Advertisement
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Pegiat Filsafat – Estetika- Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado)
Pengetahuan adalah penting untuk sebuah pemahaman. Jika orang memahami sesuatu berarti yang bersangkutan mengetahui sesuatu. Maka untuk mendapatkan pemahaman seseorang harus melewati sebuah proses memperoleh pengetahuan, atau proses mendapatkan pengetahuan. Demikianlah sebuah pengetahuan sangat penting bagi setiap subjek-manusia-individu, karena dengan pengetahuan, seseorang bisa memiliki kekuasaan, dan atau memiliki kekuatan tertentu.
Kendati pengetahuan itu sedemikian penting, untuk mendapatkan sebuah pemahaman, melalui proses berpengetahuan, apa yang mendasari seseorang? Filsafat modern sejak lahirnya Descartes dengan jargon terkenalnya ‘cogito ergo sum’, telah mengajarkan kepada kita bahwa, untuk mendapatkan pemahaman/pengetahuan, seseorang harus mengoptimalkan rasio yang membuatnya bekerja dalam kesadaran. Kesadaran membuat subjek mengarahkan diri pada dirinya sendiri dan sesuatu di luar dirinya. Maka karena itu objek kesadaran yang dimaksud dalam proses pemerolehan sebuah pengetahuan adalah ‘diri si subjek’, dan ‘segala sesuatu diluar dirinya’.
Jadi, kesadaran akan diri tentu juga mendorong subjek untuk mengupayakan kemajuan pada dirinya serta memahami hakikatnya sebagai makhluk personal secara lebih mendalam. Kesadaran akan sesama jugamendorng manusia untuk mencari cara baru demi untuk membentuk hidup bersama yang bermutu. (Sihotang, 2018: 96).
Berangkat dari pentingnya sebuah kesadaran yang ada pada setiap subjek, akhirnya akan menuju kepada rasa ingin tahu. Demikianlah, rasa ingin tahu, sebagaimana kekhasan dasar filsafat tadi, menjadikan subjek akan bertanya tentang sesuatu dan selebihnya bahkan bertanya tentang realitas. Konteks bertanya bukan hanya ingin tahu sesuatu, tapi selebihnya merupakan kegiatan akal budi yang melahirkan sebuah pengetahuan. Praktek ini mengungkapkan dua kenyataan yakni: Di satu sisi subjek sudah tahu sesuatu, sekaligus juga belum tahu, tapi di lain pihak ia ingin mengetahui hal-hal yang belum ia ketahui. Sisi kedua, dan inilah yang menunjukkan bahwa dengan bertanya, manusia selalu ingin memiliki pengetahuan yang lebih. Juga karena ia tidak puas dengan pengetahuan yang ada. (bdk. https://plato.stanford.edu/entries/self-knowledge/). Dua sisi ini menjadi kunci dalam rangka memperoleh pengatahuan dan disitulah terjadi sebuah proses atau ‘aktivitas mengetahui’.
Di sisi yang sama, para pesohor di dunia filsafat telah pula menegaskan bahwa aktivitas “mengetahui” adalah aktivitas manusia untuk menyatakan dan menafsirkan pengalaman tentang realitas. Jadi, aktivitas “mengetahui” menegaskan tiga hal berikut: Pertama, seorang subjek membentuk pengalaman pada dirinya. Dalam aktivitas ini, terjadi kontak kesadaran antara subjek dengan realitas. Kedua, ‘aktivitas mengetahui’ adalah pikiran yang “mengkonseptualisasi”: bahasa dan diskursus. Ketiga, “mengetahui” adalah kegiatan dialektik yang terjadi antara pengalaman dan konsep.
Maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pengetahuan menunjuk pada status mental yang berhubungan dengan eksistensi sesuatu atau obyek. Status mental atau psikologis tersebut menunjuk pada keyakinan psikologis akan kepastian tentang sesuatu, baik itu menyangkut obyektivitas eksistensinya maupun pelbagai hal yang berhubungan dengan sesuatu atau obyek tersebut. Dengan demikian, sebagai cara beradanya sang subjek atau manusia, pengetahuan memiliki hubungan dan relevansi yang sangat fundamental dan takterabaikan dengan kehidupan manusia. Dasarnya adalah konsep-konsep yang menjadi isi pengetahuan manusia selalu bertindak sebagai sarana dan kapasitas teoretis yang menentukan dan menuntun setiap pilihan tindakan manusia apapun. (Ehaq, 2017; Sudarminta, 2002: 26).
Maka dapatlah disimpulkan bahwa seluruh kejadian dalam realitas, secara tidak langsung juga ditentukan oleh persoalan pengetahuan dan sikap terhadap pengetahuan yang dimiliki oleh setiap subjek-manusia. Demikian juga, berbagai persoalan mendasar yang menimpa manusia sepanjang masa juga, justru turut disebabkan oleh pegangan-pegangan yang bersifat konseptual tertentu yang dipakai sebagai dasar berpikir dan bertindak. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka pengetahuan sebagai cabang filsafat yang memfokuskan penyelidikan kritisnya terhadap seluruh klaim-klaim kognitif manusia seperti: Pengetahuan, ide-ide, konsep-konsep, sangat penting diberi tempat. Pengetahuan membantu seseorang menyelidiki, mengevaluasi secara rasional, kritis, metodis, sistematis dan hakiki seluruh klaim-klaim kepercayaan, pengetahuan, ide, pendapat, pandangan hidup yang dihayati seseorang.
Akhirnya, sejalan dengan pentingnya pengetahuan sebagai cara berada manusia, dan dalam kerangka untuk menguatkan konsep pengetahuan yang dimaksud, termasuk sebagai bagian erat dari filsafat, studi filsafat pengetahuan dapat membentuk habit atau kebiasaan untuk menganalisis dan mengkaji secara kritis pegangan-pegangan konseptual yang dimiliki oleh setiap orang. Pada kesudahannya, hal ini akan mengubah cara hidup, cara berpikir dan pola tingkah laku seseorang secara keseluruhan. Disinilah letak nilai dari studi ini yang bernuansa etis: studi terhadap pengetahuan menentukan cara bertindak dan berperilaku. (Ehaq 2017).***