Advertisement
Oleh: Ambrosius M. Loho
Ide serta gagasan dasar ini tidak bisa dipisahkan dari konteks perayaan dan pemaknaan Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76, 17 Agustus 2021. Bukan merupakan sesuatu yang kebetulan bahwa ide serta gagasan ini, muncul dan memicu penulis untuk merajut sepotong tulisan ini, terkait konsep wisata religi budaya yang akan dibangun di tempat yang dinamakan Watu Pinantik atau Bukin Pinantik Desa Kali Kecamatan Pineleng Minahasa, Sulawesi Utara. Tidaklah sesuatu yang kebetulan juga, gasasan ini muncul dalam diskusi yang terlampau singkat dengan seorang Romo Rhein Saneba pr., (Pemimpin Gereja Katolik di Gereja St. Antonius de Padua, Kali), yang ketika penulis mengunjungi tempat tersebut, sedang berada di tempat ini. Bak gaung bersambut, gagasan yang muncul dari diskusi yang terlampau sederhana itu, memunculkan beberapa poin penting terkait bagaimana upaya untuk memajukannya, bukan hanya sebatas ‘euforia’ bahwa di tempat ini terdapat situs bersejarah Watu Pinantik/Bukit Pinantik, jadi saya harus mengunjungi tempat ini. Adapun situs bersejarah ini telah dilengkapi dengan ‘Salib Suci’ yang berdiri megah menghadap Kota Manado, seolah memberi berkat bagi realitas di hadapannya. Dalam berbagai sumber penulis menemukan bahwa pada mulanya, lokasi Watu Pinantik ini merupakan tempat persembuyian bangsa Spanyol ketika terjadi perang dengan suku Tombulu. Dan menurut sejarahnya, Pastor Lorenzo Geralda (seorang imam Katolik berbangsa Portugis) terbunuh di lokasi ini dan diperkirakan dikuburkan di sini pula. (http://sebuah-episode.blogspot.com/2012/06/watu-pinantik-lokasi-religius-yang.html, tulisan ini pernah pula dipublikasikan di SKH Swara Kita). Sumber lain mencatat bahwa Watu Pinantik adalah jejak seorang Imam Katolik berkebangsaan Spanyol bernama Pastor Lorenzo Gerald. Sekitar tahun 1639 Pastor Geralda bergabung dengan pasukan Spanyol untuk pergi ke Sulawesi Utara, dalam misi menyebarkan agama Katolik di Minahasa (termasuk ke desa Kali). Meskipun mereka memiliki tujuan yang benar untuk masyarakat dengan tujuan menyebarkan agama Katolik, tetapi mereka telah menolak karena masyarakat setempat telah mempercayai nenek moyang mereka. Lorenzo lari dan bersembunyi di perbukitan perbukitan ‘Watu Pinantik’. (https://zonautara.com/2017/09/26/watu-pinantik/). Fakta ini, tentu menyiratkan bahwa upaya untuk mengangkat kembali ‘keagungan’ situs budaya Watu Pinantik ini, menjadi tanggung jawab generasi masa kini. Kendati demikian, tentu upaya-upaya itu harus dijalankan secara bersinergi, oleh pelaku sejarah, warga setempat yang memiliki pengetahuan tentang sejarah awal situs budaya ini, tetapi juga siapapun yang menurut cara masing-masing mencoba mengangkat situs budaya ini dalam sebuah konsep yang menarik. Teranyar, Romo Rhein Saneba pr, melengkapi lokasi ini dengan Salib Suci Yesus Watu Pinantik. Upaya-upaya yang telah ada selama ini, tentu tidaklah terpisah dari konsep pemajuan budaya yang telah ‘diundangkan’ dalam Undang Undang No. 5. Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dari undang-undang ini penulis berkeyakinan bahwa segala daya dan upaya yang dilakukan terkait memajukan kebudayaan itu, adalah tugas kita semua. Benar bahwa pemajuan kebudayaan memiliki cara, model dan gerakan tertentu, tapi pada dasarnya pula pemajuan kebudayaan lewat undang-undang pemajuan kebudayaan merupakan wujud perhatian pemerintah di bidang kebudayaan. Terjadi demikian karena, Undang-undang Pemajuan Kebudayaan No 5 tahun 2017 ini memberi pondasi bagi pengembangan kebudayaan. Dengan itu pula, kita (semua individu di Republik Indonesia) didorong untuk terus memajukan budayanya, memperjuangkannya dan bahkan mengembangkan serta mempopulerkannya. Perayaan kemerdekaan Republik Indonesia saat ini, atas cara tertentu ternyata melahirkan ide serta gagasan yang jitu, yang muncul dalam diskusi bersama Romo Rhein, di Watu Pinantik, untuk fokus pada pemajuan kebudayaan ini. Ide serta gagasan yang muncul itu, sejalan dengan apa yang terjadi dalam Kongres Kebudayaan 2018. Dalam Kongres Kebudayaan 2018 telah dipaparkan agenda strategis untuk pemajuan kebudayaan. Agenda strategis itu dapat disebutkan sebagai berikut bersama pertanyaan reflektifnya: Pertama, menyediakan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong interaksi budaya untuk memperkuat kebudayan yang inklusif. Pertanyaan dasarnya, apakah kita sudah menyediakan ruang bagi keragaman untuk bisa mengekpresikan budaya sehingga mendorong interaksi budaya itu terjadi di dalam masyarakat secara massif. Tentu hal ini tidak mudah, karena semua orang perlu ‘concern’ dalam hal ini.
