Advertisement
pojokseni.com - Pemerintah daerah memiliki sederet pekerjaan rumah dalam upayanya memajukan budaya. Empat tahun selepas Undang-undang no. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan berlaku, masih banyak tanggung jawab yang perlu dipenuhi pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari rangkaian Dialog Implementasi UU Pemajuan Kebudayaan di Sumatra yang diadakan Koalisi Seni bersama Asosiasi Seniman Riau (ASERI) dan Nan Jombang Dance Company pada 21 dan 28 Juni 2021.
“UU Pemajuan Kebudayaan pasal 44 memberikan sepuluh tugas penting bagi pemerintah daerah. Belum semua tugas tersebut bisa dilaksanakan oleh pemerintah daerah, baik di provinsi, kabupaten, maupun kota,” ujar Kusen Alipah Hadi, Ketua Pengurus Koalisi Seni, 28 Juni 2021.
Sepuluh tugas tersebut ialah pemerintah daerah wajib menjamin kebebasan berekspresi, menjamin pelindungan atas ekspresi budaya, melaksanakan pemajuan kebudayaan, memelihara kebinekaan, dan mengelola informasi bidang kebudayaan. Pemerintah daerah pun harus menyediakan sarana dan prasarana kebudayaan, menyediakan sumber pendanaan untuk pemajuan kebudayaan, membentuk mekanisme pelibatan masyarakat dalam pemajuan kebudayaan, mendorong peran aktif dan inisiatif masyarakat dalam pemajuan kebudayaan, serta menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan.
Di Riau, implementasi pemajuan kebudayaan dipandang belum berjalan dengan sepenuh hati. “Pemerintah Provinsi Riau seharusnya bisa lebih serius mengurus regulasi pemajuan kebudayaan. Kami mendorong peraturan daerah tentang pemajuan kebudayaan segera disahkan, sehingga pemerintah dan pekerja seni di Riau bisa menerapkannya di lapangan,” ujar Ketua Umum ASERI, Marhalim Zaini.
Noviati Maulida sebagai seniman di Aceh merasa masalah yang dihadapinya tak jauh berbeda. “Berbagai forum tentang pemajuan kebudayaan sudah digelar, biasanya yang hadir adalah perwakilan dari kantor dinas. Tapi saat mereka pulang, informasinya tidak sampai ke daerahnya. Seolah hanya menghabiskan anggaran SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas), datang lalu tidur di hotel, foto, tanpa hasil di daerahnya. Dinas baru sibuk saat ada keperluan mengolah data. Barulah beberapa teman seniman dipanggil untuk membantu mengisi, tapi kelanjutan dan prosesnya tidak jelas,” ucap Pendiri Rangkang Sastra di Bireuen tersebut.
Sementara itu, Imas Sobariah, Manajer Teater Satu Lampung, berbagi soal kondisi pemajuan kebudayaan di Provinsi Lampung. Dari 15 kabupaten dan kota, kini baru 5 di antaranya yang telah menerbitkan Surat Keputusan untuk mengesahkan PPKD. “Ini karena komunikasi sering macet antar stakeholder (pemangku kepentingan). Kalau komunikasi putus, sosialisasi dan koordinasi tidak ada. Sampai ditemukan ada PPKD yang copy-paste. Pergantian pejabat di daerah seringkali juga terlalu cepat, sementara persoalan juga harus cepat diatasi. Barangkali ini terjadi tidak hanya di Lampung, tapi juga di daerah lain. Soal pemajuan kebudayaan pun seharusnya masuk dalam pendidikan dan pelatihan pejabat struktural di semua dinas maupun kurikulum di sekolah,” ujarnya.
Menurut Ery Mefri, Pendiri dan Pemimpin Nan Jombang Dance Company, para pemangku kepentingan perlu melakukan introspeksi. Ia mengajak semua pihak berjalan beriringan, baik birokrat, seniman, maupun pemangku kepentingan lainnya. Ia berharap Koalisi Seni pun menjadi jembatan seniman dengan para pegiat budaya lainnya. “Tidak perlu menuding. Kita harus introspeksi, ke depan bagaimana seniman dan kebudayaan bisa berjalan dengan baik dan pemerintah membuka peluang,” ucapnya.
Adanya tantangan dalam pelaksanaan pemajuan kebudayaan di daerah diakui oleh Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sembari mendesak regulasi terkait pemajuan kebudayaan disahkan di daerah, tak kalah pentingnya adalah terus berupaya memajukan kebudayaan. “Agenda kita bukan menunggu. Agenda kita adalah pemajuan kebudayaan,” ujarnya. “UU Pemajuan Kebudayaan ini bukan UU Ditjen Kebudayaan, tapi berlaku untuk semua instansi dan masyarakat. Ditjen Kebudayaan sangat terbuka menerima saran dan masukan.”
Rangkaian dialog ini merupakan bagian kerja advokasi Koalisi Seni dalam pemajuan kebudayaan. Sepanjang dialog, para seniman berdiskusi dengan pemangku kepentingan lainnya. Selain yang telah disebut di atas, para pembicara dan penanggap dalam dialog ialah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau, Ade Hartati Rahmat; Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Riau, Yoserizal Zen; Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat, Gemala Ranti; Pendiri dan Pembina Komunitas Rumah Sunting, Kunni Masrohanti; Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau, Datuk Seri Al Azhar; serta Ketua Umum Perkumpulan Cagar Budaya Kota Padang, Yeyen Kiram.