Advertisement
Gambuh teater tradisional Bali (sumber foto: Metrum.co.id) |
pojokseni.com - Bali, sebagai tempat di mana adat dan budaya hidup begitu melekat di masyarakatnya, juga menjadi tempat yang subur untuk bertumbuhnya seni tradisional. Sebab, kebudayaan Bali menjadikan kesenian dan kehidupan seperti sesuatu hal yang padu, bahkan saling membutuhkan.
Anda bahkan bisa mengatakan bahwa "semua penduduk asli Bali adalah seniman", karena setidak-tidaknya mereka menjadi pengrajin barang kesenian. Bicara tentang seni teater, tentunya masih cukup kalah dominasinya bila dibandingkan dengan tari, musik.
Berarti, pertunjukan teaternya lebih dominan tari, ketimbang laku aktor, apalagi drama. Namun, bisa Anda saksikan sendiri bahwa tari-tarian di Bali itu begitu ekspresif. Jadi, bahkan tari itu sudah melebur menjadi laku. Itulah kenapa seni teater tradisional di Bali akan didominasi oleh gerak tari.
Salah satu seni teater tradisional asal Bali yang akan dibahas kali ini adalah Gambuh. Dengan dugaan bahwa Gambuh sudah muncul awal abad ke-14, maka sangat besar kemungkinan bahwa Gambuh merupakan salah satu teater tradisional tertua baik di Bali, maupun di Nusantara.
Gambuh adalah teater klasik ala Bali dengan bahasa Bali yang klasik (Bali kuno), serta tarian klasik yang tinggi mutunya. Gambuh bahkan menjadi sumber dari sebagian besar tari-tarian yang sekarang berkembang di Bali. Bahasa Bali kuno yang digunakan membuat para penonton Gambuh di era saat ini bisa jadi akan kebingungan menangkap apa yang dikatakan aktor.
Sejarah Gambuh: Bermula dari Majapahit
Kesenian teater tradisional Gambuh ini diperkirakan sudah muncul dan berkembang pesat ketika kerajaan Majapahit berdiri. Saat itu, sekitar abad ke-14, kesenian teater tradisional ini juga dibawa ke Bali dan menjadi tontonan di istana raja-raja. Hal itulah yang menjadikan Gambuh merupakan "tontonan mewah" di eranya.
Karena datang dari Majapahit, maka cerita yang dibawakan juga kebanyakan datang dari tanah Jawa. Cerita yang paling sering dimainkan dalam Gambuh antara lain Damarwulan, Ranggalawe, Tantri, dan sebagainya. Para tokoh utama dalam Gambuh akan menggunakan bahasa Kawi, sedangkan tokoh lainnya, seperti Punakawan misalnya, akan menggunakan bahasa Bali kuno.
Nama Gambuh itu sendiri berasal dari nama gamelan yang mengiringi pertunjukan Gambuh tersebut. Gamelan tersebut disebut dengan nama "Pegambuhan" yang mengiringi aktor/performer dalam Gambuh menyanyi dan menari. Yah, menyanyi dan menari membuat Gambuh menjadi memiliki kemiripan dengan Opera. Para penari dan pemusik juga dihubungkan oleh seseorang yang disebut Juru Tandak, dan duduk di antara pemusik.
Drama tari Gambuh asal Bali (sumber: Blog Kulo) |
Bunyi suling juga cukup mendominasi dengan total ada empat pemain suling, minimal dua suling. Suling itulah yang kemudian diiringi dengan rebab, kendang, dan sebagainya. Musik dari gamelan ini yang kemudian menonjolkan suasana, juga penonjolan dramatisasi setiap karakter, watak, dan alur. Seperti Gambuh yang "klasik" maka lagu-lagu dalam Pegambuhan tersebut merupakan musik tradisi tertua dan klasik, yang bahkan disebut sebagai musik yang memengaruhi semua musik dan lagu Bali di era modern.
Bicara tentang musik "klasik" di Gambuh, seperti tariannya yang "sulit" maka musiknya juga "sulit". Khusus untuk suling misalnya, nada yang digunakan sangat rendah, sehingga memerlukan teknik pengaturan nafas yang perlu latihan khusus selama bertahun-tahun. Dan bunyi suling inilah yang mendapatkan tempat utama di Pegambuhan itu.
Pemain Gambuh
Awalnya, diduga bahwa hanya laki-laki yang memainkan Gambuh. Namun, seiring berjalan waktu, perempuan juga sudah mulai memainkan peran dalam Gambuh. Bahkan, ada peran laki-laki seperti pangeran, anak manis, putra manis, dan sebagainya, justru diambil perannya oleh perempuan.
