Advertisement
PojokSeni.com - Seringkali kita menemukan sebuah pertunjukan teater yang seakan "hanya parade kata-kata yang tak berbunyi". Subteks dari teks pertunjukan tidak sampai ke penontonnya. Hal itu berdampak pada penonton yang menjadi tidak mengerti, tidak merasakan, tidak memahami, dan pada akhirnya tidak menikmati pertunjukan tersebut. Pertanyaannya, bagaimana menjadikan teks pertunjukan teater yang sastrawi?
Dari sebuah obrolan santai pasca sebuah pertunjukan, bapak Slamet Rahardjo menceritakan kisah film tentang Samurai buta, Zato Ichi, yang berhasil mengakhiri nyawa samurai lainnya. Setelah itu, ia berkata, "jangan salahkan angin bila daun-daun berguguran."
Kalimat yang "nyastra" itu bisa diucapkan dengan baik alias "berbunyi" sehingga maknanya bisa sampai ke relung hati pemirsanya. Maka pertunjukan harus seperti itu, setiap teks mesti berbunyi dan sampai ke perasaan orang yang mendengarkannya, dalam hal ini kita sebut saja penonton.
Masih dalam rangkaian obrolan yang sama, Prof Yudiarni dari ISI Yogyakarta memberikan tips untuk "membunyikan" teks teater yang sastrawi. Dimulai dari awal pemilihan naskah, karena naskah yang dipilih tentunya akan menentukan pendekatan yang akan diambil, baik oleh sutradara, pemain, penata cahaya, penata musik, dan semua yang mendukung pertunjukan tersebut. Kenapa demikian? Karena teater merupakan ilmu pengetahuan, dibuktikan dengan adanya jurusan teater di sekolah seni. Karena termasuk ilmu pengetahuan, maka ada banyak teori pendekatan hingga contoh garapan yang bisa diambil untuk digunakan satu grup teater.
Ada beberapa naskah yang bentuknya seperti "puisi" alias teks teater yang sastrawi. Untuk naskah seperti ini, tentunya konvensi panggung realisme tidak bisa digunakan. Sebab, teks teater yang sastrawi lebih berbentuk puisi yang dibacakan. Teks tersebut lebih berupa anyaman atau tekstur dari berbagai elemen nondramatik yang tidak berbicara tentang struktur. Struktur yang dimaksud antara lain tema, plot, penokohan, latar, dan sebagainya. Teks tersebut justru memberikan ruang bagi hadirnya tekstur seperti suasana, irama, spektakel, dan dialog.
Jadi, tips dari Prof Yudiarni untuk "membunyikan" teks teater yang sastrawi adalah mencermati bagaimana tekstur tersebut membentuk struktur. Tidak seperti pertunjukan konvensional di mana struktur dramatik yang membentuk tekstur. Pertunjukan tersebut dijelaskan Prof Yudiarni adalah pertunjukan yang berangkat dari tekstur, yakni dari teks menuju panggung melalui liminalitas untuk menjadi sebuah struktur (yang baru).
Prof Yudiarni memberikan contoh penggarapan naskah atau teks nonrealisme, seperti naskah teater karangan Ionesco, Beckett, Jean Genet, Adamov, dan sebagainya. Di Indonesia, misalnya naskah-naskah karya Putu Wijaya, WS Rendra (Minikata), hingga Iwan Simatupang. Teks-teks tersebut bersifat nondramatik, maka eksplorasi yang harus dilakukan oleh sutradara hingga aktor adalah bagaimana cara mencipta "bahasa senyap". Cara kerjanya adalah, bagaimana layer-layer dari kalimat dan kata (subteks) dibongkar, kemudian dipertimbangkan irama, mood, dan tempo, lalu terus menerus diujicoba. Untuk naskah-naskah dengan suasana absurd, susana alienasi mesti ditemukan.
Dengan demikian, cara kerja sutradara membangun teksnya ialah melalui ketubuhan aktor. Hal itu merupakan kebalikan dari cara kerja konvensional di mana teks yang membangun ketubuhan aktor. Sutradara memiliki pekerjaan yang cukup rumit, yakni "membongkar" ketubuhan aktornya, lalu mendampingi aktornya mengubah gaya bermain sesuai maksud dari teks. Misalnya bila aktor terbiasa bermain dengan gaya realis, tentunya mesti diubah lewat proses latihan, eksplorasi, ujicoba berulang-ulang, dan sebagainya untuk membunyikan teks yang dimaksud.
Itulah kenapa, untuk teks-teks teater yang "sastrawi" itu, aktor terkadang tidak hanya mumpuni dalam seni peran, tapi juga mampu menari, bernyanyi, meng-komedi-kan kata-kata, dan sebagainya. Hal itu ditujukan agar penonton tidak hanya "menikmati pertunjukan", tapi juga tertawa, menangis, marah, berguling, melompat, jungkir balik, tersungkur, dan sebagainya untuk menjadi penanda betapa absurdnya kehidupan ini, dan sebagainya. Karena sebenarnya, seperti dikutip dari pernyataan pak Slamet Rahardjo, mencipta teater itu adalah mencipta kehidupan.