Advertisement
PojokSeni.com - Sejak dulu -dan semakin kentara di era Romantik- seni selalu diindetikkan dengan "aura-aura mistis". Sejumlah pemikir dan seniman bahkan nama-nama besar seperti Martin Heidegger, Hans Georg Gadamer, Henry Bergson, sampai kaum pemikir dan seniman di era pascamodern sekalipun kerap menyematkan kemistikan tertentu di sekitaran karya seni. Pada akhirnya, disebutkan bahwa karya seni tidak bisa dijangkau oleh rasional.
Teks sastra misalnya, paling kentara dalam puisi, selalu disebutkan hanya bisa diakses oleh "hati yang bersih" alias golongan "kasta brahmana". Kejeniusan seniman seakan-akan jauh di atas kejeniusan di bidang lain, termasuk sains. Seniman dikondisikan sebagai "berada di kasta tertinggi", dan karya seni yang dilahirkan merupakan sebuah karya "adiluhung" yang tidak bisa diakses "sembarang orang". Hanya segelintir orang-orang yang "tercerahkan" juga "sangat peka" yang mampu mencapai keindahan hakiki di dalam karya seni.
Pada akhirnya, karya seni adalah sesuatu yang memiliki ciri ineffable alias "tak bisa dijelaskan dengan kata-kata" atau istilah lain "tak terucapkan". Ada makna tersirat yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang disebutkan sebelumnya. Mistifikasi seni inilah yang kemudian menjadi sumber kegelisahan Pierre Bourdieu, seorang filsuf dan sosiolog terkemuka dunia. Bourdieu merupakan pemikir yang melanjutkan tradisi Marxis, namun dilengkapi dengan fenomenologi, pemikiran Max Weber, Ludwig Wittgenstein, dan lain-lain. Hal itu yang menjadikan pemikiran Bourdieu menjadi lebih kaya.
Bourdieu memulai dengan sebuah kritik pada mistifikasi seni. Ia bahkan meminta kita untuk jangan terburu-buru meyakini hal-hal yang mistis di sekitaran karya seni. Pemikiran yang percaya bahwa ada hal-hal yang mistik dan tak terjelaskan di sekitaran karya seni, menurut Bourdieu, adalah hal yang "dikondisikan" oleh struktur sosial. Karena itu, ada dua hal yang pertama perlu dipertimbangkan sebelum membicarakan "mistifikasi seni" antara lain;
- Struktur sosial dan sosio-historis yang mengondisikan seniman sebagai "pencipta kreatif".
- Kecenderungan sang seniman untuk mewujudkan karya seni ciptaannya.
Hal inilah yang kemudian menjadikan proses demistifikasi seni. Bourdieu merumuskan pendekatan yang sangat logis, rasional, serta ilmiah terhadap karya seni. Ia mulai menyusun sejumlah patokan untuk mendekati karya seni hingga ke dalam secara sosiologis. Namun, apa yang dilakukan Bourdieu tersebut justru membuktikan hipotesis awalnya tentang ketiadaan "aura mistis" terkait karya seni. Jadinya, ketika bertemu dengan suatu karya seni, bahkan yang terkesan mistis sekalipun, Bourdieu meminta untuk menghindari dulu pandangan tentang mistifikasi seni, serta apa saja yang bisa membuat kita cenderung memistifikasi seni.
Pendekatan ilmiah untuk analisis seni
Apa yang akan didapatkan dengan analisis hal-hal di atas? Tentunya, kita akan mengetahui apa saja yang memengaruhi seniman, sekaligus karyanya. Apa saja yang menginspirasinya, serta apa saja yang direspon seniman dalam karyanya. Karya tersebut (juga senimannya) muncul dalam konteks sosio-historis apa, juga kecenderungan karya-karyanya seperti apa? Serta masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang akan hadir dalam pemeriksaan atau analisis tersebut.
Semuanya akan bermuara pada satu kesimpulan, bahwa singularitas seniman, individualitas, aura mistis yang berkelindan di sekitar karya seni tersebut, dan sebagainya yang mengarah ke mistifikasi seni hanyalah sebuah ilusi. Semua kenyataan yang logis, rasional, sekaligus ilmiah akan nampak dari suatu karya, tanpa ada sedikitpun sentuhan "mistis". Maka kualitas karya bisa diukur dengan objektif, dan alasan kenapa karya seni tersebut ada juga akan terjawab dengan jelas tanpa bumbu-bumbu mistis.