Advertisement
Oleh: Dominica Diniafiat (Akademisi, Seniman dan Pegiat Budaya AJD Sahabat Budaya Jakarta)
Pandemi yang teralami selama hampir 2 tahun ini, tentu menyesakan bagi semua orang. Dunia seakan tidak siap dengan wabah yang cukup menyeramkan ini. Dunia pun seakan tidak siap sedia dengannya, karena datangnya pun tidak serta merta membuat setiap manusia untuk awas terhadap dampak terbesar dan terhebatnya. Tak kurang dari ekonomi, pendidikan, serta berbagai sektor yang dalam bahasa pemerintah, sektor esensial, terdampak dengan pandemi ini.
Kendati dampaknya membuat semua hal ‘kocar kacir’, tapi kebudayaan tidaklah demikian. Ada anggapan bahwa justru ‘dengan pandemi’ ini, sebuah budaya baru terbentuk. Dengan maraknya budaya webinar, budaya bertemu secara virtual, budaya pertemuan daring, serta budaya-budaya berbentuk blended learning, tentu membuka semua kemungkinan pertemuan dengan siapa saja, walaupun sebatar dalam edisi virtual. Semua hal tentu tidak bisa tidak, harus ditempuh dengan dan atau model yang demikian.
Penulis yang cukup ‘concerned’ pada budaya ini, tentu merasa bahwa kesempatan untuk merenungkan dunia, merenungkan budaya, serta merenungkan berbagai kreativitas di berbagai bidang, justru seakan dibukan kemungkinan sebesar-besarnya, juga karena penulis memiliki banyak waktu luang karena sudah harus ‘work from home’.
Kerukunan Keluarga Kawanua, sebagai wadah yang mempertemukan keluarga kawanua (demikian orang Manadao menyebutnya), mencoba menarik berbagai problem kedalam cara pandang berbasis kearifan lokal. Banyak hal telah dibuat, dengan fokus pada pengembangan berbagai kearifan lokal. Demikian pun, kerukunan ini mencoba fokus pada bagaimana kearifan lokal bisa turut mempertahankan eksistensi bukan hanya manusia Minahasa, tapi juga eksistensi berkehidupan manusia Indonesia pada khususnya. Dan dalam kerangka itu, penulis telah pula merilis sebuah refleksi yang telah dipublikasikan sebelumnya dengan judul ‘Kearifan Lokal Minahasa dalam konsep ‘Momasa di Buluh’.
Bak gaung bersambut, kegiatan untuk menumbuhkan kearifan lokal, sebagai fondasi kuat untuk bertahan ketika wabah ini menyerang, telah pula merambah bidang kearifan lokal lain yakni tradisi lisan. Terkait hal ini penulis meyakini bahwa kearifan lokal bertutur dengan segala bentuk dan modelnya di Minahasa merupakan magnit yang menyatukan antar unsur yang berbeda beda latar belakang, karena ‘sense’ humor melibatkan rasa. Baik rasa terhibur, rasa gembira, rasa tersindir, rasa terharu, termasuk rasa terinspirasi dan lain-lainnya yang bisa menjadi perenungan bagi pendengarnya, penikmatnya, dan peng-idola-nya.
Dalam menyampaikan cerita lucu ini, konteks yang disampaikan tentu macam macam karena sesuai ide nya, dari kisah/ pengalaman seseorang baik pengalaman pribadi atau kisah orang lain, atau kisah seorang tokoh dan lain sebagainya. Demikian juga, hal itu, tidak hanya karena miss komunikasi tapi juga menjadi lucu karena salah paham yang disebabkan salah dengar, dan ketidaktepatan dalam memaknai kata dengan situasi. Atau gagal paham dalam memaknai suatu “kata” yang sama tapi pengertiannya berbeda yang biasa kita sebut homonim. Di sisi yang sama, ketika menceritakan cerita lucu itu terdapat daya khayal ‘creator’ (cerita fiktif) yang membuat cerita tersebut menjadi lucu, namun dalam lingkup etnis yang sama, sehingga dari fakta ini menjadikannya perekat dalam tradisi kearifan lokal tersebut.
Berbanding lurus dengan hal itu, penulis berkeyakinan pula bahwa untuk bercerita (seni cerita lucu), sebetulnya tidak harus yang berbakat, karena hal itu bisa dilatih dengan cara-cara kreatif dalam rangka memperkaya, memilih dan memilah konteks, menggali makna dan lawan makna menjadi sebuah ‘story’ yang positif, konstruktif, adaptif dan solutif. Melampaui itu, hal ini penting karena seni bertutur yang arif adalah penanda identitas sebuah komunikasi.
Dalam konteks Minahasa, kita semua mengetahui bahwa, keragaman bahasa dan gaya bahasa etnis dan sub-etnis yang ada di Minahasa merupakan sebuah kekayaan yang amat bernilai, yang menjadi warna tersendiri kehidupan orang Minahasa. Dilatari oleh hal ini, apapun bentuk kearifan sejatinya sarat dengan kebajikan, karena hal itu menyangkut bagaimana masyarakat hidup dan bagaimana manusia memperlakukan orang lain satu sama lain dengan standar nilai kearifan lokal.
Adapun standar yang dimaksud adalah standar tindakan dan sikap yang mendefinisikan siapa kita, bagaimana kita hidup dan bagaimana kita memperlakukan orang lain dalam hidup bersama. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana kita yang hidup dikehidupannya, berelasi baik dengan Tuhan-nya, alam semesta-nya, keluarga-nya, masyarakat dan tanah air/bangsa kita.
Maka atas adanya kearifan lokal tradisi lisan berbentuk cerita lucu-humor di Minahasa ini, tentu harus dan penting untuk dilestarikan, karena kearifan lokal merupakan pandangan hidup dan ilmu pengetahuan yang juga merupakan strategi kehidupan yang tercermin dalam kegiatan sehari-hari masyarakat setempat. Memelihara dan mempertahankan kearifan lokal juga tentu akan dipandang sebagai upaya untuk membangun kesadarn dan ingatan masyarakat luas bahwa seni budaya merupkan faktor penting, seni budaya kita ada. Seni budaya kita adalah bagian eksistensial diri kita sendiri. Salam seniman.