Advertisement
Oleh: Prof Yusmar Yusuf*
Keledai yang berkandang di pustaka, tak kan pernah jadi terpelajar. Maka, manusia tak harus berhubungan dengan orang baik. Sebab, kebaikan itu sendiri bersifat niskala, walau niscaya. Tumpukan buku di pustaka adalah “ihwal’ tentang yang ‘baik’ (walau ada kisah buruk, tapi tetap disalin pada jempana dengan huruf “b” kecil. Bukan “B” besar). Sebaliknya manusia harus terhubung dengan “bentuk” yang memungkinkan mengubah fungsinya dan membuatnya menjadi baik (ahsan). Di sini, manusia mencoba mempraktikkan etika dan pengembangan diri dalam ikhtiar yang lain. Bukan ikhtiar “arus perdana” (mainstream). “Harta karun, tetaplah harta karun. Namun, jika dia diambil untuk membangun sebuah kerusuhan berikutnya, harta karun itu harus dimanfaatkan dengan cara tertentu”, ujar Abdal Ali Haidar. Begitu banyak orang berlaku baik atau berkumpul dengan orang baik-baik, bijak mulia dan bestari, namun semua ini tak lebih dari tipuan. Mereka adalah serombongan kafilah yang tertipu, seolah telah menjalani “pengembangan diri” alternatif nan purna. Atas nama agama, tak sedikit kisah orang berubah sontak jadi biadab dan pemantik api kerusuhan. Mencoba berbuat baik, lacur berkata lain, malah mengobarkan tabiat buruknya dalam rangkaian perbuatan “api” berjela-jela.
Maksura ialah sebuah lokus di dalam masjid dengan rias dan hiasan serba menggantung laksana nadi surgawi (sisian atas serba menawan dan mewangi); letaknya berdepan dengan mihrab. Inilah tempat raja, seorang penguasa yang mengkonstruksi dirinya sebagai “bangkai elit” di rumah Tuhan. Raja, penguasa dan segala ikutannya tak lebih dari benang yang menembus di antara dua permata; benang tak kan jadi mulia. Dia tetaplah benang. Laksana tanah subur yang di bawahnya terpendam tambang harta karun. Begitulah kebaikan, sama sekali tak memajukan diri, dia tak lebih dari sebuah tapak sunyi nan subur. Penyair sejati, sufi sejatilah yang rela mensunyikan diri bak tanah subur itu. Maksura itu tak lebih dari bungkusan (casing) yang bisa dibalut segala pernik mengikut persepsi dunia, bukan persepsi alam. Maksura, diperkenalkan oleh para raja Andalusia demi mengikat keabadian mengenai nama-nama. Tapi? Nyatanya TAK. Sejarah membangun tembok serba TAK tentang tokoh, tentang nama-nama; yang tersisa malah karya dan segala tinggalan arti(factual) dan secebis menti(factual).
Agama memberi tempat nan tinggi bagi nama-nama harum. Nama wangi itu dilekatkan kepada para syuhada, santo, sadhu (pertapa Hindu), Sant (Sikh) dan sejumlah nama sapaan dalam ragam agama. Mereka memiliki hubungan khusus dengan Tuhan. Ikutannya? Tapak-tapak sakral mereka; mazar, dargah bagi para Musryid dan Darwys atau Pir; kemudian Sthan dan Samadh (bagi para Yogi -guru yoga-), Gurudwara bagi para Sant, diyakini membuka pintu-pintu perantara yang berstruktur serupa menuju Tuhan. Melanconglah ke Punjab, kita akan menemukan tapak Maksura yang menyatu dengan alam. Lewat logika alam, dia menghidang dan dihidang oleh segaris jalan “rindu”, sebuah retas kerja ruh, petugas ruhani. Dan bait-bait puisilah sebagai penukil utama jalan itu. Maka, penyair dan kepenyairan adalah ihwal pekerjaan ruh. Bukan gerak tulis jasadi.
