Advertisement
Lukisan karya Putu Elmira (sumber: Pixabay) |
Kebanyakan orang akan berpendapat bahwa seni adalah masalah selera. Bila ada yang suka dangdut, dan tidak suka rock, maka sah-sah saja. Begitu juga yang suka melukis, tapi tidak suka teater. Atau, suka komedi dan tidak suka tragedi. Tapi apakah keindahan bisa dinilai dengan selera yang sangat subjektif itu? Esai yang ditulis David Hume berjudul Of the Standard of Taste (Dari Standar Selera) menyinggung tentang selera estetis tersebut.
Hume menulis tentang adanya "pernyataan faktual"
yang bisa dibenarkan, juga bisa disalahkan, karena bisa diuji secara empiris.
Tapi, ada pula "pernyataan estetis" yang untuk membenarkan atau
menyalahkannya menggunakan metode yang jauh berbeda ketimbang pernyataan
faktual. Untuk lebih mengenalinya, lihat kalimat berikut ini:
"Ada sebuah lukisan di ruang tamu, dan lukisan itu
sangat indah."
Pertanyaannya, apakah kalimat ini pernyataan fakta atau
sebuah pernyataan estetis. Bila dikaji dengan pendekatan linguistik, rasanya
tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Masalahnya terletak ketika kalimat itu
akan dimasukkan ke kategori pernyataan faktual, ataukah pernyataan estetis.
- "Ada sebuah lukisan di ruang tamu." > Ini adalah pernyataan faktual. Bisa dibuktikan, dan bisa diamati siapa saja.
- "Lukisan (di ruang tamu) itu sangat indah." > Ini adalah pernyataan estetis. Untuk membuktikannya mungkin akan lebih sulit, karena lebih bersifat subjektif, privat, dan melibatkan perasaan.
Bila kalimat 1 bisa langsung dibuktikan kebenaran atau
kesalahannya, maka kalimat dua perlu pertimbangan yang matang. Karena itu juga,
Hume menuliskan dan menjelaskan secara gamblang tentang "selera
estetis". Bila hanya bersandarkan pada "selera" maka satu karya
yang indah di satu orang, bisa jadi jelek di orang lain. Tapi, bagaimana bisa
karya William Shakespeare bisa dianggap indah setelah melewati evaluasi estetis
oleh orang yang berasal dari berbagai latar budaya, tempat, dan kebiasaan
berbeda? Bagaimana bisa juga karya-karya awal Rhoma Irama juga dianggap
mahakarya bahkan oleh orang-orang yang tidak menggemari musik dangdut?
Bagaimana pula nyaris seluruh isi bumi ini sepakat bahwa musik buatan Mozart
itu sangat indah? Bagaimana pula karya-karya Sopochles dari era Yunani kuno
sampai hari ini masih terus dikagumi keindahannya?
Kita mulai pelan-pelan, apakah yang Anda rasakan ketika
pertama kali mendengarkan satu musik, atau menyaksikan sebuah pertunjukan, atau
memandangi lukisan, tarian, dan objek estetis lainnya. Tentunya, karya seni
dalam hal ini adalah "objek estetis" bukan sebagai "objek",
yang sudah dibahas lebih dalam dalam artikel berjudul Dufrenne dan Pemisahan Tegasantara Karya Seni dan Objek Estetis.
Perasaan pertama yang didapatkan ketika merespon sebuah
objek estetis adalah kita akan menyerap dengan pancaindra kita apapun yang ada
dalam objek estetis tersebut. Kita bisa mengamati, mendengarkan, melihat, dan
menyentuh, untuk akhirnya merasakan semua kualitas yang ada di dalam karya
tersebut. Perasaan pertama ini kita sebut sebagai "persepsi", yang menambah pengalaman estetis kita. Di
tahap berikutnya, Anda mulai akan memutuskan apakah karya seni itu baik atau
tidak untuk Anda. Saat itu, Anda mulai memutuskan apakah Anda
"menyukai" atau "tidak menyukai" karya tersebut. Tahap
kedua ini, disebut Hume sebagai afeksi.
Sebenarnya, dua tahapan ini yang membuat seseorang memutuskan untuk suka, atau
tidak suka dengan satu karya seni.
Seringkali seseorang memutuskan untuk "tidak
menyukai" satu karya seni sebelum melihatnya. Bisa jadi karena
"trauma" di masa lalu. Misalnya begini, seseorang menonton sinetron
di televisi swasta Indonesia, kemudian mencoba menikmatinya. Namun akhirnya,
kepalanya serasa mau pecah karena kualitas akting yang jelek, cerita yang tidak
jelas, dan sebagainya. Ia mencoba menonton sekali lagi sinetron yang lain
dengan judul berbeda. Namun yang didapatkannya adalah hal yang sama. Karena
itu, seseorang itu memutuskan untuk "tidak menyukai" apapun sinetron
yang diputar di televisi. Meski mungkin ada satu yang baik secara kualitas,
tapi ia sudah menentukan dan memberi "pernyataan estetis" bahkan
sebelum menyaksikannya.
