Advertisement
Oleh: Prof. Yusmar Yusuf
Di atas tanah yang hidup, tumbuhlah impian. Di atas tanah nan hidup, merecup idaman kolektif untuk berbagi dan meragi. Frasa “Hiduplah tanah ku”, dipetik dari lirik lagu Kebangsaan ‘Indonesia Raya’ nan kacak-tampan. Frasa ini tak berdiri sendiri. Diikuti dengan kata-kata berkaidah metonimi; “Hiduplah negeri ku”. Lanjutan metonimi itu, berjulur dalam moda metafora berikutnya “Bangsa ku, Rakyat ku, Semuanya...”.
Tanah nan hidup; sebuah metafora atau metonimi? Terserah. Yang jelas, dia semacam kehendak yang berorientasi ke masa depan. Bisa disebut sebagai doa atau puisi yang menyandarkan dirinya ke masa depan. Sebuah gerak infinitum (tanpa batas). Sebuah realitas imajiner atau malah sebuah bangunan realitas ilusif. Bahkan mengarah pada “ilusi niscaya” sebagaimana agama, kata Durkheim.
Para penggubah lirik, penyair, pelaku jalan salik (sufi), teaterawan, musisi dan seniman percabangan lain adalah serombongan penukil “lorong jelita” (dimensi Jamaliyah) untuk menggambar tentang keagungan-Nya (Jalaliyah) sehingga Dia (Tuhan) tampil penuh-purna serba pukau (dimensi Kamaliyah). Tanah nan hidup, berada di antara serba niskala dan niscaya. Tarik menarik di antara dua keadaan itulah terbangun semangat nubuat dari setangkai lirik, larik atau pun setandan stanza.
Metafora (Jakobson); ‘penggantian satu kata dengan kata lain’, sementara metonimi ingin menjelaskan ‘hubungan kata per kata’. Lirik dalam lagu Kebangsaan itu memiliki daya hidup (Vita Activa) dalam kekuatan penuh metafora dan metonimi. Tanah yang hidup, ditandai dengan kegemburan, top soil kaya hara dan humus. Dia tak bicara lahan (land). Lahan adalah persepsi dan konstruksi mekanis-kapitalis. Tanah sebagai ‘soil’ adalah kenyataan dan harapan, bak teori “Bayangan Cermin” Jacques Lacan. Lacan mengaitkan entitas bayi (infant; enfans= belum bersuara) rentang usia 6-18 bulan. Bayi berjuang mengenal bayangan diri sendiri di depan cermin tanpa media ‘bicara’ (hanya sejumlah bunyi instinktif-arkhaik).
Di atas tanah nan hidup,tumbuh menyeruak peradaban. Peradaban primal yang mengubah segala tumbuhan menjadi tanaman (agrikukultur). Dari sini orang diajak untuk menanam demi sebuah peristiwa tumbuh (bak kecambah tauge). Lantas, ‘tumbuh’ (growth) sebagai fenomena agrikultur perdana itu, diolah menjadi semacam metafora (lagi) oleh ilmu ekonomika, statistika (PDRB, Ratio Ginie dst). Tanah nan hiduplah yang ‘menyuruh’ terjadinya peristiwa ‘tumbuh’ dan ‘bertumbuh’ itu. Kenyataan agrikultur nan tangguh lewat tangan-tangan manusia Indonesia yang lasak, menjadikan tanah ini hidup. Semua ini, bawaannya baru bersifat in-potensia (alias Indonesian dream). Tugas berikutnya? Mewujudkan mimpi itu menjadi in-actu.
Cogan tua yang amat popular di Prancis; “Parce que tant qu’il y a de la vie, il y a de l’espoir” (jangan pernah letih mencangkul, selagi masih ada kehidupan, di situ ada harapan). Tanah menjadi kian hidup oleh para petani lasak, pekebun cergas, pedagang ligat, kaum profesional lincah, anak muda mendaki mimpi, buruh-pekerja yang kenyal, orang-orang tua nan bijak bestari, wanita yang gemulai dan menyejuk atas ganasnya perjuangan (perang) melawan pandemic serata dunia. Anak-anak Indonesia berdiri dan berbuat di atas tanah yang hidup, negeri yang gemeretap, kota-kota bergemuruh, silang pendapat merimbun dialektika. Semuanya itu pertanda negeri ini disangga oleh manusia-manusia tangguh di atas tanah yang hidup.
