Seni & Tiga Kelas Seniman Menurut Boethius -->
close
Pojok Seni
09 June 2021, 6/09/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-06-09T00:00:00Z
Ulasan

Seni & Tiga Kelas Seniman Menurut Boethius

Advertisement

Oleh: Ambrosius M. Loho M. Fil* 


Dalam dunia seni, sering ditemui ada pembedaan-pembedaan antara seniman yang satu dan seniman yang lain, bahkan sering terkesan ada pembedaan antara yang masih dalam kategori junior dan kategori senior. Terhadap hal ini, tentu tidaklah salah, namun pengkategorian yang sedemikian itu, hemat penulis, yang terpenting adalah cukuplah kita memahami bahwa ketika seorang seniman terjun di dunia seni secara ‘full power’, diyakini seniman itu (entah masih kategori junior atau bahkan sudah sangat senior), sudah barang tentu, seniman-seniman itu telah siap sedia untuk ikut terlibat secara aktif dalam dunia kesenimanan itu. 


Demikianlah, dalam hal penampilan atau pertunjukkan karya seni apa pun, setiap seniman harus maksimal dalam mengekspresikan semua karya seninya, sehingga apa yang ditampilkan oleh sang seniman, justru yang paling diperhatikan oleh pendengar, pengamat, penikmat seni [bahkan seniman senior] adalah hasil karyanya, dan bukan mempertanyakan seniman siapa yang mengerjakannya.


Dari fakta-fakta ini, siapakah yang sesungguhnya disebut seniman? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis berpijak dari pemikiran dan perspektif Boethius, sang Filosof Abad Pertengahan, yang menguraikan berdasarkan pengkategorian seniman. Boethius lahir di Roma pada tahun 480 Masehi dan meninggal di usia muda. Semasa hidupnya, ia dituduh sebagai pengkhianat ketika menjadi pejabat tinggi di masa Kaisar Theodoric dan kemudian dihukum mati pada tahun 525 M. Jadi, Boethius diperkirakan hidup 480-524M. (https://www.pewartanusantara.com/boethius-karya-dan-pemikirannya/). 


Boethius juga dikenal sebagai filsuf cerdas, yang telah menyelidiki hubungan antara musik, manusia dan dunia. Teori musik yang dikembangkannya berwawasan luas dan sangat modern. Dalam memaparkan tentang musik, Boethius membedakan tiga jenis musik yakni: Musik instrumentalis, musik manusia dan musik mundana. Musik instrumentalis mengacu pada musik yang biasanya bisa didengar di ruang konser. Musik manusia bergema di dalam tubuh dan jiwa kita. Sedangkan musik mundana sesuai dengan musik kosmos. Tentang yang ketiga, Boethius berpikir bahwa musik ada di mana-mana di dalam alam semesta. (https://musikalkemist.wordpress.com/2014/01/17/music-the-universe-and-boethius/).


Dalam pemikirannya, Boethius menunjukkan bahwa musik adalah ekspresi integral yang menghubungkan kita dengan pemahaman pada ‘tataran rasa’, yang ada di dalam diri manusia, di mana kehadirannya menunjukkan pemahaman batin yang kuat, yang menyiratkan penyatuan dengan harmoni ilahi serta hukum universal. Bagi Boethius, jika matematika adalah bahasa segala sesuatu, maka musik adalah suaranya. (https:// library. acropolis. org/ more – than – melody – boethius - music - of - the-spheres/).  Berdasarkan hal tersebut, maka bagi dia musik adalah bidang yang unik dan menarik, sebab, musik adalah bidang ini terkait dengan inderawi manusia. Terjadi demikian, karena ia dapat mempengaruhi tingkah laku dan bahkan selebihnya membentuk karakter. 


