Advertisement
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil.
Tampak secara jelas bahwa permasalahan terkait beberapa refleksi penulis sebelumnya, belum selesai dan sepertinya butuh waktu untuk menyelesaikannya (?). Desakan dan dorongan untuk segera menyelesaikan problem historisitas musik kolintang ini, terus mengemuka dan mengisyaratkan akan terus menghangat, di tengah upaya untuk ‘mempermanenkan’ musik kolintang sebagai warisan budaya tak benda dari Minahasa-Indonesia dan mendapatkan pengakuan oleh UNESCO.
Seyogyanya, perdebatan ini muncul karena ada anggapan bahwa, selain data-data yang selama ini sudah ada dan selalu digunakan serta dirujuk oleh berbagai pihak, bagi pihak tertentu tidak valid (lagi), karena pihak ini mengklaim data mereka adalah yang lebih valid (?). Bahkan mereka terus mendorong untuk segera, secepat mungkin mengubah data-data yang ada dengan mengadakan penelitian ulang atau ‘mendaur ulang’ historisitas musik kolintang yang ada saat ini. Praktisnya, dorongan itu mengarah pada mewawancarai ulang para pelaku-pelaku kolintang yang dianggap lebih ‘tua’ (dalam kategori usia) dibandingkan pelaku-pelaku kolintang yang ada dan yang banyak ditulis dan dirujuk selama ini.
Terhadap fakta ini, penulis yang juga turut serta secara sukarela dalam pembuktian-pembuktian ini, melalui refleksi ini perlu menegaskan hal-hal berikut: Pertama, rujukan-rujukan yang ada selama ini, tidaklah seperti anggapan itu. Selain rujukan yang sudah penulis uraikan dalam tulisan sebelumnya pada laman pojokseni.com berjudul: “Historisitas Musik Kolintang, Quo Vadis?”, terdapat juga sebuah rujukan penting yang sudah pernah dituliskan oleh sejarawan F. Parengkuan berjudul “Nelwan Katuuk & Musik Kolintang Minahasa”, yang diterbitkan oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1984, di mana karya ini paling tidak mengatakan lagi bahwa statement penulis dalam beberapa tulisan sebelumnya, terkonfirmasi.
Kedua, desakan untuk mendaur ulang historisitas musik kolintang itu, dengan cara mewawancarai para pelaku kolintang yang dianggap lebih tua, justru menempuh cara dan metode sebagaimana sudah dilakukan oleh sejarawan terdahulu (poin pertama di atas), sehingga langkah ini terkesan dipaksakan. Terjadi demikian karena tampak adanya keraguan atas cara dan proses pemerolehan pengetahuan yang ada dan sudah dituliskan dalam rujukan-rujukan terlebih dahulu, sehingga menjadi rujukan sampai saat ini, semisal beberapa buku yang penulis. Atas fakta kedua ini, maka problem mendasarnya adalah ketidakpahaman tentang apa itu dasar dan sumber pengetahuan sebagaimana yang sudah dikenal umum dalam dunia ilmu pengetahuan.
Maka dari itu, fokus penulis dalam refleksi ini adalah bukan untuk mengklaim mana yang paling benar dan mana yang kurang valid, melainkan yang terpenting saat ini adalah memahami terlebih dahulu apa itu pengetahuan dan dasar-dasar pengetahuan, sehingga apa yang digunakan saat ini (rujukan-rujukan tentang historisitas musik kolintang) tidak serta merta dianggap tidak valid.
Sebagaimana umum dikenal, pengetahuan berfungsi memberikan penjelasan dan kejelasan pada manusia berkenaan dengan alam semesta serta kehidupan manusia sendiri, entah berbentuk penjelasan yang bersifat deskriptif, korelatif, kausatif, prediktif, hingga pengetahuan yang bersifat kreatif. Dengan pengetahuan yang telah dimiliki, pada saat yang sama manusia memiliki kemampuan menggambarkan, menguraikan, menganalisa, menjabarkan bagian-bagian dari hal yang diketahuinya, termasuk menunjukkan adanya hubungan keterkaitan yang satu dengan lainnya, menjelaskan hubungan sebab-akibat antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya, memiliki kemampuan memprediksi (meramalkan) peristiwa yang akan terjadi berdasar peristiwa-peristiwa yang telah diketahui terlebih dahulu, memiliki kemampuan kreatif untuk menata, mengendalikan, merekayasa situasi yang dihadapinya agar sesuai dengan situasi yang dikehendakinya. (Wahana, 2016: 47).