Hal itu sebenarnya keliru, meski akan sulit memaksa
seseorang yang sudah "trauma" seperti itu. Tapi, lebih sulit lagi
menahan adanya pernyataan estetis dari seseorang yang "miskin"
pengalaman estetis. Analoginya seperti ini:
Ada seorang anak yang
selama ini hanya makan di rumahnya, dari masakan ibunya, serta kantin sekolah.
Hanya dua tempat itu saja yang menjadi "pengalaman kulinernya".
Kemudian, anak itu dapat kesempatan dari sekolahnya untuk mengikuti kegiatan
yang dilaksanakan di hotel bintang lima. Di hotel itu, anak tersebut makan
malam di restoran di dalam hotel, yang juga restoran bintang lima. Chef di
restoran tersebut adalah chef terkenal yang makanannya pernah mendapatkan
penghargaan di tingkat internasional. Tapi, ketika semangkuk bubur yang dibuat
chef tersebut sampai ke depan anak itu, maka anak itu berkata, "Ah, lebih
enak yang dibuat ibuku, bahkan masih lebih enak bubur yang ada di kantin
sekolah."
Pertanyaannya, kenapa anak itu bisa dengan mudah
"melontarkan" pernyataan yang terkait dengan kualitas makanan? Lalu,
apa landasan anak tersebut bisa menilai makanan buatan chef terkenal di
restoran bintang lima sebagai makanan yang "kurang enak bila dibandingkan
dengan makanan ibunya dan kantin sekolahnya"?
Jawabannya adalah anak tersebut sangat minim pengalaman
kulinernya. Atau bisa kita katakan seperti ini, "standar selera" anak
ini masih minim, karena minimnya pengalaman kuliner. Padahal, anak itu sangat
suka makan? Yah, karena pengalaman kuliner berbasis pula pada ilmu pengetahuan,
seberapa banyak makanan yang pernah ia coba, seberapa banyak teori masakan yang
ia ketahui, seberapa banyak pula ia mempraktekannya, dan sebagainya.
Apa bedanya anak tersebut dengan seorang yang demam sehingga
lidahnya kurang bisa merasakan dengan maksimal, apabila diberikan bubur yang
sama? Yang ditemukan justru persamaan, yah sama-sama tidak bisa kita andalkan
untuk mengetahui kualitas dari makanan tersebut, bukan? Kita sama-sama tidak
mendapatkan informasi yang lengkap, wajar, dan bertanggungjawab dari keduanya.
Baik dari anak tersebut, maupun dari orang yang demam.
Begitu kira-kira analoginya. Anda bisa membiarkan orang lain
mendengarkan musik apa saja yang mereka ingin dengar, juga lukisan apa saja
yang mereka ingin lihat, teater dan film apa saja yang mereka ingin tonton,
sastra apa saja yang mereka ingin baca, dan sebagainya. Itu hak mereka. Tapi,
tidak semua orang "berhak didengar" pernyataan estetisnya terhadap
apa yang mereka nikmati tersebut. Ketika seseorang mengeluarkan pernyataan
estetis semacam "karya ini indah", atau justru "karya ini
jelek", maka setidaknya seseorang tersebut memang mampu melakukan evaluasi
estetis yang bertanggungjawab. Seseorang tersebut bukan termasuk dalam
"anak yang minim pengalaman" atau malah "orang yang demam"
seperti yang disinggung dalam ilustrasi di atas.
Syarat Seseorang
"Berhak Didengar" Evaluasi Estetisnya
Bila dalam ilustrasi di atas (tentang anak yang makan di
restoran bintang lima) bisa disimpulkan bahwa evaluasi rasa dari si anak tidak
"berhak didengar". Begitu juga ketika orang yang sakit, katakanlah
demam, sehingga berkurang kemampuan indra pengecapnya, juga "tidak berhak
didengar" evaluasi rasa terhadap makanan yang dimakannya. Anda juga
"berhak" menutup telinga rapat-rapat ketika ada seseorang yang tidak
pernah sekalipun minum anggur, lalu mengatakan bahwa anggur yang baru
diminumnya itu "tidak enak".
Intinya, tidak semua orang "berhak didengar" hasil
evaluasinya. Termasuk dalam hal estetika. Tidak semua evaluasi estetis
"berhak didengar". Bila kembali ke bahasan sebelumnya tentang
"selera", maka seperti yang ditulis David Hume, bahwa ada
"standar selera" dari seseorang sebelum mampu memberikan evaluasi
estetis. Hal itu berlaku untuk semua bidang. Misalnya, seorang ahli marketing
memberikan evaluasi terhadap bisnis Anda. Tentunya, Anda akan mendengarkannya dengan
baik, bukan? Tapi, coba kalau ahli marketing itu memberikan penilaian terhadap
kesehatan ginjal Anda. Apakah Anda yakin ingin mendengarkannya dan mau percaya?
Syarat pertama
dari seseorang agar evaluasi estetisnya "berhak didengar" adalah
kepekaan imajinasinya. Ia bahkan sangat peka ketika merasakan satu karya seni
dengan detail per komponen-komponennya. Syarat
kedua, ia memiliki kejelian nalar. Ia juga mengkaji detail-detail per
komponen untuk dianalisis berbasis ilmu pengetahuan, tujuan karya, dan
sebagainya untuk mendapatkan evaluasi estetis yang tepat.