Suryajaya dalam Sejarah Estetika 2016 memaparkan tentang pemikiran Boethius ini dalam jabaran tentang tiga kelas seniman yakni: Ada tiga kelas yang berhubungan dengan seni musik. Kelas pertama berurusan dengan alat musik, kelas kedua mencipta lagu, sementara kelas ketiga mengevaluasi permainan musik. Namun kelas yang berurusan dengan alat musik terceraikan dari pengetahuan tentang seni karena mereka adalah hamba. Kelas kedua adalah penyair yang menghasilkan lagu tidak berdasarkan nalar, tetapi insting. Maka kelas ini juga dianggap jauh dari musik. Kelas ketiga adalah mereka yang punya keahlian menghakimi dan menimbang ritme, melodi dan keseluruhan lagu. Karena aktivitasnya bertumpu sepenuhnya pada rasio, kelas inilah yang dianggap lebih tepat disebut musisi. 


Tentang pembagian kelas ini, Boethius menjelaskan bahwa kelas pertama adalah kelas paling rendah karena masih memerlukan kerja fisik (keahlian teknis), walaupun hal tersebut tetap menjadi penting dalam keseluruhan penciptaan sebuah karya musik. Sementara kelas kedua, kendati tidak fokus pada kerja fisik, mereka dianggap belum sungguh-sungguh rasional karena masih menyandarkan diri pada ilham atau inspirasi yang datangnya tidak menentu. Dan hanya kelas ketiga adalah kelompok yang layak disebut musisi. Mengapa? Karena mereka adalah orang-orang yang mengerti hakikat musik. 


Dari fakta ini, penulis berpendapat bahwa walaupun Boethius mencirikhaskan kelas ketiga sebagai seniman yang sesungguhnya, namun hemat penulis, kelas ketiga inilah yang merupakan orang-orang yang sudah memahami dan sudah melewati dengan benar apa yang menjadi ‘concern’ para seniman di kelas pertama dan kelas kedua itu, sehingga setelah melewati keduanya, mereka pasti akan mampu memberikan khasanah berpikir kritis dalam sebuah musik. Maka dengan itulah mereka dapat disebut musisi. 


Sejatinya, seorang seniman yang dianggap telah berada pada kelas ketiga dalam pengkategorian menurut Boethius ini, seorang seniman di kelas pertama tentu saja dalam kerja-kerja seni-nya, mereka telah memahami musik sehingga berani untuk mengerjakan sebuah musik, demikian pun para seniman di kategori kedua, mereka juga adalah seniman yang bukan tidak fokus pada kerja-kerja fisik sebagaimana kekhasan para seniman di kelas ini, karena untuk mengerjakan sebuah karya seni, mereka perlu menimba inspirasi dan ilham dari sebuah realitas. Maka ketika mereka telah mumpuni dalam kedua kelas ini, hema penulis, mereka menjadi fasih untuk memasuki ranah atau wilayah seniman kelas ketiga, yakni memahami dengan benar tentang hakikat musik.


Akhirnya jika kita kembali kepada apa yang menjadi fokus pemikiran Boethius, jelaslah bahwa upaya Boethius dengan pengkategorian ini, seorang seniman dituntut tidak hanya sekedar mencipta, tidak pula sekedar mencari ilham atau inspirasi lalu diwujudkan dalam karyanya, tetapi menjadi seorang seniman adalah seseorang yang menguasai sampai pada tataran kritik seni. Hal ini tampak sedemikian ekstrim karena bagi Boethius yang terpenting adalah gagasannya harus menjadi sebuah ‘sains’, karena [seni] musik yang sejati adalah melampaui sekedar permainan melody dan masuk ke dalam wacana teoritis tentang proporsi. Artinya kajian teoritis merupakan puncak dari seni musik. (Suryajaya 2016: 158.). Maka melampaui itu, seorang seniman harus memperkuat konsep berpikirnya dengan teori, dan bahkan harus senantiasa terbuka dan membuka diri pada pemahaman tentang kritik seni. 


*Penulis adalah dosen Universitas Katolik De La Salle Manado, Pegiat Filsafat.

Ads