar dipandu untuk memasuki kehidupan yang baru. Kenduri pernikahan, dilaksanakan dalam beberapa hari dengan maksud untuk memandu pasangan baru menakhodai bahtera perkawinan di samudera maha luas, tak bertepi. Walau terkesan menghambur-hambur biaya, namun hal ini masih dilakukan. Demi sebuah pemanduan transisional. Dulu upacara itu memakan waktu hampir satu minggu. Kini dipersingkat jadi dua hari. Sebab, orang-orang kaya Eropa juga mengalami ugahari atas simpanan dan tabungan mereka yang akan goyang di Bank. Apatah lagi kita di dunia ketiga.
Sastra bisa mendatangi ihwal pesta perkawinan ini sebagai gejala kematian Bank, fenomena kewafatan harta orang tua yang mengawini anak. Apakah ini masuk dalam kematian simbolis? Terserah anda mengolahnya. Dulu kenduri nikah-kawin, sekarang berubah sontak menjadi pesta perkawinan. Dilaksanakan di hotel-hotel bintang. Mengambil sebuah ballroom yang biasa dipakai untuk sebuah seminar internasional dan konferensi tentang keuangan dunia. Apakah liminal sastrawi? Jilat dan jelajahlah!!!
*Baca tulisan reflektif dari Prof Yusmar Yusuf lainnya: Tulisan-tulisan Prof Yusmar Yusuf