Advertisement
Pentas "Di Balik Sinar Suram" oleh Kala Teater Makassar |
Ulasan dan Apresiasi atas pertunjukan Di Balik Sinar Suram oleh Kala Teater Makassar
Oleh Raihan Robby*
Kala Teater Makassar kembali memproduksi pertunjukan virtual setelah sebelumnya beberapa pertunjukan seperti “Diri dalam Pandemi”, “Waktu Tanpa Buku” dan pembacaan naskah virtual “Awal dan Mira” juga “Mega-Mega”.
Kali ini Kala Teater Makassar menghadirkan pertunjukan bertajuk “Di Balik Sinar Suram” karya Marx Carverhl adaptasi bebas oleh Fred H. Wetik yang tayang di YouTube mulai dari 22-31 Mei 2021. Pertunjukan virtual ini merupakan salah satu program dari Kala Teater yaitu Studio Aktor yang berfokus untuk pelatihan keaktoran bagi pemula serta yang ingin menambah kapasitas keaktorannya.
Pementasan ini dimulai dengan musik yang ceria di awal lalu terlihat dengan jelas sebuah ruang rapat yang penuh dengan berbagai peralatan rekaman juga kursi dan meja. Bintang Purwasari (Nirwana Aprianty) sudah lebih dulu duduk dan sibuk dengan ponsel pintarnya. Ia terus menggeser-geser layar ponsel seakan sedang dikejar sesuatu. Tak lama, terlihat seorang tamu yang beberapa kali ingin berinteraksi dengan Bintang menanyakan tentang keberadaan Ateng Sujanggo (Yasser Adam) tetapi karena terus-terusan mendapatkan sikap yang dingin tamu itu pun pergi menunggu di luar ruangan.
Tak berapa lama Momon Ringgo (Sukarno Hatta) datang dan disusul Slamet Jimbon (Sabri Sahafuddin) mereka kesal karena diminta rapat oleh Ateng Sujanggo yang masih kebingungan untuk mencari akhir cerita pada film yang sedang mereka garap.
Saat sedang asyik bergosip, Ateng Sujanggo tiba-tiba datang dan menanyakan kesiapan rapat. Terjadi ribut-ribut kecil di antara mereka tentang bagaimana seharusnya adegan akhir dari film yang sedang mereka kerjakan. Mereka berdebat hal-hal kecil dan ketika hendak memulai rapat datanglah Eddy Bitel (Jerome B.M) dan Bonny Agogo (Mega Herdiyanti) yang langsung memperagakan ide mereka untuk adegan akhir. Tapi semua tampak puas melihat adegan akhir itu. Lalu dimulai rapat dan perdebatan semakin seru.
Yang menarik dari pertunjukan virtual ini adalah Kala Teater melakukan running tanpa cut to cut dengan memaksimalkan tiga/empat kamera (dalam hitungan saya) yang memberikan sudut pandang berbeda. Seperti untuk zoom in dan zoom out gerak aktor, ada yang statis dan ada yang mengeksplorasi ruang.
Karena tanpa cut to cut selama pertunjukan ini para aktor menghadirkan bisnis akting dan improvisasi yang cukup terlihat jelas di beberapa adegan. Ini yang bagi saya membedakan antara film dengan teater virtual. Bagi saya film dan teater mempunyai dua konsep yang cukup kuat: Show, Don’t Tell dan Tell, Don’t Show. Yang pertama bagi saya dengan melihat detail mimik, gerak tubuh, sampai keringat yang bercucuran bisa menjadi sebuah teks ketika di panggung pertunjukan. Kalau yang kedua penuh akan dialog. Dialog yang penuh ini bagi saya yang membedakan antara film dengan teater virtual. Juga saya pikir Kala Teater melakukannya dengan tepat, memindahkan pertunjukan aktual ke pertunjukan virtual karena masih dalam masa pandemi. Sehingga yang ditampilkan murni tanpa cut to cut dan tidak ada pengeditan adegan untuk menyambung jalannya cerita juga tidak digarap secara sinematik tetapi justru menghadirkan sudut pandang-sudut pandang yang berbeda melalui mata kamera.
