Kacamata Tertinggal di Galeri Seni Dikira Karya Seni, Kocak Bukan? -->
close
Pojok Seni
07 June 2021, 6/07/2021 07:00:00 PM WIB
Terbaru 2021-06-07T12:00:00Z
ArtikelSeni

Kacamata Tertinggal di Galeri Seni Dikira Karya Seni, Kocak Bukan?

Advertisement

PojokSeni.com - Beberapa waktu lalu, dunia dikejutkan dengan instalasi seni berupa pisang yang direkatkan dengan selotip di dinding. Karya itu laku sampai Rp1,7 miliar. Pertanyaannya, di mana seninya?


Perdebatan muncul setelah itu, tapi sebagian seniman tidak sepakat dengan karya yang disebut "tidak masuk akal" itu. Tidak masuk akal untuk masuk kategori karya seni, alias objek estetis.  Setidaknya, salah satu yang dengan radikal menentang "buah pisang sebagai karya seni" tersebut adalah David Datuna. 


Pelaku seni pertunjukan ini membuat sebuah pertunjukan mengerikan di galeri seni. Dia datang ke Basel, lalu memakan pisang yang tertempel di dinding tersebut. Padahal, karya itu sudah dibeli oleh seorang kolektor karya asal Perancis.


"Yah, saya memakan sebuah konsep seni," kata Datuna. "Dan ini adalah pertunjukan saya, berjudul artis lapar," tambah dia.


Banyak juga yang berpendapat, bahwa sebenarnya seniman yang sudah punya nama itu membuat sesuatu yang sembarangan, bahkan mungkin tidak dengan sentuhan seni. Kemudian, ditopang dengan berbagai macam teori, konsep, hingga makna di baliknya, akhirnya karya pisang ditempel selotip itupun menjadi sebuah "mahakarya" yang mahal harganya.


Hal itu dibuktikan oleh seorang pemuda jahil asal San Francisco, Amerika Serikat bernama TJ Khayatan. Idenya adalah datang ke galeri seni di kota setempat, lalu di sebuah sudut pamer yang kosong, ia meninggalkan kacamatanya. Tentunya dengan sengaja.


Apa yang terjadi setelah itu? Anda mungkin terkejut ketika menyadari bahwa orang-orang mengerubungi kacamata itu. Ada yang memotret, ada yang terilhami, ada pula yang sampai jungkir balik untuk mengambil potret terbaik dari "karya" tersebut.


Apa yang dibuktikan dengan kejadian usil TJ Khayatan? Bahwa orang-orang, pengunjung galeri, kolektor, kritikus, dan sebagainya sepertinya mesti membuka ulang cara berpikir tentang sebuah karya seni. Apalagi bila karya seni itu diberi tajuk "post-modern" yang serba abstrak dan konseptual itu.



Bayangkan saja, bukan sebuah karya tapi hanya sebuah keusilan, bisa menjelma menjadi sebuah "karya seni". Bayangkan saja kalau yang meletakkan kacamata itu adalah Pablo Picasso, sudah berapa kemungkinan harga "karya seni" itu? Miliaran mungkin?


Untuk menjawab hal tersebut, tentunya dimulai lagi dengan pertanyaan, apa yang membedakan seni dan bukan seni? Pertanyaan berikutnya, apa tujuan dari seni? Jawabannya ada di artikel berikut: "Apa yang membedakan seni dan bukan seni"

Ads