Advertisement
Keunikan Huruf "H" di Bahasa Indonesia |
PojokSeni.com - Tahukah Anda bahwa kata Hembus itu tidak ada di Bahasa Indonesia, yang ada adalah Embus (tanpa huruf H). Tidak hanya kata itu, tapi Adang (bukan Hadang), Entak (bukan Hentak), dan beberapa kata lainnya yang kehilangan huruf H.
Padahal, awalnya kata-kata tersebut memang tidak punya huruf H di depannya. Yah, dulunya Hembus memang Embus.
Lalu terjadi proses "penyisipan desis" atau H-insertion dalam istilah linguistik. Maka Embus menjadi Hembus. Bagaimana bisa "bolak-balik" seperti itu? Simak ulasannya berikut ini.
Penyisipan Desis H atau H-Insertion, Salah Satu Pembentuk Kata Bahasa Indonesia
Bahasa-bahasa Melayu memiliki salah satu keunikan, yakni penyisipan desis huruf H di awal, dan tengah kata yang disebut H-insertion atau Penyisipan-H.
H-insertion ini nyatanya sering ditemukan di Bahasa Melayu dan juga Bahasa Indonesia. Seperti kata Hujan, Hutan, Hati, Hulu, Hadap, Hantu, Tahun, Leher, Tahu, dan sebagainya.
Sekarang coba kita lihat pola dari kata-kata tersebut. Rata-rata di berbagai bahasa rumpun melayu seperti bahasa Aceh, Jawa, Batak, Dayak, hingga bahasa Malagasi, kata "hujan" disebut sebagai "ujan" (di Bahasa Jawa dan Batak Toba menjadi udan, dan di bahasa Aceh menjadi uejuen).
Selain kata hujan, kata hati di rumpun bahasa Melayu lainnya disebut sebagai ati, atay (tagalog), atei (bajau), ataw (dayak) dan beberapa kata lainnya). Tidak hanya hujan dan hati, kata-kata lainnya yang berawal huruf "H" juga sebenarnya berasal dari kata yang "tanpa huruf H".
Misalnya:
- Hulu (Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu): Ulu (di berbagai rumpun bahasa melayu dan austronesia).
- Hadap: Adap
- Hantu: Antu
- Hutan: Utan
Misalnya untuk kata "Utan" salah satu buktinya adalah kata "Orangutan" masih dipertahankan hingga saat ini, padahal kata "Utan" sudah diberi awalan H menjadi "Hutan".
Tidak hanya huruf awal, tapi sering pula terjadi di huruf tengah. Misalnya pada kata-kata berikut ini:
- Tahun (di Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu): Taun (di berbagai rumpun bahasa Austronesia)
- Leher: Le'er (lir, ler)
- Tahu: Tau
Khusus untuk kata "tau", salah satu buktinya adalah hingga saat ini masih banyak penutur Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu yang menggunakan kata "tau" alih-alih "tahu".
Anda pernah mendengar kata "ulu ati" yang juga sering disebut "ulu hati"? Yah, kata tersebut tidak pernah disebut "hulu hati" karena pembentukan kata tersebut sudah warisan dari sebelum terjadinya proses h-insertion di Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu.
Apa Penyebab H-Insertion?
Penyebab H-insertion ini sebenarnya disebabkan karena dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Jawa (sebelum Bahasa Indonesia), sudah muncul semacam desis huruf H di kata-kata tertentu. Tidak hanya itu, bahkan ada juga seperti Bahasa Melayu yang desis H jadi begitu terasa dan terdengar.
Misalnya untuk kata, Mahu (mau), dan Tahu (di Indonesia tetap Tahu, meski ditemukan juga penutur yang menyebut kata Tau). Lalu, di Bahasa Jawa, bahkan kata-kata seperti Iwak (ikan), Anak, Udan, dan sebagainya justru ditulis (dalam aksara Jawa) dengan huruf H.
Hasilnya, hiwak, hanak, hudan, dan sebagainya. Karena terbiasa dengan adanya huruf H itu dalam penyebutan beberapa bahasa. Hanya saja, lagi-lagi seperti disebut di awal, penyebutan huruf H adalah sangat tipis, itulah kenapa disebut sebagai "desis".
Namun, ketika Islam masuk ke Indonesia, maka aksara Hijaiyah juga mulai diperkenalkan termasuk huruf "Ha" yang lebih berat (bukan desis) ketimbang huruf H yang biasa diucapkan oleh bahasa Melayu, Jawa, dan rumpun bahasa Melayu lainnya.
Hal itulah yang menjadikan ada proses akulturasi bahasa yang memunculkan kebiasaan baru yakni huruf H yang dibaca berat, bukan tipis seperti desis.
Hasilnya kita temukan saat ini, bagaimana penutur Bahasa Indonesia menyebutkan kata Hutan, Hujan, Hampir, Hati, Hulu, Hilir, Habis, Hantu, dan sebagainya dengan H yang tebal.
Sudah Disisipkan, Sekarang Dihilangkan Lagi: Kata yang kehilangan huruf H
Dan entah kenapa di KBBI terbaru, justru kata-kata yang ditambahkan huruf "H" dan sekarang dihilangkan lagi. Padahal sebelumnya, kata-kata tersebut tidak diawali huruf H pada awalnya. Lalu, ditambahkan huruf H, dan sekarang dihilangkan lagi. Hal itu membuat penutur Bahasa Indonesia masih kesulitan untuk kembali menyebutkan kata-kata tersebut dengan tanpa huruf H.
Misalnya, di KBBI ada kata-kata seperti ini:
- Imbau, bukan "himbau". Jadi, mengimbau, bukan menghimbau. Padahal, dulunya memang imbau, lalu menjadi "himbau" dan sekarang kembali lagi menjadi "imbau".
- Ingar, bukan "hingar". Jadi, ingar bingar, bukan hingar bingar. Padahal dulunya memang ingar, lalu ditambahkan huruf H (H-insertion) menjadi Hingar, dan sekarang kembali lagi menjadi Ingar.
- Entak, bukan Hentak. Kejadiannya sama seperti dua kasus di atas. Bukankah Anda akan terbiasa dengan kata "menghentak", ketimbang "mengentak"?
- Adang, bukan Hadang. Bukankah Anda akan terbiasa menyebut Hadang, ketimbang Adang? Uniknya, hal tersebut tidak berlaku di kata "Halang". Kata "Halang" tetap "Halang", bukan "alang" karena kata "alang" sudah punya arti sendiri.
- Empas, bukan hempas. Sama seperti kata-kata di atas.
- Embus, bukan hembus.
- Andal, bukan handal.
Itu adalah beberapa contoh kata di Bahasa Indonesia yang "entah kenapa" kembali menghilangkan huruf H yang dulunya sempat disisipkan ke depannya. Terpenting, ketika Anda menulis artikel ilmiah misalnya, tentunya mau tidak mau harus tetap mengikuti aturan PUEBI, berarti kata-kata seperti Entak, Empas, Embus, Andal, Ingar, Imbau, dan Adang seperti di atas harus Anda gunakan di tulisan.
Jadi, mulai biasakan, yah. Siapa tahu beberapa tahun ke depan, justru huruf H disisipkan lagi.