Advertisement
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil
Tulisan berawal dari ketertarikan penulis dengan sebuah tema yang diangkat dalam Diskusi Publik Program Studi Filsafat Universitas Indonesia, Kamis, 12 Agustus 2021. Tema umum yang diangkat adalah tentang estetika. Dari diskusi tema ini, penulis yang cukup tertarik dengan tema ini kurun 3 tahun terakhir mencoba berefleksi setelah paparan dari para panelis dalam diskusi publik ini. Selanjutnya penulis segera beranjak untuk melihat dan sedikit menelaah apa itu estetika sedari awal sejarahnya.
Dalam catatan penulis terdahulu, estetika sering dipahami sebagai ‘sesuatu yang indah’. Paham ini telah secara gamblang dikenal umum oleh pekerja seni, atau sekurang-kurangnya para peminat filsafat seni. Kendati demikian, paham ini, bisa dipahami dalam beberapa perspektif, seperti: Sesuatu yang indah karena memang sesuatu itu estetis, maka disebut estetis, kemudian sesuatu menjadi indah karena ada khazanah estetis di dalam sesuatu itu. Demikian pun, sering muncul sebuah pertanyaan mengapa disebut estetis, serta hal-hal lain yang berupa pertanyaan dan pernyataan terkait hal itu. maka hal-hal tersebut itulah yang menyiratkan perbedaan estetika bagi para seniman dan para filosof di bidang seni.
Untuk bisa menelaahnya secara lebih mendalam, kita perlu memahami etimologi estetika ini. Secara etimologis, estetika berasal dari kata Yunani: aisthetike yang berarti segala sesuatu yang dicerap oleh indera (pencerapan). Pada kelanjutannya estetika dipahami sebagai refleksi kritis dan penilaian terhadap sesuatu apakah sesuatu itu indah atau tidak indah, beauty or ugly, dsb. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera dan perasaan atau apa yang disebut taste. (Sudiarja 2015: 1).
Dalam praktek sehari-hari, estetika berarti pencerapan. Segala sesuatu yang dicerap oleh indera, muncul pada saat pikiran subjek, mulai terbuka dan mengalami berbagai keterpesonaan rasa. Di sisi yang sama, estetika berkaitan dengan fakta bahwa tolok ukur sesuatu yang indah adalah sesuatu yang memberi kepuasan, maka yang indah adalah yang berharga pada dirinya (Sutrisno 1993: 84). Apapun itu, itu adalah tentang rasa- ‘sense’ -‘sensation’.
Tommy Awuy dengan perspektifnya mengatakan bahwa estetika itu adalah soal rasa. Sejalan dengan pandangan Yunani Kuno, estetika adalah sebuah kegiatan inderawi, sebuah aktivitas indera yang melahirkan kesan khusus (dikenal dengan apa yang disebut ‘sensation’. Adapun ‘sensation’ atau ‘sense’ ini, tidak bisa lepas dari kebertubuhan manusia, karena dia ada di dalam tubuh subjek - manusia. Jadi prinsipnya, dalam setiap disi subjek pasti ada aktivitas indera. Aktivitas indera itu tentu akan melahirkan rasa, sense dan atau sensation. Hal itu mutlak demikian.
Berbanding lurus, dengan itu, Aristoteles menegaskan bahwa estetika memiliki kunci yakni rasa. Dengan rasa, sang subjek bisa merespon sesuatu. Sedemikian penting rasa itu, seorang seniman akan menciptakan karyanya berangkat dari rasa-sense dan bahkan sensation yang ada padanya. Dengan begitu, maka dapatlah dikatakan bahwa seoran seniman adalah makhluk yang paling sensitif, karena jika tidak memiliki kecapakan ini, maka seseorang tidak bisa dikategorikan seniman (?).
Sejalan dengan hal itu, penulis tertarik dengan salah satu refleksi, demikian penulis ingin menamakannya, pada laman pojokseni.com bertajuk: Saat Karya Seni Tak Terjangkau Logika, Apa yang terjadi? Pertanyaan yang muncul dalam judul artikel ini mementaskan bahwa ketika sebuah karya seni tidak bisa dijangkau logika, apakah karya seni tidak bisa dipikirkan lagi? Jika demikian, apakah memang sebegitu adanya?
Penulis memandang bahwa antara rasio dan rasa tentu ada sinergitas. Tidak mungkin seorang seniman yang sebagaimana diuraikan di atas, bergerak berkesenian dan berketerampilan didasarkan oleh rasa, pada saat yang sama tidak menggunakan rasio berpikirnya. Hemat penulis, seorang seniman tentu bekerja atas dasar rasa dan rasio. Mengapa demikian? Karena setiap seniman, dan kegiatan berkesenian, pun para pengamat seni yang masing-masing memiliki ‘sense’, pasti harus menyertakan pula pertimbangan rasional. Pertimbangan layak atau tidak sesuatu disebut indah, layak atau tidak untuk dipublikasikan. Dengan demikian, hemat penulis, ketika ada karya seni yang tidak bisa dijangkau, jika memang ada karya seni yang sedemikian sulit untuk dijangkau, pada dasarnya masih bisa dijangkau oleh logika atau katakanlah konstruksi berpikir.
Belajar dari ajaran rasionalisme, estetika tanpa rasio, estetika tidak berarti apa-apa. sebuah karya jika tidak dibentuk karena rasionalitas berpikir, tidak bisa dianggap sebagai sebuah karya, karena ‘endingnya’, tidak bisa dipertanggung jawabkan. Jadi, perlu dipertegas lagi bahwa seorang seniman yang sejati adalah yang menggunakan sense dan rasio secara bersinergi dalam menciptakan karya. Demikian juga, seorang seniman tidak hanya berpikir terus menerus tanpa berkarya. Sebuah karya adalah wujud dari fenomena diri sang seniman.