Pemain utama dalam ceritanya akan menggunakan bahasa Kawi, karena itu sangat sedikit penonton yang akan mengerti apa yang disampaikan oleh pemain. Hal itulah yang kemudian menjadi tugas para Punakawan. Mereka seperti penyampai atau "penerjemah" ke bahasa Bali untuk para penonton.
Kadang-kadang mereka memantik gelak tawa karena tingkahnya yang lucu, atau lelucon yang mereka lemparkan. Tapi, itu bukan tugas utama mereka, sepertinya. Yah, tanpa mereka maka penonton mungkin akan sulit menangkap apa yang dikatakan pemeran utama.
Para pemeran akan menggunakan make up alih-alih topeng. Namun, make upnya cukup berlebihan (dalam kacamata modern) seperti janggut palsu yang pasti digunakan oleh rajanya, bedak putih para punakawan, serta kumis tipis para ksatria. Biasanya baju yang digunakan adalah sejenis jaket pendek berbahan beludru warna hitam, putih atau merah.
Juga ada jubah lebar yang dihiasi prada yang diikatkan mulai dari bawah ketiak sampai lutut yang disebut "saput". Sedangkan pakaian perempuan adalah sehelai kain berhias prada digantung depan dada, disebut dengan nama "lamak". Hiasan lain bernama "ampok-ampok" yang merupakan hiasan pinggang berbahan kulit ditatah dengan hiasan prada.
Sebagai tambahan "corak Jawa" karena teater tradisional satu ini berasal dari Jawa, maka ada selendang panjang yang kerap digunakan pemain bernama "sampur" yang tentunya sering digunakan penari (baik laki-laki maupun perempuan) Jawa. Ada juga kain "sinjang" (kain panjang yang berada di antara kaki), serta "galungan" (sanggul Jawa) yang digunakan para pemainnya.
Ketika Kerajaan Majapahit habis masa kejayaannya di abad ke-16, maka penduduk Majapahit yang beragama Hindu bermigrasi besar-besaran ke Pulau Bali. Hasilnya, Gambuh menjadi teater tradisional yang hanya bisa ditemukan di Bali saat itu. Semuanya mulai terpengaruh budaya Bali, seperti adanya "seledet" (gerak mata yang khas di tari Bali) tentunya tidak ditemukan di tari Jawa, mulai digunakan di Gambuh.
Pengaruh Gambuh pada Kesenian Bali
Gambuh dipercaya memberikan "cerita" pada tari-tari Bali kuno yang sebelumnya tidak mengandung unsur cerita. Ditulis oleh Kasim Ahmad dalam buku Mengenal Teater Tradisional di Indonesia, pertunjukan Gambuh yang "megah" dan "mewah" pada akhirnya memengaruhi seni pertunjukan di Bali.
Gambuh selalu dipentaskan di atas panggung. Panggung tersebut diberi nama "Kalangan" yang kemudian menjadi tempat pementasan kesenian Bali lainnya. Kalangan pada awalnya sudah memiliki area panggung berbentuk persegi panjang dan dikeliling pagar bambu 30 cm untuk menjadi pembatas antara penonton dengan pemain. Ada daun-daunan yang menghiasi kalangan yang hanya ada di Bali. Dekorasi atau hiasannya adalah tombak dan payung upacara yang dipasang di sisi-sisinya.
Berbeda dengan kesenian tradisional di Nusantara yang sulit berkembang karena kurangnya perhatian kaum muda, Gambuh justru tersendat perkembangannya karena sangat sulit dimainkan. Karena sangat sulit, maka tidak banyak yang bisa mementaskan Gambuh. Meski demikian, dari berbagai sumber dikatakan bahwa Gambuh sudah digalakkan kembali sejak 1990-an hingga saat ini.
Seperti sebagaimana teater tradisional atau seni tradisional lainnya, Gambuh juga erupakan bentuk ritual pada Tuhan. Karena itulah, sejak abad ke-16, Gambuh dipentaskan di pura. Di dalam pura ada "halaman yang tidak sakral" dan "halaman dalam yang sakral". Nah, Gambuh akan dipentaskan di "jaba tengah" yang merupakan jembatan yang menghubungkan kedua halaman tersebut.
Hingga saat ini, Gambuh dengan strukturnya yang unik serta rumit tersebut terus memikat banyak pecinta teater untuk meneliti dan mengkajinya. Terutama, pengaruh Gambuh yang membuat unsur cerita masuk dalam kesenian Bali, termasuk pada pertunjukan tari.
Baca juga artikel lainnya terkait teater tradisional di Nusantara lewat tautan ini: Teater Tradisional Nusantara.