Kedua, melindungi dan mengembangkan nilai ekspresi dan praktek kebudayaan tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional. Perlindungan dalam hal pengembangan budaya saat ini, akan turut memperkaya budaya nasional. Kendati demikian, apakah praktek-praktek pengembangan itu sudah dilindungi?
Ketiga, mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan budaya untuk memperkuat kedudukan Indonesia di dunia internasional. Prospek Indonesia dimata dunia internasional tentu tidak bisa dipungkiri ‘tak tertandingi’. Mengapa? Karena Indonesia adalah negara adi daya budaya. Hal ini tentu harus dilihat sebagai peluang, dalam menjadi ‘jalan lurus dan mulus’ untuk semakin memperkenalkan budaya itu kepada dunia internasional. Keempat, memanfaatkan objek pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tentang objek pemajuan kebudayaan yang sudah diundangkan, tentu semakin membuka pemanfaatan kebudayaan itu. Kelima, memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem. Keenam, reformasi kelembagaan dan pengganggaran kebudayaan untuk mendukung agenda pemajuan kebudayaan. Ketujuh, meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan. (Lih. Indonesiana: Kilau Budaya Indonesia, Vol. 4 tahun 2018: 24-25). Laman pojok seni mencatat bahwa upaya pemajuan kebudayaan akan terkait secara otomatis dengan hal-hal berikut: Eksplorasi yang berarti atau terus mencari dan menggali, kemudian, menambah, mengembangkan dan memperbesar atau enhancing. Selanjutnya, membuka untuk segala kemungkinan, dari ilmu pengetahuan seni modern untuk pengembangan bentuk seni tradisi setempat (exposing). Dan tentu saja ketika ketiga hal tersebut telah dilakukan, dilanjutkan dengan promosi. Promosi menjadi penentu, karena sebuah upaya pengembangan budaya dan seni, serta situs tertentu, tidak akan ‘awet’ tanpa promosi. (https://www.pojokseni.com/2020/01/menjaga-eksistensi-kebudayaan-indonesia.html). Dalam konteks Watu Pinantik Desa Kali ini, upaya untuk eksplorasi terus akan berjalan seiring dengan telah dibangunnya ‘Monumen Salib Suci ini, karena didalamnya terdapat rumah budaya. Sejalan dengan itu, pengembangan, penambahan serta perluasan ruang lingkup pengembangan situs ini, pun telah diwacanakan seiring berjalannya apa yang sudah ada saat ini, yakni, dibukanya tempat ini sebagai tempat ‘ret-reat’ bagi komunitas-komunitas yang membutuhkan tempat (enhancing). Selanjutnya pengembangan ilmu pengetahuan seni dan budaya modern juga telah ada ditempat ini, terkait tempat untuk berdiskusi demi menemukan gagasan cemerlang untuk pemertahanan sebuah budaya (exposing). Dan akhirnya, promosi pun sampai saat ini telah berlangsung secara masif dengan pemanfaatan berbagai media sosial yang ada. Salam Budaya.*** (bersambung.........)