Hubungan Antara Level Intelektual dengan Selera Seni, Menurut Pierre Bourdieu -->
close
Pojok Seni
15 June 2021, 6/15/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-06-15T00:00:00Z
Estetika

Hubungan Antara Level Intelektual dengan Selera Seni, Menurut Pierre Bourdieu

Advertisement


pojokseni.com - Sekali lagi harus kita katakan bahwa sebagian besar orang menganggap seni adalah urusan selera. Tentang selera seni sebetulnya bukan pertama kali ini diulas, sebelumnya dalam artikel bertajuk "Mengapa Selera Estetis Setiap Manusia Berbeda? Apakah Semua Evaluasi Estetis "Berhak Didengar"?" juga sudah disinggung terkait selera estetis berdasar esai yang ditulis David Hume berjudul Of the Standard of Taste.


Namun kali ini, menarik untuk mengulas perspektif Pierre Bourdieu terkait selera estetis alias selera seni. Selera estetis, misalnya selera musik, bagi Bourdieu sangat berkaitan dan berhubungan dengan level intelektual. Nyatanya, produk seni adalah produk dari "perbedaan kelas" ketimbang pengakuan terhadap kualitas karya tersebut. Selera estetis dimulai dari habitus, lalu berlanjut ke kapital, dan akhirnya menuju arena. Pertanyaannya, apa itu habitus, kapital, dan arena?


Habitus


Prosesnya bermula dari habitus. Oleh Bourdieu, habitus diartikan sebagai sebuah proses sosial yang memakan waktu lama. Di dalamnya ada proses tertentu yang menjadikan sesuatu hal terinternalisasi dan teralkulturasi di dalam pikiran, tubuh, dan diri manusia. Hasilnya, akan menjadi sebuah kebiasaan (habit) yang terstruktur tanpa disengaja. Seorang anak yang terbiasa membaca novel pop yang dijual di toko buku dengan label best seller pada akhirnya akan tetap terbiasa dengan novel yang sama hingga dewasa. Sedangkan seorang anak yang terus diperdengarkan karya musik klasik sejak kecil akan terus terbiasa mendengarkan musik klasik hingga dewasa. Dan proses membentuk habitus tersebut berawal dari apa yang diberikan, digambarkan, ditayangkan, didengarkan, dan dibacakan untuk seorang anak. 


Habitus juga terpengaruh dengan lingkungan, sosial, adat, budaya, dan agama. Dan akhirnya, habitus membentuk selera. Masyarakat kelas menengah, kelas atas, hingga kelas bawah memiliki selera yang berbeda. Semuanya tergantung pada habitus setiap orang.


Kapital


Setelah melewati proses panjang dan menjadi kebiasaan yang terstruktur, maka perlahan telinga orang yang terbiasa dengan musik rock akan mulai kurang bisa menerima musik lain. Orang yang terbiasa membaca novel pop, agak berat hatinya untuk menerima bacaan novel sastra. Terbiasa menonton drama yang ringan dan mudah dimengerti, akan sulit menerima menyaksikan naskah yang lebih berat. Terbiasa musik klasik, akan sulit menerima musik dangdut, atau K-pop. Berikutnya, circle-nya akan menjadi terpisah antara satu dengan lainnya.


Maka proses berikutnya adalah proses kapital. Kapital yang dijelaskan Bourdieu hampir sama seperti kapital yang dipaparkan Karl Marx. Namun, ada banyak perkembangan yang lebih detail. Namun, kapital tadi tetap memungkinkan manusia mendapatkan kesempatan-kesempatan tertentu di dalam hidupnya. Seseorang yang terbiasa mendengar musik klasik, lalu akan memelajari musik klasik, dan terbuka kesempatan baginya menuju panggung musik klasik. Sedangkan yang terbiasa musik pop, lalu memelajari musik pop, maka kesempatan yang terbuka baginya adalah menuju industri musik pop. 


