Siapa yang Disebut Seniman? -->
close
Pojok Seni
02 July 2021, 7/02/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-07-02T03:30:37Z
ArtikelEstetika

Siapa yang Disebut Seniman?

Advertisement


Oleh: Ambrosius M. Loho. (Pegiat Filsafat-Estetika - Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado)


Refleksi tentang seniman pernah penulis uraikan dalam tulisan berjudul “Seniman dan Tiga Kelas Seniman Menurut Boetius”. Tulisan itu fokus pada uraian tentang siapa saja yang disebut seniman, siapa pula yang sudah masuk kategori seniman junior dan kategori senior, dst. Kendati begitu, terlepas dari pengklasifikasian dalam pandangan Boetius itu, tulisan ini akan fokus kepada seniman atau yang biasa kita kenal ‘seniman’. 


Seniman adalah orang yang menciptakan objek estetis, dalam arti sosok individu yang menciptakan sebuah karya seni. Sang seniman haruslah orang yang aktif, karena dialah orang yang mengalami secara langsung pengalaman artistik, pengalaman nyata ketika berkesenian, menciptakan sebuah karya seni. Seorang seniman adalah sang kreator yang secara intensif mengisi kehidupannya dengan penciptaan karya seni.


Namun demikian, sejarah mencatat bahwa di dunia Yunani Kuno pandangan tentang siapa sosok seniman adalah terdapat pada apa yang dibuatnya, ada pembedaan antara siapa yang disebut ‘seniman’ dan siapa yang disebut ‘tukang’. Plato menegaskan bahwa kedudukan seniman justru lebih rendah ketimbang tukang. 


Ketika membuat sebuah karya dalam bentuk kerajinan semisal ‘meja’ berbahan dasar kayu, seorang tukang meniru apa yang ada di ‘dunia idea’. Di sini Plato secara tidak langsung menunjuk pada fakta mengapa tukang lebih tinggi, karena tukang memiliki pengalaman artistik, pengalaman langsung mengerjakan sebuah karya seni.


Berbanding dengan seni a la Plato itu, wacana seni modern justru menegaskan bahwa seniman (artist) dibedakan dengan pengrajin (craftsman). Seniman adalah orang menciptakan karya seni (artwork) sedangkan pengrajin membuat kerajinan (craft). Tidak seperti pengrajin yang hanya mengandalkan kepiawaian teknis, seniman justru memiliki kemampuan kreatif dan mampu memberikan keunikan maupun karakter ekspresi pada karyanya. (Junaidi, 2016: 120). 


Melampaui itu, era postmodern justru berupaya untuk menghilangkan pembedaan batas antara ‘seni tinggi’ (high art) dan ‘seni rendah’ (low art). Pembatasan antara pengrajin dan seniman, tidak lagi digemari di masa postmodern. Maka demikian, seni postmodern yang turut dipengaruhi oleh Derrida dengan konsep dekonstruksinya mementaskan bahwa perbedaan antar seniman, desainer, pengrajin/tukang, tidak diperlukan lagi. Karya seni di era postmodern justru tampil eklektik, yakni  berupa kombinasi berbagai gaya dari seniman, periode maupun kebudayaan masalah lalu yang diramu menjadi satu kesatuan. 


Dari pandangan-pandangan di atas, menyiratkan bahwa seni postmodern merupakan seni yang cukup liberal dalam arti kita tidak perlu membedakan secara tajam siapa yang disebut seniman, siapa yang disebut pengrajin, siapa yang masuk dalam high art, dan siapa yang masuk dalam low art, dst., dst. Karena hemat penulis, sejalan dengan pandangan postmodern bahwa seni dan karya seni adalah kombinasi berbagai gaya itu, harus merupakan bingkai dasar  ketika kita melihat sebuah karya seni. Tentu dengan tetap memahami bahwa sebuah karya seni terbentuk karena ada subjek, objek seni dan ada justifikasi atas objek seni. (Ibid.)


Singkatnya, seorang seniman adalah: Pertama, memiliki keahlian dalam hal menciptakan sebuah karya. Karya ini diciptakan oleh seniman menggunakan berbagai medium seperti alat, material dan teknik. Kesatupaduan antara ketiganya akan mewujudkan sebuah karya. Demikian juga di dalam menciptakan itu, seorang seniman tentu harus piawai dalam memilih bahan dasar, memanfaatkan alat secara tepat, dan menerapkan teknik-teknik dasar menciptakan karya seni. Kepiawaiannya untuk memadukannya, akan mempengaruhi kualitas artistik karya seni itu. 


Kedua, tanpa maksud memutlakkan, dalam karya yang diciptakannya, karya seorang seniman merupakan wujud dari komunikasi, ekspresi, imajinasinya. Maksudnya, karya seni itu merupakan bentuk komunikasi seniman dengan pengamat, penonton dan atau orang-orang yang menikmati karya seni itu. 


Selanjutnya, dengan ekspresi dimaksudkan sebagai hal yang penting di mana karya yang dibuat si seniman tentu mengekspresikan sesuatu sebagai penyaluran bakat dan keahliannya. Misalkan seorang pelukis atau ‘pewarna’ memilih warna tertentu, dipandang sebagai wujud penyaluran emosi dia pada karya seni agar dirasakan oleh orang lain. Antara komunikasi dan ekspresi pada akhirnya berada dalam satu benang merah yang ter rajut dan terkait erat satu dengan yang lain. 


Demikianlah, ekspresi seniman dalam mencipta sebuah karya, adalah upaya seniman untuk menghadirkan unsur-unsur artistik yang mampu membangkitkan emosi penikmat. 


Dalam praktis berkesenian (kurun 10 tahun terakhir ini), minimal yang penulis praktekkan dalam berkesenian tradisional, pembedaan antara seniman dan bukan seniman, termasuk pembedaan seniman junior dan seniman senior, terkait dengan hasil ciptaannya, masih terjadi. dalam praksis berkesenian kolintang misalnya, seniman junior (kategori usia) yang mempertunjukkan karya aransemennya dalam permainan musik kolintang, pernah dianggap sebagai kelas bawah atau ‘low art’. 


Padahal jika kita berpijak pada konteks berpikir postmodernisme, hal itu tidak relevan lagi. Maka dari itu, sebagai upaya untuk terus mendorong para seniman kolintang yang ‘dianggap’ junior itu terus berkarya, upaya-upaya untuk memberikan panggung kepada mereka selalu dimudahkan. Pemberian panggung dimaksudkan pemberian kesempatan untuk terus berekpresi mengekspresikan karya-karya aransemennya. Hasilnya, ketika mereka terus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk terus berkarya dan mempresentasikan karya mereka di panggung-panggung yang dimaksud, ditambah dengan edukasi tentang arti karya seni yang artistik yang diolah dengan ‘ketanpapamrihan’, mereka terus berkembang. 


Ketika mereka terjun pada kompetisi pun mereka selalu ada di kelompok ‘high art’, kelompok teratas. 


Akhirnya, ketika seseorang menciptakan sebuah karya dan tentu saja karya seni, mereka hanyalah akan disebut seniman dan atau kreator, tanpa ada penggolongan-penggolongan tertentu. Seni adalah ekspresi bebas, namun seni tidak bebas nilai. Karya seni yang dicipta oleh kreator, juga demikian, merupakan ekspresi bebas, namun tidak berarti bebas menghalalkan segala cara untuk menghasilkan sebuah karya seni.***

Ads