Advertisement
Oleh: Prof. Yusmar Yusuf
Bersudut subuh; ada tarhim, pun munajat. Bak nandung, berulang-ulang, nada tarhim dari bejana suara sebuah masjid berkelambu hujan, bertirai embun. Subuh gigil, di sebuah rumah tinggi tepi sungai. Sebuah laman berkebun air, menuju hilir dan bersua dengan segala ihwal yang asing dan serba lain. Dari hulu, sebatang malam berderak dalam lantun tepi batang air yang tak pernah tidur. Dahan, ranting dan segala umbut yang lunak, meragi bunyi, mengulinya menjadi sesuatu bernyawa khayali.
Malam buta, ada kampung bermata, berderap dan gemeretap. Cuap manusia yang berpuisi, menjahit ingatan tentang sesuatu yang terbit ‘kian’ dan masuk ke dunia ‘akan’. Berada antara entah musim kemarau atau musim hujan. Langit yang gelap, tebal dan menghentak menjadi tiang hujan, sebuah cara ‘memandikan’ kampung dalam versi yang tak terduga. Bulan menghilang dan diganti dengan sejumlah ‘bulan’ dan ‘bintang’ yang terbit di hati para penyair, di batin para syekh dan tuan faqih. Di kampung, terhampar wajah dibasahi wudu.
Kanak-kanak menjinjit bulan. Di ujung jemari ada benderang dan suluh menuju satu titik tempat orang berhimpun pepat, demi mengisi malam. Tak sekedar mengisi, namun juga mengolah sehingga malam yang datar dan beku, menjadi gembur, layak ditanami dengan berbagai jenis ‘tanaman’ ideal, ideasi, gagasan, khayali yang menebuk tembok batas ke masa depan. Tembok itu memang tak roboh, tapi lentur, menyediakan dirinya sebagai busur untuk memberi laluan anak panah melesat dengan kecepatan diagonal sekaligus mayor.
Para tetua, selejang malam, berbekal kain tebal, membebat mata kaki hingga tengkuk, datang dalam sejumlah solekan berbaju kurung sodong. Mereka menemui malam yang geriang, lincah dan jernih untuk membangun cerita kala pagi ‘menagihnya’. Pagi yang menagih ialah pagi yang mengurai. Sebuah pagi yang mengurai ialah pagi yang diisi derai tawa dan renyah senyum. Orang sini, berlalu lalang dalam jarak-jarak pendek: hulu ke hilir kampung. Yang disua selama perjalanan pendek itu tetap yang itu-itu jua. Tak yang lain.
Berbeda malam ini, garis dan jarak pendek itu menghadirkan serumpun rasa lain dan asing, mengolah cerdas, mengungkai segala yang ‘diam’ dalam lalu lalang sejarah yang bisu menjadi cerdik menggemas. Garis dan jarak pendek itu merekah menyembulkan bunga wangi. Setiap orang berkeinginan menjadi pencerita (story teller) yang terlibat dalam penceritaan panjang tentang rekahan wangi malam jelang menyubuh. Semua orang seakan diberi hak bersulih suara tentang dia, tentang mereka dan mengenai segala ihwal yang tersadai di lorong ingatan dalam zaman berjenang.
Di kampung langit, orang bertelanjang kaki. Datang dan pergi demi mengisi dan menjemput kedatangan ‘yang lain’ dalam langkah kaki-kecil, lamat-lamat dan pendek- pendek. Di sini, ujung kaki menjadi saksi, betapa kampung langit, hanya memberi sediaan
cahaya kepada mata kaki yang bercahaya pula. Di sini teknologi alas kaki, cukup disimpan di balik daun pintu yang kaku. Orang-orang kampung langit ini, menanjak menuju ‘ketinggian diam’. Dan hidup itu adalah diam, lalu berbuat... Di antara itulah kampung langit memberi takwil tentang sesuatu yang layak disangkutkan ke masa depan.
Kampung-kampung yang berderet sepanjang sungai adalah juga kampung “diam” yang mewangi dan menanti. Kampung dan (menanti) hujan adalah sebati musim yang tak boleh dielak dalam kejelitaan sirah dan sejarah; di sini mualim mencari arah, di sini pula penyair mengukir kata.
Di sini penjaja bersulih bunyi, rindang nan renyah. Bahwa di kampung-kampung, orang menemukan diri yang “hilang” oleh kesesatan waktu dan kerimbunan zaman. Di kampung-kampungg, orang menuai rindu demi satu tujuan; menggenapkan keindahan cahaya rembulan walau gerhana sekalipun. Tentang bulan dan gerhana, orang-orang selalu belajar dan terpaut pada sebuah momen nocturnal. Dan momen pula yang menggenapkan anak-anak tangga prestasi dan rangkaian kecoh muslihat yang berkisar serba zig-zag. Di kampung, tak semata memanen langit, namun sekalian “merumput air”. Di sini, kampung-kampung bertugas “menghidupi air” (water harvesting), bukan “hidup dari air”.
Di kampung, orang boleh dan biasa hidup sendiri. Tentang sendiri dan kesendirian, ada kilah eksistensialisme: “Untuk hidup sendirian orang harus menjadi binatang atau dewa – ujar Aristoteles. Ada yang ketiga: orang harus menjadi kedua-duanya—yaitu seorang filsuf”, kata Nietzsche. Di kampung, Martin Heidegger lahir dan besar menjadi seorang filsuf. Di kampung, hasrat imaji dan lelangit khayali menjalani musim panen (harvesting); “Imajinasi lebih utama dari pada pengetahuan, kata Einstein. Pengetahuan terbatas, sedangkan imajinasi seluas langit dan bumi”. Masih Einstein sang jenius itu: “Nalar hanya akan membawa Anda dari A menuju B. Sementara imajinasi mampu menjinjing Anda dari A ke mana pun”. Gamangkah terhadap kampung? Dari kampung-kampung, terlahir para sufi nan agung bak Uwaisy al-Qurny dulu kala, yang ‘mengusik’ nadi spiritual al mursalin (Muhammad suci) senantiasa bergetar dan berdecak.