Syarat ketiga, ia
mampu melakukan perbandingan antara karya tersebut dengan berbagai karya seni
lainnya secara kualitas. Syarat keempat,
ia sering melakukan latihan untuk melakukan analisis, pengkajian, dan evaluasi
estetis terhadap suatu objek estetis. Jadi, bukan yang pertama kalinya.
Syarat kelima, ia
bebas dari prasangka apapun terhadap karya maupun senimannya. Ia juga tidak
terpengaruh dengan apapun pertimbangan eksternal terhadap satu karya seni. Maka
ia benar-benar melihat karya seni itu dari sudut pandang estetika, tidak dari
sudut pandang lain.
Bila seseorang yang Anda ingin dengarkan memenuhi syarat
tersebut, maka menurut Hume, evaluasi estetisnya "berhak didengar".
Anda akan mendapatkan informasi yang lengkap dan wajar, serta berkualitas dan
bertanggung jawab dari seseorang tersebut.
Persepsi Estetis, Tidak Sama dengan Persepsi Indrawi dan Rasional
Dari awal berkali-kali disebut tentang persepsi estetis.
Bahkan, terkait persepsi estetis ini juga dibahas dalam beberapa artikel
sebelumnya di PojokSeni. Salah
satunya artikel ini Apakah Perasaan Juga Sebentuk Pengetahuan?
Francis Hutcheson, seorang filsuf yang lahir di tahun 1694,
menyampaikan (atau mungkin mempostulasikan) satu gagasan tentang "indra
dalam" yang digunakan untuk mempersepsi sebuah karya seni, baik
keindahannya, kesenangan atau kepuasan ketika menikmatinya, bahkan
kebaikan-kebaikan di dalamnya. Indra dalam ini, menurut Hutcheson, membedakan
keindahan (secara) estetis dengan "keindahan indrawi", juga
"keindahan rasional". Jadi, kesenangan ketika menikmati karya seni,
itu bukan/berbeda dengan kesenangan indrawi, juga kesenangan rasional.
Bila persepsi indrawi tentunya karya seni yang indah, juga
mesti "indah" dalam tangkapan pancaindra. Faktanya, suatu karya seni
juga belum tentu akan mendapatkan keindahan dari suatu karya yang
"indah" dalam tangkapan panca indra. Selain itu, panca indra yang
berfungsi secara baik dan sempurna bukan jaminan seseorang bisa menikmati
keindahan suatu karya seni dengan baik. Bahkan, ada juga keindahan yang justru
tidak bisa ditangkap oleh panca indra, sehingga mesti melibatkan "indra
dalam".
Apa yang membuat persepsi estetis juga berbeda dengan
persepsi rasional. Banyak hal yang memastikan hal tersebut, seperti bagaimana
seseorang tiba-tiba menyukai tarian tradisional Korea, padahal dari kecil
dididik dengan budaya sekelilingnya? Atau, seseorang yang berasal dari Afrika
pun bisa terpana dan terpesona ketika
melihat lukisan Tiongkok padahal tak pernah dilihatnya lukisan yang seperti itu
sebelumnya di lingkungan sekelilingnya. Contoh lain, ada seseorang yang patah
arang, kehilangan semangat, dan mungkin berencana bunuh diri, lalu mendadak
menjadi tegar dan kembali bersemangat setelah mendengarkan satu lagu. Dan masih
banyak contoh lainnya yang membuktikan bahwa kesenangan merespon dan
mengapresiasi sebuah karya seni justru bukan hal yang "rasional".
Hal itu yang membuat pengalaman dan persepsi estetis
tersebut, menurut Hutcheson, harus dibedakan (bahkan dipisahkan) dari
pengalaman dan persepsi yang bersifat indrawi, juga rasional. Namun, karena
"dari dalam" tentunya lebih berat bernilai subjektif, ketimbang
objektif. Karena itu, perdebatan tentang keindahan akan selalu muncul. Karena
berdasar pada "perasaan", maka debat tersebut menjadi seperti debat
kusir yang tak pernah selesai.
Seperti Anda mendengarkan debat antara penggemar India dengan penggemar Korea. Yah,
masing-masing akan "bertempur" dengan argumen subjektif, dan tak akan
pernah selesai.
Lalu, bagaimana bila Anda ingin mendengarkan evaluasi estetis yang bisa menjadi rujukan Anda? Itulah yang dibahas sebelumnya di awal-awal artikel ini tadi. Tidak semua evaluasi estetis dari semua orang "berhak didengar". Dengan menemukan orang yang tepat untuk menjadi rujukan Anda, dan evaluasi estetisnya "berhak didengar", maka Anda bisa menyingkirkan bermacam perdebatan "perasaan" yang tak kunjung selesai tersebut dan bisa menyusun list karya-karya apa saja yang sebaiknya Anda nikmati untuk memperkaya pengalaman estetis Anda.