Kembali lagi ke cerita, terjadi banyak perdebatan di sana. Ateng Sujanggo ingin ending yang bahagia dan tentu memikirkan bagaimana film yang mereka garap akan laku di pasaran. Berbeda dengan Slamet Jimbon yang perlu memikirkan value/nilai dalam menggarap sebuah film. Perdebatan semakin memanas ketika mereka tidak menemukan titik terang. Di satu sisi Ateng Sujanggo menginginkan ending yang bahagia dan laku di pasaran. Di satu sisi mendukung nilai dari film yang berlandaskan akan tujuannya masalah laku atau tidak adalah hal lain.
Bagi saya ini kritik atas situasi dan kondisi saat ini, ketika kesenian menjadi sebuah produk yang memikirkan untung-rugi dan bekerja sesuai permintaan pasar. Kalaulah pasar yang diangan adalah pasar tradisional, menghadirkan tawar menawar (dalam hal ini meliputi banyak aspek seperti tawar menawar gagasan, harga, hingga esensi kesenian) tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Yang dihadirkan adalah pasar modern. Swalayan, yang tak bisa ditawar, sudah tercatut harga dari nilai itu. Dan para penonton tak bisa melakukan tawar menawar (tak ada komunikasi) gagasan atau pandangan. Inilah yang bagi saya dikritik oleh Kala Teater, karena ditakutkan masyarakat kita akan menjdi masyarakat konsumtif terhadap kesenian. Yang terus menerus menelan banyak hal yang ditawarkan tanpa memilah mana yang baik untuk tubuh dan mana yang hanya menjadi pemuas nafsu.
Memang untuk menentukan akhir dari sebuah adegan yang mana diperlukan sering kali kita memaksakan kehendak untuk memilih akan diarahkan ke happy ending atau sad ending. Bagi saya, yang terpenting adalah kelogisan cerita juga tujuan yang disampaikan melalui cerita itu. Perihal nilai, atau pemaknaan akan muncul seiring dengan tangkapan masing-masing penonton.
Lajos Egri membahas dengan serius dalam The Art of Dramatic Writing. Tentang struktur tokoh hingga kepentingan premis. A.S Laksana dalam bukunya Creative Writing mengatakan bahwa ketika tokoh-tokoh itu selesai dengan dirinya, mereka pula akan menyelesaikan jalannya cerita yang mereka bangun.
Perihal plot twist atau pembalikan karakter yang signifikan memang akan mengejutkan penonton. Seperti di akhir dari pertunjukan virtual Kala Teater Makassar ini, bahwa sosok tamu yang sedari tadi menunggu akhirnya dipanggil untuk diminta pendapatnya tentang pembuatan film yang berjudul “Di Balik Sinar Suram”, yang mengejutkan adalah sosok tamu tersebut mengkritik dengan keras para produksi film itu karena mencederai jalannya cerita. Dan menawarkan sebuah akhir dari cerita itu, yang mana ia mengatakan bahwa akhir dari cerita ini adalah awal dari cerita ini.
Saya kembali mengingat film Tenet besutan sutradara kondang Chritopher Nolan, di akhir cerita film Tenet, seakan terjadi hal yang paradoksal, bahwa akhir dari cerita adalah awal dari cerita. Ini menjadi menarik karena di dalam pertunjukan virtual Kala Teater Makassar yang disutradarai oleh Dwi Sastra Mario ini terjadi hal yang bertumpuk dan seakan mencari jalannya sendiri. Hal yang bertumpuk itu seperti dari judul pementasan ini yang ceritanya juga menggarap film dengan judul yang sama dari pertunjukan ini. Lalu ada plot twist yang di akhir pementasan menampilkan bahwa sosok tamu itu adalah Arief Senjaya (Fikri Yathir) seorang penulis cerita “Di Balik Sinar Suram” yang sedang para produksi film itu adaptasi.
Saya menikmati keseluruhan dari pementasan ini, selain karena usaha untuk tetap produktif di saat pandemi. Penggarapan pertunjukan virtual yang tanpa cut to cut sehingga dapat dilihat secara langsung bagaimana teks aktual dalam medium teks virtual.
Jakarta, 2021
*Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia UNY.