Advertisement
Metode Etnomusikologi |
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Pegiat Filsafat & Estetika - Dosen Unika De La Salle Manado)
Diskusi adalah wadah yang tepat untuk menguji gagasan, ide dan pemikiran di ranah publik. Diskusi pun menjadi ciri khas utama dari ilmu filsafat. Mengapa ilmu filsafat, karena ilmu filsafat, yang dalam pandangan umum merupakan induk dari ilmu pengetahuan, menekankan metode diskusi/dialektika, sebagai metode yang paling tepat dalam pemerolehan sebuah pengetahuan. Dalam filsafat juga, metode diskusi atau dialektika, menjadi ‘kendaraan’ yang tepat untuk menguji gagasan dan ide seseorang, karena semua yang terlibat dalam diskusi, dimungkinkan dan atau terbuka pada kritik.
Dalam sebuah diskusi terbatas ketika membahas salah satu konsep dasar musik tradisional, penulis terlibat dalam diskusi alot seputar apa yang dimaksud dengan etnomusikologi, yang digadang-gadang, harus menjadi titik sentral untuk membahas eksistensi musik tradisional, semisal musik kolintang. Perdebatan panjang mengemuka, dan adu gagasan pun tak terhindarkan, untuk sebuah pemahaman yang jelas tentang konsep yang dimaksud. Tetapi tentu dengan dasar pemikiran untuk pemerolehan sebuah pengetahuan dan pemahaman apa etnomusikologi itu.
Diskusi yang sedemikian alot itu, memantik penulis untuk mengkaji apa yang dimaksud dengan etnomusikologi, dan untuk memahaminya, kita harus memiliki rujukan yang jelas dan tepat, serta analisis yang tajam, agar tidak bias dalam memahaminya.
Rujukan penulis dalam kajian kali ini adalah “Ethnomusicology: Discussion and Definition of The Field, Ethnomusicology 4: 107-14., 1960., karya Alan P. Merriam. Merriam mengatakan bahwa untuk merinci apa itu etnomusikologi, kita perlu memahami dua hal yang terdapat didalamnya, musik dan antropologi. Musik menurut Merriam, memiliki lima ciri: pertama, musikologi pada dasarnya mempelajari musik barat, kedua, musikologi melihat perbedaan mencolok antara seni musik dan musik primitif, berdasarkan pada fakta apakah ada budaya tulis serta teori yang berkembang di sebuah tempat atau tidak, ketiga, musikologi bersifat humanistis dan mengesampingkan ilmu pengetahuan, kecuali ilmu-ilmu yang bersinggungan dengannya, keempat, pada dasarnya bersifat historis, kelima, objek studinya adalah musik sebagaimana adanya. (hlm. 70).
Sementara antropologi menurutnya dicirikan oleh: pertama, mempelajari manusia sepanjang masa, kedua, antropologi melihat semua aspek budaya dan masyarakat sebagai kelompok yang berinteraksi, ketiga, antropologi mempunyai orientasi saintifik, keempat, metodologinya sebagian historis tapi pada dasarnya bersifat saintifik, kelima, tujuannya untuk mengerti tingkah laku manusia.(Supanggah (ed.), 1995: 40).
Maka dari kedua uraian di atas yang paling dicari dalam etnomusikologi adalah metodologi yang dapat memberi hasil yang paling substansial dengan cara yang paling ekonomis dan terpercaya. Marcel Dubois seorang etnomusikolog Prancis bahkan pernah menerangkan bahwa etnomusikologi, selain memiliki kesamaan dengan etnologi dan memiliki spesialisasi di bidang musikologi, ilmu ini mempelajari musik-musik yang masih hidup, meneliti praktek-praktek musikal dalam wawasan yang paling luas, dan memiliki kriteria pertama yakni menempatkannya ke dalam fenomena tradisi lisan. (Ibid.).
Sejalan dengan itu, etnomusikologi meletakkan kembali kenyataan-kenyataan dari musik di dalam konteks sosiokulturalnya, yang juga memperjelas pengaruh timbal balik antara budaya musik yang satu dengan budaya musik yang lain, yang mempunyai kesamaan atau perbedaan kultural. Pendek kata, etnomusikologi adalah ilmu yang fokus kepada penemuan ciri-ciri yang mendasari musik yang diteliti, dan membandingkannya dengan ciri musik dalam kebudayaan lain yang dianggap memiliki keterhubungan.
Demikian juga, hal penting yang perlu dipahami dalam etnomusikologi adalah terkait kriteria objektivitas penelitian etnomusikolog. Kriteria objektivitasnya mempersyaratkan hal-hal berikut ini: Pertama, data yang digunakan adalah data bebas yang didapatkan secara objektif, yang nantinya diyakini akan membantu menyusun dan ‘mengetes’/testing theory. Dalam kerangka itu data yang diperoleh menggunakan pendekatan yang seobjektif mungkin atau meletakkan segala usaha, asumsi, dan teori yang benar-benar, untuk mengolah data-data itu. Kedua, ketika berada dalam proses memperoleh data, perlu dengan tegas untuk fokus kepada pengkomunikasian hasil penelitian secara jelas, tanpa prasangka subjektif untuk menghindari kesalahpahaman. Oleh karena itu, perlulah juga adanya studi metabahasa. Ketiga, perlunya metodologi yang memungkinkan testing empiris dari kesimpulan-kesimpulan dalam bidang ilmu lain. Keempat, dalam mengolah data, harus menghindari adanya penalaran sebagai satu-satunya kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat. (Ibid., 126-127).
Dari dasar pemahaman tentang etnomusikologi di atas, terdapat beberapa catatan kritis yang perlu penulis uraikan: Pertama, dalam konteks penelusuran awal musik tradisional, semisal kolintang, tentu harus melihat keterhubungannya dengan budaya musik kolintang itu sedari awalnya. Karena hal itu menjadi akan bingkai yang terukur dan jelas bagi budaya musik kolintang sesudahnya. Bandingkan analisa semantik dalam kata kolintang, tulisan penulis sebelumnya.
Kedua, kriteria objektivitas dalam etnomusikologi sebagaimana penegasan di atas, perlu melibatkan bukan hanya bidang ilmu musikologi dan antropologi saja, dalam rangka untuk menguji atau testing empiric terhadap data-data yang ada. Setiap penelitian dalam etnomusikologi memiliki tujuan yaitu untuk menggunakan metode-metode ilmu pengetahuan: Perumusan hipotesis, pengendalian variabel, penafsiran secara objektif data-data yang terkumpul.
Dengan demikian etnomusikologi kita saat ini, untuk menunjuk pada upaya mempermanenkan etnomusikologi dalam menelusuri eksistensi musik tradisional kolintang, harus mengandung konsep totalitas, tidak mungkin dapat mengetahui bagian-bagian tanpa mengetahui keseluruhan, dan tidak mengetahui keseluruhan tanpa mengetahui bagian-bagian. Penyelesaian semua kontradiksi dalam etnomusikologi, diyakini bisa terjadi di dalam konteks keseluruhan. Pendek kata, kita perlu menyentuh bagian-bagian untuk mewujudkan satu keseluruhan, karena bagian-bagian itu terwujud hanya didalam hubungan dengan yang lain (bagian yang lain) dan dengan keseluruhan.***