Mansur al-Hallaj dimutilasi selagi bernyawa, di tengah-tengah nafas kehidupannya. Lalu, siapa nama algojo yang memutilasi? Suhrawardi dibunuh demi hukum. Sang Iluminasionis ini juga berdepan dengan seorang algojo. Lalu, dapatkah kita menyebut siapa nama algojo itu? Merimbun pula buku-buku al-Ghazaly dilembar ke tengah kumparan api. Lalu siapa yang melempar? Di sini nama-nama pemusnah tak diperlukan. Nama-nama itu hilang melayang. Tapi, berapa juta mulut bahkan milyar lidah yang merapal nama al-Hallaj, Suhrawardi dan al-Ghazaly? Tak seorang pun mengingat nama para algojo, karena kaum sufi menolak menyebut kembali nama-nama buruk. Nama-nama buruk itu tak lebih dari ibarat. Para penukil jalan sunyi, para peretas jalan senyap tak kan terpesona dengan segunung ibarat. Para penyair, tak memerlukan ibarat. Ketika kembali ke alamat rumah para “ibarat”, pada ketika itulah penyair mengalami kesesatan. Kita tak memerlukan jalan pulang ke rumah para “ibarat” itu dengan menyebut serangkaian nama-nama di masa lalu dalam gaya absensi sekolahan. Memang ada sederet nama laksamana, memang berjenjang kepangkatan para pengepung istana, termasuk pengepung bulan, namun semua itu hanya setakat menjadi alamat rumah “ibarat”. Jalan seni itu, bukan jalan ibarat, apatah lagi syair. Ibarat itu cerutai rumpi para kaum awam.
Para penukil kebenaran bersusah payah meniti jalan sejumlah guru akbar. Bahkan rela berkubang untuk meneroka tentang apa yang seharusnya dilakukan orang-orang sebelumnya sehingga dia menjadi tiang ingatan nan agung. Tak pernah tergoda untuk tahu bagaimana buasnya jiwa sang algojo. Yang hilang ditebas para algojo itulah yang berpembawaan abadi. Namun, nama algojonya sirna, tiada berbekas, bak debu yang musnah oleh tiupan angin kepak sayap lalat yang paling lemah. Bak benang yang jadi temali merangkai bulir melingkar; ada bulir ibarat, ada pula bulir permata. Para penyorak dan penguasa adalah benang, sementara bulir ibarat itu adalah algojo. Bulir permata itulah penukil jalan sunyi, penyair; “petugas ruh”.
Temali melingkar itu pula yang menginspirasi penulisan “nyanyian cincin” yang berasal dari tradisi pra-Islam yang sangat dikagumi banyak orang. Nyayian cincin (ring songs) ini dibawa dalam langgam Andalusia; liriknya cukup jauh berbeda dari “ode gantung” sebagaimana banyak ditemukan pada komunitas Arab pra-Islam yang mengagumkan itu. Variabel utama penyebab popularitas “nyayian cincin” ini adalah bahwa bahasa-bahasa pengantar dalam masyarakat yang ragam di Andalusia bisa menjadi media “nyanyian cincin”. Termasuk bahasa Ibrani yang selama ini hanya dikenal sebagai bahasa ibadah dan bahasa doa; baik di rumah Sakhenah ataupun Synagoge. Lewat “nyayian cincin” (dalam bahasa Arab disebut muwasysyahah, yang diambil dari akar kata sasy, secara etimologis bermakna stagen atau korset, yang melingkar), semua bahasa bisa mengalamatkan diri jadi media bagi “nyanyian puitis” dengan konfigurasi abadi, bak nama-nama orang suci itu.
Lagu-lagu itu menukilkan tentang identitas nan rumit perkauman Andalusia. Secara awam dikenal syair-syair dengan rima tunggal yang menyatukan seluruh bait, entah itu lima atau lima ratus bait; pada “nyanyian cincin” justeru sebaliknya. Jenis lagu ini membuat rima berputar-putar, repetisi pola-pola rima yang terkadang rumit dan merepotkan dengan rima-rima internal maupun yang menghubungkan satu bait dengan bait lain. Stanza dari bangunan syair ini tak menghendaki adanya penutup. Inilah estetika nan khas, jumlahan ungkapan lirik berkelanjutan yang bentuk luarnya ditandai dengan rima tunggal, tiada jeda teratur yang jelas. Dia seakan musik dansa jalanan yang mengalami pemecahan (fractal) ke dalam beberapa stanza yang “dilingkari” dengan bagian yang paling mengherankan yaitu refrain singkat dan simpel, diulang-ulang pada tiap stanza, waahh... mirip jazz (?); musik masa kini. Inilah musik stagen, syair korset, nan melingkar abadi. Dia menjadi titian ruh bagi para penukil dan pencahari.
Dia bak peneguh jalan sunyi di setual zaman. Bukan sekedar bungkusan Maksura yang diwangi-wangikan lewat gelimang artifisial demi menyinari jasad elit di depan mihrab. Para penguasa, penjahat dan turunannya akan senantiasa berharap sandangan wira dan hero dilekatkan kepada pewaris mereka, nama tembok zaman tanpa daya adhesif untuk melekat. Tembok-tembok sejarah peradaban tinggi, akan selalu direnjis oleh wewangian dari darah mereka yang memercik, oleh kilatan pedang dan kapak penebas. Mengungkailah dalam sejumlah jumlahan tak bertepi...