Kapital terdiri dari kapital intelektual, kapital simbolik, dan kapital budaya. Musik klasik, drama atau teater yang "berat", novel sastra, dan lukisan-lukisan mendapatkan akses ketiga jenis kapital itu secara lengkap. Misalnya, orang-orang yang datang menonton opera, atau menonton konser musik klasik, maka akan mendapatkan label "intelektual", "berbudaya", sekaligus "simbolik" secara sosial. Sedangkan untuk yang datang ke konser musik rock, atau dangdut, atau ke konser boyband Korea, mungkin tidak mendapatkan ketiga kapital tersebut secara lengkap. Salah satu yang lepas adalah "kapital intelektual" dan kapital budaya", di mana penggemar musik yang sama, hanya berbeda grup akan punya motif untuk bertikai. Hal tersebut tidak ditemukan untuk golongan "intelektual" dan "budaya". 


Arena


Terakhir adalah arena, alias di mana posisi sosial seseorang tersebut. Berakar dari habitus, dan mendapatkan kapital, maka posisi yang mereka dapatkan tentunya berbeda setiap orang. Bisakah pendengar musik pop dan pendengar musik klasik akan berada di satu "arena", atau di satu "posisi sosial". Jawabannya adalah tidak. Sebab, arena merupakan hasil konstruksi yang spesifik dari habitus dan kapital. Maka, bisa dikatakan arena ini adalah lingkaran atau circle yang paten dari seseorang yang terbentuk dari habitus dan kapital.


Selera estetis yang sering disebut "tinggi" itu bisa dikatakan adalah milik golongan atas, kalaupun tidak "kaya", mungkin masuk kategori "intelektual", atau "berbudaya". Sedangkan selera estetis yang "populer" disebutkan sebagai milik "rakyat jelata". Karena, tidak begitu ada interaksi antara kehidupan dengan seni bagi kategori ini. Inilah akhirnya dari konstruksi intensif yang dibentuk habitus, kapital, dan arena. Musik, atau teater, atau lukisan, dengan konsepsi yang ilmiah, filosofis, dan "bobot pesan yang berat" sangat sulit untuk dikonsumsi "golongan rakyat biasa". Penyebabnya, berbeda dengan golongan atas yang menjadikan seni sebagai kebutuhan, di golongan menengah ke bawah, seni adalah hiburan semata.


Itu kenapa dalam seni "populer" tidak dikenal hal-hal yang rumit-rumit untuk dinikmati. Baik notasi dan lirik, atau pilihan diksi, atau bobot pesan yang dibawa, harus bisa dengan cepat dinikmati tanpa harus membuang banyak waktu. Karena waktu harus digunakan untuk hal lain seperti mencari uang. Ditambah lagi, untuk konsep seni populer, label-label seperti "best seller", "penjualan terbanyak", "paling laku" dan sebagainya adalah kunci keberhasilan karya. Bukan dari segi kualitas kekaryaan tersebut.


Itulah kenapa Bourdieu menyebut bahwa karya-karya dengan selera estetis yang tinggi (sering disebut high art) hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki habitus, kapital (baik intelektual, simbolik, dan budaya), serta arena yang terindentifikasi sebagai "kelas atas". Tidak hanya itu, orang-orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai "kelas atas" seperti akademisi, aristokrat, bangsawan, filsuf, seniman, dan sebagainya akan memilih untuk menyukai high art.


Terkait high art dan low art, sudah dibahas sebelumnya dalam artikel ini: Apa Itu "High Art" dan "Low Art"? Ini Penjelasannya


Dengan demikian, masih menurut Bourdeu, bahwa sebenarnya kaitan antara intelektual, kelas sosial, dan kebiasaan seseorang dengan selera estetisnya sangat erat. Bahkan, selera estetis seseorang terbentuk dan dikonstruksi lewat intelektualitas, sosiologis, dan kebiasaan yang melahirkan tiga hal di atas: habitus, kapital, dan arena.

Ads