Advertisement
Ilustrasi pertunjukan: Teater Satu dalam lakon Antropodipus |
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Pegiat Filsafat-Estetika-Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado)
Pandemi tampak jelas belum berlalu, namun ekspresi berkesenian para seniman tidak harus berhenti, karena proses kreatif seni, untuk ukuran tertentu, memang tidak bisa dihentikan. Kendati begitu, wabah ini, ‘memaksa’ para seniman untuk: Harus tetap berkarya dengan kepelbagaian kreativitasnya, dan pada saat yang sama ‘menyentuh’ cara berekspresi yang lain, yang paling mungkin di kala pandemi itu itu. atas latar ini, penulis mencoba menguraikan refleksi ini, ‘platform digital’ dan eksistensi berkesenian.
Tindakan berkesenian bagi semua seniman menunjuk kepada berkarya dengan bebas, tanpa dibatasi, tapi tentu tidak menghalalkan berbagai cara, dalam arti karya yang diciptakannya tidak bebas nilai. Berkesenian sedemikian penting, sehingga di masa-masa krisis karena wabah yang ada sekarang, tetap harus dijalankan dengan cara yang berbeda dari biasanya.
Radermecker dalam “Art and Culture in The Covid 19 Era: For A Consumer-Oriented Approach 2020”, menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini, yang juga merambah bidang sosial, budaya dan ekonomi, dipandang menjadi periode produktif bagi pengembangan seni dan karya seni. Menurut Cosslett (2020) dalam Redermecker bahkan menegaskan, “isolasi secara historis terbukti membuahkan hasil, dan seniman menghasilkan karya baru setiap saat. (Radermecker, 2020: 2).
Praktisnya, beberapa gerakan seni yang paling signifikan (misalnya, ekspresionisme dan modernisme) muncul sebagai respons terhadap ketidakpastian situasi dunia kini. Terlebih lagi, peran kunci seni dan budaya selama krisis ekonomi dan peran dalam pendidikan serta hiburan justru diakui secara luas, karena partisipasi budaya dan seni dipandang sebagai salah satu terapi yang paling praktis selama masa isolasi. (Ibid. 3). Di sisi yang sama, dalam penelitiannya Redermecker membuktikan bahwa konsumsi dan partisipasi seni cenderung relatif tetap dinamis baik pada masa krisis maupun pasca krisis, meskipun konsumen lebih cenderung menyukai kegiatan budaya di luar ruang, yang lebih murah agar tetap memuaskan hasrat konsumsi mereka.
Dari fakta ini, membuktikan bahwa, kendati berada dalam situasi yang krisis, kesempatan ini harus dilihat sebagai peluang bagi pelaku, institusi dan industri budaya untuk memperbarui model pengembangan serta bisnis mereka, serta mendorong perubahan struktural, termasuk dalam menciptakan sebuah pertunjukan budaya dan seni dengan cara lain. Dari perspektif itu, pandemi covid-19 dapat dilihat sebagai kesempatan untuk inovasi dan eksperimen. (Radermecker, 2020: 2-3).
Melampaui itu, sebagai sebuah kesempatan untuk berinovasi dan bereksperiman, kegiatan berkesenian atau berkebudayaan untuk menciptakan karya seni, perlu dijalankan sebagaimana tawaran Redermecker yakni memaksimalkan budaya digital. Pengalihan proses kreatif berkesenian-berkebudayaan ke pada penciptaan konten seni-budaya digital tentu adalah pilihan paling mungkin. Para kreator tentu harus mencoba ranah ini, menciptakan konten sebagai upaya untuk seresponsif terlibat dalam inovasi digital dan sistematisasi penggunaan alat penyebaran konten budaya alternatif, seperti pameran virtual, sesi “tanya jawab” dengan kurator dan seniman, online festival musik live, konser 3D, akses gratis ke arsip materi dan video (rekam balet, dll.), penjualan karya seni secara online, dll. Sisi positif dengan pengalihan ke platform online adalah mudahnya aksesibilitas yang bebas dan terbuka, dengan tujuan menunjukkan dinamisme dan solidaritas.
Adapun budaya digital merupakan wadah atau dalam bahasa Schnass sebagai ‘pasar tunggal’ yang bisa mewadahi semua dimensi yakni: Infrastruktur, penelitian, teknologi jaringan, konektivitas dan akses, masalah keamanan dan masyarakat digital, termasuk seni dan budaya. Budaya dan media, termasuk hak cipta, promosi karya Eropa, digitalisasi warisan budaya, juga tercakup dalam strategi ini. (Schnass, “Arts in The Digital Era”, 2019: 3).
Hal-hal diatas, sejalan dengan apa yang telah penulis upayakan dalam sebuah penelitian tentang digitalisasi karya seni. Di sana penulis menegaskan latar belakang upaya digitalisasi ini dengan fakta bahwa digitalisasi itu adalah ‘reaksi’ terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi juga ‘reaksi’ terhadap terbatasnya ruang berkesenian secara luring (diluar jaringan). Maka karena hal tersebut, pada akhirnya digitalisasi, menurut ukuran tertentu menjadi pilihan yang tepat untuk tetap berkarya, berkesenian dan menghasilkan apa yang bisa dikonsumsi oleh para pengamat seni atau banyak orang. Di samping itu, digitalisasi pada akhirnya merupakan wadah yang memanfaatkan teknologi. (Loho, dkk., 2021: 6).
Demikianlah, upaya-upaya massif untuk terus berkarya dalam kesenian, tak bisa dihabiskan oleh wabah apapun, karena seni adalah komunikasi antar batin yang mengingatkan manusia mengenai perasaan bahagia yang pernah mereka rasakan. Karya seni adalah mesin waktu yang membolehkan mereka yang telah kehilangan orang-orang yang dicintai, sanak keluarga, teman-teman, dapat berjumpa melalui senandung lagu, atau puisi liris.
Akhirnya, belajar dari Saraswati dalam Pidato Seni Dies Natalis Institut Kesenian Jakarta ke-50, Jakarta, 26 Juni 2020 – menyatakan bahwa “pandemi ini menyimpan lipatan-lipatan yang belum kita ungkap. Seniman berkemampuan untuk menguak lipatan-lipatan itu menggunakan tubuhnya. Seniman meminjamkan tubuhnya ke semesta, membagi dirinya di antara dua dunia, realitas faktual dan realitas transenden demi merangsang keberanian kita untuk terus merangkul lipatan. Seniman adalah suara nurani terdalam yang berbisik, “jangan sirna gairah, kau harus hidup untuk hari esok