Sementara itu, dasar pengetahuan menunjuk pada semua hal yang mememungkinkan adanya sebuah pengetahuan bagi manusia, yang tidak perlu diragukan lagi eksistensinya. Hal pertama yang perlu dikemukakan terkait hal ini, adalah bahwa sebuah rujukan/buku yang merupakan hasil penelitian yang akhirnya menjadi pengetahuan bagi manusia, tidak pernah ditulis hanya berdasarkan imajinasi atau khayalan. Demikian juga, sebuah buku ditulis berdasarkan pada data dan fakta yang secara mutlak valid dan yang diperoleh berdasarkan kaidah-kaidah kebenaran ilmiah.
Immanuel Kant, sang filsuf Jerman menegaskan bahwa yang paling pertama menunjang sebuah pengetahuan adalah mengacu pada pengalaman dan pengamatan inderawi, yakni pada bagaimana benda atau objek tertentu tampak pada kita melalui panca indera. Jadi, untuk mengetahui bahwa suatu konsep benar, seseorang mengacu kepada bagaimana objek itu menampakkan diri pada dirinya. Artinya subjek kemudian mengeceknya berdasarkan data dan fakta yang bisa ditangkap oleh panca indera. Maka untuk mengetahui kebenaran sebuah pengetahuan, kita tidak mengacu kepada akal budi saja, melainkan pada bagaimana objek yang dinyatakan , yang tampak pada subjek dan menjadikannya pengalaman bagi manusia. Pendek kata, pengalaman adalah keseluruhan peristiwa perjumpaan dan apa yang terjadi pada manusia dalam interaksinya dengan alam, diri sendiri, lingkungan sosial di sekitarnya dan dengan seluruh kenyataan. (Sudarminta, 2002: 32).
Kedua, suatu objek hanya bisa ditangkap oleh panca indera kalau sudah mempunyai kategori tertentu. Maksudnya pengetahuan memang didasarkan pada pengalaman inderawi, namun pengalaman inderawi itu hanya mungkin terjadi dalam bentuk-bentuk bawaan tertentu yang ada dalam diri manusia, seperti hubungan sebab akibat. Jadi, di pihak lain ada pengetahuan transendental yang memberi kerangka yang memungkinkan objek dapat dialami. Dengan demikian kita hanya bisa mengetahui benda yang tampak melalui panca indera kita. Maka akal budi menangkap benda tertentu sesuai dengan bentuk-bentuk yang telah ada dalam akal budi manusia.
Bagaimana aplikasi konsep pemerolehan pengetahuan di atas dikaitkan dengan perdebatan hangat tentang historisitas musik kolintang? Hemat penulis, berpijak dari pandangan tentang kebenaran sebuah pengetahuan sebagaimana diuraikan di atas, historisitas musik kolintang yang ada saat ini, telah berdasarkan proses pemerolehan sebuah pengetahuan di mana konsep tentang kebenaran yang mencatat bahwa Nelwan Katuuk sebagai orang yang pertama mempopulerkan musik kolintang, sudah mengacu pada proses pemerolehan pengetahuan yang berdasarkan data dan fakta yang bisa ditangkap oleh panca indera.
Dalam arti tertentu, catatan-catatan tentang beliau yang ada selama ini, merupakan bukti yang valid. sehingga dengan demikian juga, subjek (peneliti/ilmuwan) yang telah menulis historisitas musik kolintang dan digunakan sampai saat ini, telah berdasarkan data dan fakta, dan mutlak bukan berdasarkan intuisi atau opini saja. Di sisi yang sama, berbagai sumber yang menuliskan bahwa Nelwan Katuuk adalah orang yang dianggap pertama kali mempopulerkan musik kolintang itu, tentu tidak bisa diragukan. Maka dengan demikian bantahan terhadap kevalidannya, sesungguhnya tidak perlu ada. Walaupun sampai saat ini masih ada anggapan bahwa masih ada sosok yang lebih dahulu ada darinya (dari sisi usai), namun sampai saat ini belum ditemukan rujukan-rujukan yang mencatatkan hal ini.***
Penulis adalah Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado - Pegiat Filsafat-Estetika