Bagi Hegelian, Seni Telah Mati, Terutama Hari Ini -->
close
Pojok Seni
13 June 2021, 6/13/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-06-13T00:00:00Z
BeritaEstetika

Bagi Hegelian, Seni Telah Mati, Terutama Hari Ini

Advertisement

PojokSeni.com - George Wilhem Friedrich Hegel, filsuf dan estetikawan era romantik punya thesis yang menarik, dan menimbulkan banyak pro-kontra. Tesisnya adalah, seni itu telah mati, khususnya di era pasca romantik. Kata Hegel, bahwa seni telah mencapai puncak tujuannya di era romantik. Bahkan, seniman di era romantik telah mampu menghadirkan "Yang-Absolut" secara spiritual sebagai puncak dari tujuan seni itu ada. Maka, apa lagi yang dibuat oleh seniman era setelahnya? Apalagi, di hari ini ketika teknologi sudah meresap ke setiap sendi kehidupan manusia?


Tesis "kematian seni" yang dipaparkan Hegel, tentunya diamini oleh para pengikutnya hingga saat ini. Seni pada awalnya masih mengandung banyak hal yang misterius, secercah harapan tentang perubahan, kerinduan-kerinduan, dan pandangan imajinatif yang selalu memiliki sisi yang menarik. Namun, berkat hadirnya karya-karya monumental tersebut, satu per satu rahasia yang dimaksud dibuka tabirnya oleh seni hingga batas optimalnya. Selanjutnya, lanjut Hegel, hanyalah jalan buntu bagi seni. Hegel mendeklarasikan tesisnya dengan gamblang di bukunya "Hegel's Aesthetic: Lectures on Fine Arts" yang terbit di tahun 1988.


Kata Hegel, apa yang harus dilakukan orang pada era-era berikutnya adalah "mendiskusikan seni", hal yang menjadikan filsafat seni dan juga estetika menjadi jauh lebih penting ketimbang seni itu sendiri. Dipaparkan oleh Martin Suryajaya dalam "Sejarah Estetika: Era Klasik hingga Kontemporer", yang dikutip dari Rekonstruksi Inwood (2005), bahwa Hegel telah memaparkan dilema yang muncul, sekaligus mendasari tesis "kematian seni" tersebut.


- Seni mengandung pesan yang serius. Itu berarti seni adalah hal yang mubazir, karena pesan yang lebih serius dan dalam justru dipaparkan dalam agama dan filsafat.

- Seni adalah sebuah hiburan, tanpa pesan yang serius. Itu berarti seni adalah hal yang juga mubazir, karena harta, anggur, wanita, dan sebagainya justru lebih "menghibur" daripada seni.


Dari dilema yang dipaparkan Hegel, semakin memperkuat tesisnya tentang "kematian seni". Bagi Hegel dan para pengikutnya, seni khususnya di era pasca-romantik, hadir sebagai "filsafat kelas dua", atau malah "jalan mengenal agama", "hiburan tanpa pesan serius yang dirumit-rumitkan sekaligus bertele-tele", dan hal-hal lainnya yang tetap memperkuat deduksi bahwa seni adalah hal yang mubazir. Untuk terlalu serius, akan bertemu jalan buntu. Untuk tidak serius, juga akan bertemu jalan buntu.


Era romantik, dipandang Hegel sebagai saat di mana pesona seniman mencuat ke permukaan. Seorang seniman akan bisa dengan bebas melakukan "pencurahan isi pikiran dan perasaan" dengan bebas dan tanpa terkungkung apapun. Hal itu yang menurut Hegel membuat seni kehilangan kebaruan. 


Pandangan Hegelian terhadap Seni Kontemporer


Mengikuti pendapat Hegel, maka para pengikut Hegel yang terus melihat perkembangan seni hingga saat ini akan mengatakan bahwa sebuah hal yang mubazir telah terjadi berlarut-larut hingga saat ini. Meski ini dugaan yang spekulatif, namun tentunya berdasar bagaimana cara Hegel memandang seni di era pasca-romantik dan modern. Kemudian bagaimana dengan hari ini?


Hari ini (masih berdasarkan dugaan berbasis tesis Hegel), seni akan dipandang lebih "mati" daripada era sebelumnya. Seni sebagai hiburan yang formal-artistik bahkan juga sudah tergantikan dengan teknologi. Ada banyak orang yang bisa membuat "seni", tanpa harus mendalami seni lebih komprehensif. Seni juga tak mampu lagi mengusung pesan yang lebih serius. Alhasil, pesan-pesan yang sepele agar mudah ditangkap publik, dengan tujuan keuntungan tertentu, menjadi wajah seni hari ini.


Hegel mungkin lebih menyarankan agar seseorang memelajari seni, berdiskusi tentang seni, dan mengais kembali apa yang disampaikan di dalam karya-karya seni yang sudah ada. Filsafat seni dan estetika menjadi hal yang lebih penting dipelajari ketimbang seni itu sendiri. Pesona seniman akan jauh lebih mencuri perhatian ketimbang karya seninya. Lalu, bermunculan karya-karya "sampah" yang tak menyimpan apa-apa, juga tak bermanfaat. Kehidupan seorang seniman, lebih menarik diulas dan dikorek-korek, ketimbang apa yang diciptakannya. Bisa kita duga bahwa itulah yang ada di kepala Hegel dan para pengikutnya hingga hari ini, bukan? 

Ads