Advertisement
pojokseni.com - Seorang sutradara, dramaturg, dan periset teater Indonesia, Taufik Darwis menyebut bahwa kebanyakan teater di Indonesia minim karya berbasis proses. Hal itu disebutkannya dalam sebuah acara bertajuk Lampung Kultur yang diprakarsai oleh Komunitas Berkat Yakin (KOber) Lampung. Dalam episode yang ditayangkan pada tanggal 1 Agustus 2021 lalu, acara yang dipandu oleh pemantik Ari Pahala Hutabarat (sutradara KOBer Lampung) tersebut, menghadirkan Taufik Darwis sebagai tamu atau narasumber.
Menarik menyimak obrolan antara Ari Pahala Hutabarat dengan Taufik Darwis. Ari Pahala Hutabarat menyebut bahwa dirinya pesimis dengan proses "eksperimen" teater yang berbasis penonton (spektator), atau apapun yang berbentuk eksperimentasi lainnya. Ari awalnya menyebut dalam pemikirannya bahwa pertunjukan teater yang baik mesti bermula dari menguasai akting realis dengan baik. Sebagaimana seni rupa, seorang pelukis mesti mampu melukis realis dengan baik dan benar, proporsi yang tepat, dan teknik yang tepat, baru pada akhirnya mampu melukis abstrak dan sebagainya. Keterampilan sebagai performer berdasarkan disiplin tertentu menjadi hal yang wajib dikuasai, sebelum akhirnya bereksperimen ke mana-mana.
Namun, menurut Taufik Darwis, bisa jadi seorang memiliki kecenderungan tertentu, juga bisa menarik dan menjadi pertunjukan yang baik pula. Misalnya, seseorang menguasai seni teater yang sudah berkembang sejak dulu di daerahnya masing-masing. Misalnya, seseorang yang memelajari lenong sejak kecil, atau mungkin ludruk, atau mungkin bentuk teater tradisional lainnya. Lalu, mengapa dia harus memelajari Stanislavsky tapi tidak "nyambung" apabila mereka punya basis teater sendiri. Jadi, menurut Taufik Darwis menyebut harus ada "jalur ketiga" ketika performer tersebut tidak mampu mencapai realisme Stanislavsky.
"Hal itu juga agar tidak terjadi jawasentris. Sebab, ilmu pengetahuan teater memang berkembang dan didiskusikan di Jawa. Sedangkan teater modern berangkat dari dari situ," kata Taufik.
Pernyataan itulah yang kemudian disambut pesimistis oleh Ari Pahala. Ia menyebut, eksperimen seperti itu bisa dilakukan oleh "orang pintar" alias orang-orang yang sudah memelajari ilmu pengetahuan teater dengan baik dan disiplin. Apabila dilakukan oleh orang yang tidak punya pengetahuan yang cukup tentang teater modern, khususnya realisme, maka jadinya akan asal-asalan.
"Yah, kalau orang seperti itu sebaiknya jangan dipaksakan untuk membuat karya," jawab Taufik disambut gelak tawa oleh Ari Pahala.
Hal itu kemudian ditanggapi lagi oleh Ari Pahala, yang kemudian melempar pertanyaan tentang latahnya teater Indonesia. Hal itu terjadi di berbagai daerah di Indonesia yang seakan mengikuti apa yang sedang terjadi di Jawa, tanpa dibekali ilmu yang cukup tentang seni teater, khususnya realisme.
"Kita lihat ketika teater Sae dulu membuat pertunjukan teater tubuh, nah seluruh Indonesia tiba-tiba teater tubuh seluruhnya. Begitu juga ketika ada bentuk teater kontemporer lainnya, post-dramatik dan lain sebagainya. Berbagai daerah di Indonesia akan ikut buat pertunjukan serupa, tapi bisa dilihat belum ada yang beres pertunjukannya," kata Ari.
Taufik Darwis menyebut bahwa teater-teater di Indonesia sangat minim karya berbasis proses. Tidak hanya itu, proses diskusi pasca pertunjukan juga sangat dibutuhkan untuk memperkuat dan menyempurnakan karya seorang seniman. Anggap saja sehabis pertunjukan, mestinya penonton juga dilibatkan untuk memberikan masukan, tanggapan, dan pandangan terhadap pertunjukan tersebut. Maka ada banyak hal yang bisa diambil dari penonton oleh seorang seniman untuk memperkuat karyanya di kemudian hari.
Tidak hanya itu, ada banyak hal lain seperti pemaparan dapur teater itu sendiri. Bagaimana proses penciptaan, hingga penyusunan pertunjukan tersebut sampai akhirnya dipentaskan. Hal itu juga mesti dibuka secara transparan, agar terlihat di titik mana ada kejanggalan dan kesalahan yang berakhir pada hal-hal yang kurang memuaskan penonton di pertunjukannya.
Hal itu dianggap bisa menjadi jawaban untuk menyempurnakan pertunjukan teater, menurut Taufik Darwis. Meski demikian, ia juga mengamini bahwa seorang performer, juga grup teater mesti benar-benar menguasai semua pengetahuan baik teoritis maupun praktis sebelum akhirnya mampu menggelar pertunjukan yang benar, dan bagus.
Sayangnya, diskusi seperti inilah yang masih kurang diberdayakan di Indonesia. Semestinya, agar karya mencapai kesempurnaan artistik, mulai dari teknik sampai hal lainnya mesti didiskusikan dan dibicarakan. Penonton juga mesti mendukung karya seniman dengan berpikir bahwa tidak ada pertunjukan yang tidak bisa "diperbaiki". Bila idenya "jelek" maka masukan dan saran dari penonton tentunya mesti membuat ide tersebut menjadi bagus. Sedangkan yang bagus, menjadi semakin sempurna.
Taufik Darwis beberapa waktu yang lalu menggelar pertunjukan bertajuk Lusi Pakan Sumbi yang dibiayai oleh Kemendikbud RI melalui program FBK. Karya tersebut merupakan sebuah instalasi pertunjukan tekstil yang dikaitkan dengan legenda Dayang Sumbi yang begitu melegenda di Jawa Barat.
Dalam cerita tersebut, ada sebuah gulungan benang milik Dayang Sumbi yang terjatuh dan Dayang Sumbi berjanji siapapun yang akan mengambil gulungan benang tersebut akan dijadikan suaminya. Hingga akhirnya, justru anjing penjaganya yang mengambil gulungan benang tersebut hingga ia menikahinya.
Siklus dan semesta di sekitaran gulungan benang, yakni industri tekstil menjadi perspektif utama karya ini. Gulungan benang inilah yang menjadi sebuah peradaban, mulai dari pabrik benang, sampai fashion show. Karena itu, pertunjukan instalasi tekstil tersebut melibatkan seniman dari berbagai disiplin, bahkan juga desainer fashion, hingga model prossional.