Bukan bayangan depan “Cermin”, karena sulihan suara yang dibungkus oleh musik di dalam lagu Kebangsaan itu berbeda sama sekali dengan suara-suara yang terjebak dalam ‘bahasa’ (wicara). Bahwa suara “Hiduplah tanah ku”, memiliki dimensi poetika dengan kekuatan sihir, magi. “Suara, bisa menyesatkan ujar Jakobson lagi, ketika dia hadir bugil sebagai bahasa (wicara) yang meletakkan dirinya dalam skala dikhotomis yang mengarah pada peran diferensial yang dimainkan oleh sejumlah entitas fonemik”. Sebagai entitas fisik, maka suara dalam ‘wicara’ cenderung menyesatkan. Namun dia bakal menjadi jinak-melodius ketika suara dibingkai oleh kekuatan (poetika) musik, karena telah mengalami –terjadi- (di dalam musik itu sendiri) sebuah upaya “mengatur suara dalam skala ritmis dan berubah secara teratur”. Di sini terjadi persalinan yang serba “melampaui” kata atau suara, sehingga ter(di-giring) bersandar pada tembok surrealisme-magis.
Di atas jalan kebudayaan, puisi, syair, sajak tak semata tentang eligi, seloka, epos; tentang rintih, duka cita, wira, tetapi jua mengenai kepekaan dan kepedulian. Juga tentang sejumlah candaan kepada sepupu pertiwi bumi dalam relasi makro-kosmos semesta raya (bima sakti), pemberontakan, penganiayan kata, peringkusan kata dan bahasa, moral, tentang hubungan dengan Tuhan, lalu kemudian ditarik menjadi iktibar demonstratif, baik dalam paras wajah positif, negatif, pasif, aktif, bahkan progresif. Di sini tersembur efek ilahiyah dari setangkai syair atau pun lirik yang berpembawaan bak doa yang dipanjatkan dalam tradisi agama-agama. Sebagai doa, syair, lirik juga diarahkan ke masa depan, seraya mengamankan masa lalu dan menjinakkan kekinian. Inilah di antara ‘fungsi nubuat’ setangkai syair, lirik atau pun puisi.
Melalui syair, lirik, ujaran berkaidah, para pencahari, pelaku tasawuf, salik, sejatinya ingin membangun ‘istana terindah’ bagi Tuhan dalam kualitas “taman jamaliyah”, setelah sekian lama bersayu-sayup dengan Tuhan nan jauh dan tinggi (dimensi tanzih, taman Jalaliyah). Lewat lirik “Hiduplah tanah ku”, kita didorong untuk belajar diam. Diam, sebuah cara demonstratif agar kita “berkata-kata” untuk mendengar bisingnya sunyi. Doa yang dipanjatkan oleh semua pemeluk agama, berlangsung dalam jalan seni. Diam itu adalah sebuah seni tersendiri, dan mungkin seni terpuncak. Orang-orang pun berdoa dalam diam. Shalat yang dirimbuni oleh resitasi ayat-ayat al Quran, merdu dan mendayu, lalu dilanjutkan dengan “diam” (dzikir dan tafakur). Lirik “Hiduplah tanah ku”, adalah tentang upaya menjingkang beku dan kebosanan; sebab kebosanan adalah moyangnya kejahatan muka bumi (Kierkegaard): “Boredom is the root of all evil”. Tanah yang hidup menandai sebuah pertinjuan terhadap keletihan. Orang-orang yang letih takkan pernah mengisi peradaban. Ada kebimbangan yang bergayut di benak awan Eropa ujar Edmund Husserl: “Bahaya utama yang mengancam Eropa adalah ‘keletihan’. Maka, selamat malam anak-anak: dunia Barat telah memutuskan untuk mengganti keimanan dengan kantuk”.
Hiduplah tanah ku, Hiduplah negeri ku,...; frasa yang menerjang bimbang serba gamang, galau tiada berpulau. Sejenis kalimat seru (imperatif) yang didodoikan (dijinakkan menjadi doa dan puisi) untuk sebuah persalinan (kelahiran) bayi yang perlahan-lahan merangkak menuju altar cermin dalam serangkaian tatih dan geriang bunyi (nir-suara) serba instinktif dan parau arkhais. Spinoza jua berujar lunak; “fear cannot be without hope nor hope without fear” (tiada kegamangan tanpa harapan dan tiada harapan tanpa kegamangan). Hiduplah tanah ku, semua kita didorong menetak subuh, mematah senja, memetik siang, menjuwita malam...