Advertisement
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Pegiat Filsafat-Estetika - Dosen Unika De La Salle Manado)
Zaman Helenistis merupakan zaman penutup sejarah filsafat Barat Kuno. Zaman ini ditandai dengan tampilnya kuasa dari Alexander Agung di Panggung sejarah bangsa Yunani pada abad ke 4 SM. Di bawah Alexander Agung, bangsa Yunani menjadi bagnsa besar dengan wilayah yang membentang luas dari daerah Mesir sampai ke India. mulai saat itu, muncul pula suatu kebudayaa Yunani Raya atau Kebudayaan Helenisme. Dan budaya ini bertahan bahwa setelah Alexander Agung wafat dan muncul bangsa-bangsa penguasa baru., yakni bangsa Romawi yang menguasai pentas sejarah Eropa, Afrika Utar dan Asia Kecil. (Tjahjadi, 2004: 81).
Pemikiran para filsuf zaman Helenis sangat menarik, dan ketertarikan itu memicu penulis untuk menguraikan refleksi berikut. Konsep yang hendak penulis uraikan aalah Plotinus. Sejarah mencatat. Plotinus (204-270) lahir, bukan di Barat tetapi di Timur, di Lycopolis (kota modern Asyut) di Mesir Hulu, dan menjalani sebagian besar kehidupan awalnya di Alexandria. Dalam pemikiran estetikanya, Plotinos menempatkan estetika sebagai jantung pemikiran filsafatnya tentang keindahan. Plotinos menempatkan ‘Yang Indah’ sebagai konsep tertinggi yang identik dengan ‘Yang Baik’. Konsep Plotinos ini tentu terkait erat dengan karyanya Enneadeis, yang berisi kumpulan karangannya dan diterbitkan oleh muridnya Porphyrios (232-301). Demikianlah sistem filsafat Plotinos berpusat pada ‘Yang Esa’ (The One), yang terkadang juga ia sebut sebagai ‘Yang Baik’.
Adapun ‘Yang Esa’ dalam pandangan Plotinos adalah kenyataan atau realitas negatif. maksudnya ‘Yang Esa’ tidak dapat dibicarakan, tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat diidentifikasikan. Yang esa adalah yang esa. Atau dapatlah dikatakan dia tidak dapat didefinisikan. Tanpa embel-embel atribut apapun, Plotinos berkeyakinan bahwa semua yang ada berasal dari dan menuju kepada Yang esa. Ia adalah asal dan tujuan segala sesuatu. (Tjahjadi 2004: 91).
Konsep pemikiran di atas, menjadi fondasi kuat untuk menguraikan konsepnya pemikirannya tentang estetika. Tentang hal itu, Plotinos berangkat dari pertanyaan apa syarat yang mesti dipenuhi sehingga sesuatu disebut indah? Jawaban Plotinos terdiri dari: Pertama, bahwa sesuatu yang indah adalah efek dari tubuh tertentu. Namun hal ini segera ditolak Plotinos karena tubuh yang sama, bisa terkadang indah, tapi terkadang juga tidak indah. Kesimpulannya, tubuh tidak dengan sendirinya indah, tubuh menjadi indah karena sesuatu yang lain.
Kedua, yang hendak dipertanyakannya adalah konsep keindahan yang diterima umum di zamannya, bahwa sesuatu seperti misalnya tubuh tertentu, menjadi indah karena mengandung proporsi (summetria-simetris) yang pas antara bagian-bagiannya. Jadi, keindahan adalah kesetangkupan, tidak mungkin sesuatu itu indah tapi tidak proposional, tidak mungkin juga sesuatu itu proporsional tetapi tidak indah. (Suryajaya, 2016, 112). Dengan kata lain, sesuatu yang indah, yang pas antar bagian-bagiannya mengandung proporsi yang proporsional.
Kendati demikian, dari fakta hipotesis di atas, Plotinos menunjukkan bahwa kedua hal itu, bukanlah syarat memadai bagi adanya sebuah keindahan, karena keindahan bukan mutlak tentang simetris. Sebuah keindahan karena itu berkenaan dengan bentuk, maka dia akan disebut indah. Dalam bentuk, ada keterpaduan antar bagian, secara serasi dalam sebuah kesatuan. Maka yang simetris-pun jika diaplikasikan pada karya seni, memungkinkan karena adanya bentuk. Misalnya keindahan sebuah patung muncul dari bentuk yang ada dalam benak sang pematung, ketika memahatnya. Sebuah karya seni yagn simetris pasti juga memiliki bentuk karena bentuk itu adalah wujud konkret karya seni yang disebut indah itu.
Pendek kata, keindahan sebuah karya seni, entah patung, karya musik, lukisan, dll., telah dibentuk di dalam benak seorang seniman. Di sana bentuk diperoleh untuk dibuat atau dikreasikan dalam sebuah karya yang berwujud. Dari semuanya itu, Plotinos menunjukkan kesatuan antara ide dalam benak seniman, dengan Yang Satu. Yang Satu itulah, asal usul sejati semua keindahan dalam semesta fisik. Inilah yang disebutnya sebagai keindahan tertinggi, yang pada dirinya tidak memiliki bentuk apa-apa.
Kendati sedemikian singkat, padat dan jelas maksud dari Plotinos, sebagai pelengkapnya, Plotinos menegaskan pula bahwa ‘Yang Satu’ itu tidak memiliki bentuk apa-apa, dia merupakan sumber dari segala yang ada. Sementara yang ‘punya bentuk’ sama artinya dengan ‘dibentuk’, dalam hal ini, ada sesuatu yang membentuknya. Maka ‘Yang Satu’ tak mungkin punya bentuk. (Ibid., 116). Maka, dapat disimpulkan disimpulkan bahwa yang diutamakan Plotinos adalah ‘Yang Satu’, tidak hanya sebagai ‘Yang Indah’, tapi juga ‘Yang Baik’. Dengan ini mewujud sebuah bentuk yang ditiru dalam semesta fisik untuk kemudian ditiru oleh semua seniman.
Maka untuk mencapai sebuah keindahan paripurna, seorang seniman harus pula mencapai kebaikan paripurna. Pada saat yang ama, laku estetis adalah laku etis. Maka implikasi pandangan Plotinos ini menunjuk pada sebuah fakta bahwa kita dapat mengatakan seorang seniman benar-benar seniman, jika ia sungguh ingin mencapai keindahan sejati, karena seorang seniman sejati mesti melampaui kesenimanannya dan menjadi seorang filsuf yang karyanya bukan lagi berbentuk benda fisik, tapi laku etis. Demi mencapai keindahan yang paripurna, seniman harus berkarya dalam ide-ide yang tak lekang oleh perubahan berbagai materi.
Bagaimana aplikasi konsep Plotinos ini pada seniman hari ini? Terlepas apakah motivasi para pekerja seni/seniman dalam berkarya, namun hemat penulis perlulah diupayakan untuk setiap kerja-kerja seni sejauh ini untuk berorientasi pada pencapaian yang melampaui skill/ketrampilan kesenimanannya. Dalam arti, setiap karya yang dibuat, seyogyanya berorientasi pada laku etis, sebagaimana ide dan gagasan Plotinos. Demikian juga, setiap karya yang dibuat seniman, tidak bisa tunduk mutlak pada selera individu semata, karena semua itu berasal dari ‘Yang Satu’.