Realisme Sosialis: Mimetisisme versus Fungsionalisme -->
close
Pojok Seni
04 August 2021, 8/04/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-08-04T00:00:00Z
ArtikelSejarah

Realisme Sosialis: Mimetisisme versus Fungsionalisme

Advertisement
Andrei Zhdanov


pojokseni.com - Realisme sosialis adalah satu-satunya aliran yang diperbolehkan di Uni Soviet di era tahun 1934 hingga 1956. Saat itu, ada nama Andrei Zhdanov yang diberi mandat oleh Stalin sebagai komisaris besar kebudayaan Uni Soviet. Maka, Zhdanov adalah orang yang melakukan kodifikasi terhadap realisme sosialis tersebut. Selanjutnya, hasil kodifikasi Zhdanov menjadi satu aliran tersendiri yang sering disebut Zhdanovisme.


Sebelumnya, terkait sastra dan kesustraan, Partai Komunis Uni Soviet yang tengah berkuasa mengeluarkan dekrit yang berisi kebijakan partai tersebut di area kesusasteraan. Salah satunya adalah partai mesti mendukung kompetisi bebas di antara berbagai mazhab kesusasteraan. Namun dekrit yang keluar di tahun 1925 itu tidak berlangsung lama, karena di tahun 1932 terjadi pembatasan dan rekonstruksi organisasi kesenian. 


Di saat itulah, Zhdanov mengenalkan realisme sosialis yang menjadi ideologi resmi kesenian di Uni Soviet. Sastrawan, menurut Zhdanov, adalah insinyur jiwa manusia. Maka, sastrawan mesti menciptakaan citra manusia sosialis yang paripurna moral sosialisnya. Namun, ketika pertama dikenalkan, realisme sosialis cukup memberikan banyak pertanyaan baru.


Misalnya, realis memiliki kecenderungan mimetik. Sedangkan "realisme sosialis" sebagai ideologi dalam manifestonya diminta untuk mendidik dan membentuk rakyat yang memiliki ideologi sosialisme. Tidak hanya itu, "setia pada kenyataan" sebagaimana yang diharapkan realisme, bagaimana bisa sekaligus menjadi "pembentuk ideal kenyataan"?


Padahal, itu yang sebelumnya membedakan realis dengan tradisi estetika klasik. Dalam tradisi estetika klasik, "kenyataan yang ideal" direpresentasikan lewat karya seni. Kenyataan yang ideal tersebut terlebih dulu dievaluasi secara normatif, berbasis asumsi bahwa kebaikan akan selalu melawan atau berhadapan dengan keburukan. Dan nantinya, penonton atau pemirsa akan selalu berpihak pada kebenaran. 


Apakah estetika Marxis, termasuk realisme sosialis di dalamnya menggunakan perspektif yang sama? Hal itulah yang sebenarnya tidak begitu disadari (mungkin) oleh Zhdanov. Ia tetap menginginkan sekaligus merumuskan karya realis yang menampilkan "idealnya kenyataan" bukan "menampilkan kenyataan". Selanjutnya, rumusan realisme sosialis Zhdanovisme menjadi lemah secara teoritis.


Realisme sosialis Zhdanov selanjutnya lebih menekankan fungsionalitas, alih-alih mimetik. Bahkan, sejumlah catatan menyebut bahwa "ketimbang" unsur fungsionalitas, realisme sosialis ala Zhdanov justru telah direduksi menjadi semacam praktik glorifikasi. Hasilnya, ada satu sisi yang hilang padahal itu adalah inti utama dari estetika Marxis, yakni kritik.


Karena kehilangan dimensi kritik, maka sejumlah pihak menyebut bahwa realisme sosialis ala Zhdanov lebih sebagai romantisisme revolusioner. Tentunya, visi utama menanamkan nilai-nilai heroik, revolusioner, juga ingin membangun hal yang disebut sebagai "manusia soviet" oleh Stalin. Pada akhirnya, apa yang dikodifikasi oleh Zhdanov justru menjadi upaya untuk menciptakan budaya lalu ditanamkan pada kebudayaan proletar di Soviet. Bukan berupa rekonstruksi dari kehidupan dan kenyataan sebagaimana visi dari realisme itu sendiri.

Ads