Advertisement
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado - Pegiat Estetika)
Refleksi penulis sebelumnya pernah mengangkat ke permukaan tentang ‘Berfilsafat adalah Petualangan Intelektual’ mengetengahkan sebuah pembuktian apakah bebanr dalam berfilsafat kita berpetualang di dalam dunia intelektual. Hal itu menjadi pertanyaan pokok ketika penulis menguraikan hal tersebut. Kendati demikian, jawaban pokok yang menjadi tujuan dari refleksi itu adalah bahwa benar berfilsafat adalah berpetualang dalam dunia intelektual.
Ada tanggapan umum bahwa berfilsafat seperti ‘berziarah di padang realitas’, dengan memaksimalkan cara berpikir, berlogika dan menguraikan pikiran dan perkataan yang sejalan dalam sebuah kemasan pertanggungjawaban sang subjek, seseorang sudah bisa dikatakan berfilsafat. Maka dengan ini, tampak jelas bahwa semua pertanyaan tentang realitas bisa dijawab oleh siapa pun dari berbagai aspek apa pun juga. Terjadi demikian karena semua orang bisa memiliki jawabannya sendiri tentang realitas.
Kendati demikian, berfilsafat tidak semudah menjawab bahkan dengan amat mudah, berdasarkan realitas yang ada atau yang dialami. Terkait hal itu, Ohoitimur mengatakan bahwa filsafat adalah aktivitas berpikir. Dengan aktivitas berpikir, seseorang bisa melihat realitas, membaca realitas dan memberikan pertanggungjawaban atas realitas yang ada.
Maka atas fakta bahwa filsafat adalah aktivitas berpikir, secara riil filsafat pada akhirnya memberi kita pencerahan, membuka ruang bagi kita untuk berpikir, serta memberi kita waktu untuk menjawab dengan cara logis setiap realitas itu. disini nyata bahwa jawaban atas pertanyaan tentang realitas, bukan hanya jawaban yang asal dijawab, tetapi melebihi itu, seorang subjek mengambil jarak dan lalu memberi jawaban yang bisa diterima secara logis (akal sehat) dan jawaban itu bisa dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya penulis perlu menguraikan bahwa ketika kita memiliki keinginan untuk membuktikan bahwa filsafat itu bukanlah abstrak dan tidak menarik, kita perlu memahami apa yang pernah dikatakan oleh filosof Yunani kawakan, Plato dan Aristoteles. Plato menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang menyelidiki sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada. Jadi filsafat mencoba mengantar konsep berpikir subjek untuk menyentuh hal yang paling mendasar dari segala sesuatu, dan bukan menyentuh bagian luar dari sebuah realitas yang terjadi. Sementara Aristoteles, katakanlah, menyempurnakan apa yang dikatakan oleh Plato gurunya. Aristoteles menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas yang ada ini. Jadi yang dicari adalah penyebab yang mendasar.
Maka dengan demikian jelaslah bahwa filsafat memiliki bidang kajian yang sedemikian luas, yang mencakup segala ‘yang ada’ serta ‘yang mungkin ada’. Dengan kata lain filsafat merupakan usaha penyelidikan yang menggunakan metode yang bisa dipertanggungjawabkan secara luas dan mendasar. Pertanyaan reflektifnya adalah: apa yang khas dari filsafat jika dikatakan bahwa filsafat adalah aktivitas rasional yang kritis dan mempertanyakan secara mendasar, untuk mencari prinsip dasar dan penyebab dari realitas yang ada itu?
Sekurang-kurangnya dapat dikatakan beberapa hal berikut ini: Pertama, adanya hasrat ingin bertanya. Ketakjuban manusia telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan, dan ketidakpuasan manusia membuat pertanyaan-pertanyaan itu tak kunjung habis. Pertanyaan tak boleh dianggap sepele, karena pertanyaanlah yang membuat kehidupan serta pengetahuan manusia berkembang dan maju. Pertanyaanlah yang membuat manusia melakukan pengamatan, penelitian, dan penyelidikan. Pengamatan, penelitian dan penyelidikan ini yang menghasilkan penemuan-penemuan baru yang semakin memperkaya manusia dengan pengetahuan yang terus bertambah. Hasrat ingin bertanya membuat manusia mempertanyakan segalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pun, sesungguhnya tidak sekedar terarah pada wujud sesuatu, melainkan juga terarah pada dasar dan hakikatnya. (Wahana, 2016: 22).
Kedua, hal yang perlu ditegaskan dan digaungkan kembali adalah pemahaman bahwa filsafat berarti “cinta kebijaksanaan”, yaitu suatu keinginan yang begitu besar, yang disertai usaha keras untuk memperoleh pemahaman sejelas-jelasnya, sebenar-benarnya, secara mendalam dan menyeluruh tentang hal-hal yang dibahasnya atau dipikirkannya. Filsafat padaa akhirnya berarti usaha pemikiran yang bebas, namun diusahakan secara sungguh-sungguh, rasional, menyeluruh, mendalam, tentang segala sesuatu yang ada untuk memperoleh pemahaman yang jelas dan benar, serta memperoleh pemahaman tentang sebab-musabab dan asas-asas yang paling akhir.
Akhirnya, harus diakui, uraian di atas masihlah berwujud abstrak, tapi hemat penulis hal tersebut paling tidak sudah bisa dijadikan acuan untuk bisa menelusuri sesuatu secara lebih mendasar. Ketika kita mencari tahu penyebab sesuatu, dengan filsafat, kita tidak puas dengan jawaban yang sifatnya, seadanya, ala kadarnya dan atau jawaban yang terlampau enteng. Jawaban dengan dasar filsafat adalah jawaban yang luas, menyentuh pusat permasalahan dan tentu saja jawaban itu logis, dan bisa dipertanggungjawabkan dengan rasio berpikir yang logis. Ketika kita mencoba hal ini dengan ketat, kita bisa melihat dan mengalami kekhasan dari filsafat itu. selamat mencoba.
Berfilsafat adalah berpikir mendalam dan mendasar, didalamnya terkandung ‘cara berpikir kritis’. Dengan filsafat kita bisa berpikir terbuka melihat berbagai perbedaan cara berpikir orang lain, filsafat juga merupakan refleksi rasional dan radikal atas hal-hal pokok dalam hidup. Ia hanyalah perenungan reflektif lebih jauh tentang berbagai cara bagaimana realitas kehidupan ini dipahami dan bagaimana makna-makna diciptakan, dengan selalu mengaitkannya kembali ke medan pengalaman konkrit. Dan bagi mereka yang belajar filsafat secara klasik, boleh jadi hal ini akan dilihat sebagai proses evolusi. Evolusi berpikir subjek pemikir dan pembelajar filsafat (Sugiharto, Jurnal Filsafat Unpar. 26.3.2010 [317-332]