Advertisement
Pertunjukan atau presentasi teater kaum tertindas, tampak Augusto Boal (berbaju ungu) memanggil pentonton untuk ikut dalam pertunjukan |
Pojokseni.com - Bila sebelumnya PojokSeni mengulas Estetika Kaum Tertindas yang diperkenalkan oleh Augusto Boal, maka dalam artikel ini akan lebih spesifik dibahas tentang "teater kaum tertindas" (Theatre of the Oppressed). Seperti ditulis oleh Nick Montfort, dan Wardrip-Fruin Noah dalam "From Theatre of the Oppressed", teater kaum tertindas ini diperkenalkan dan dikembangkan Augusto Boal sejak tahun 1950-an, dan dikenal secara luas pada 2 dekade kemudian.
Sistemnya disusun dari kritik dan analisis teatrikal oleh Boal, yang kemudian dikembangkan berdasarkan gagasan interaksi langsung antara penonton dan pemain. Ide itu yang terus dikembangkan sehingga teater kaum tertindas terus berkembang, bahkan hingga hari ini.
Disebutkan Wikipedia, bahwa pemikiran Boal terpengaruh dari pemikiran filsuf asal Brazil, Paulo Freire. Boal menggunakan teater sebagai media untuk menyampaikan dan mempromosikan pemikiran sosial dan politik yang berhaluan kiri. Karena penonton lebih aktif, maka para "aktor" akan lebih mampu mengekplorasi dan menganalisis realitas kehidupan sosial mereka.
Ciri Khas Teater Kaum Tertindas
Augusto Boal mempresentasikan tentang teater kaum tertindas |
Teater kaum tertindas membuat penonton dapat aktif terlibat dalam sebuah pementasan, bahkan ikut menentukan akhir dari drama tersebut. Tujuan utamanya adalah Boal ingin setiap orang lebih aktif dan mengambil keputusan terhadap apa yang terjadi di hadapannya. Terutama ketika ada orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Ciri khas teater kaum tertindas adalah ceritanya tidak akan ada kesimpulan. Bayangkan saja, ada orang-orang yang datang ke teater karena ingin menyelesaikan konflik yang terjadi di atas panggung. Boal seakan menginginkan ada musyawarah, bahkan hingga berakhir voting untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di atas panggung.
Karenanya, alih-alih sebuah pertunjukan, teater kaum tertindas lebih cocok disebut workshop teaterikal. Penonton akan terlibat satu sama lain, dan masalah yang digunakan sebagai pemantik adalah isu ekonomi, politik, penindasan, rasisme, seksisme dan sebagainya. Karakter di atas panggung kadang tak mampu menyelesaikan masalah (mungkin karena terpaku naskah), namun penonton terlepas dari itu. Mereka bisa mencari cara untuk menyelesaikan konflik yang ada di atas panggung.
"Teater itu tidak revolusioner, maka teater kaum tertindas adalah latihan untuk revolusi," kata Boal di presentasinya tentang teater kaum tertindas.
Sebenarnya hal itu akan sangat cocok apabila Anda terbiasa menonton teater, lalu merasa tidak puas dengan apa yang dilakukan oleh aktor sehingga masalah tidak kunjung selesai, maka sesekali mencoba menonton pertunjukan teater kaum tertindas ini akan menjadi sangat tepat.
Ada Penengah yang Netral
Namun agar pertunjukan bisa berjalan sebagaimana yang direncanakan, ada seorang "joker" alias penengah antara penonton dengan para aktor. Joker ini merujuk para kartu joker yang ada di remi, karena kartu joker selalu bisa melebur ke mana saja. Itulah tugas joker yang ada di sini.
Ia memantik agar penonton bisa protes, memberi solusi, memberi pandangan, bahkan ikut bermain dalam drama yang dipertunjukkan. Bagaimana ceritanya harus berakhir, dan Anda sebagai penonton akan menjadi tokoh protagonis di dalam cerita.
Tujuan utama dari teater kaum tertindas adalah manusia harus mengambil tindakan atas konflik atau masalah yang terjadi di hadapannya. Penonton diminta untuk lebih aktif, dan tentunya harus ada yang menjadi sekat antara mana yang cerita, dan mana yang penonton. Itulah tugas joker, alias penengah yang netral ini.
Joker juga disebut sebagai fasilitator, atau malah sering pula disebut sebagai mediator dan moderator. Joker tidak terlibat dalam cerita, bahkan tidak ikut campur dengan jalannya cerita, karena semua itu diserahkan pada aktor dan pemainnya. Joker mengawasi permainan, sekaligus menyediakan struktur pertunjukan.
Penonton adalah Spect-actor
Bila dalam pertunjukan teater, penonton adalah "spectator", maka dalam teater kaum tertindas, penonton adalah spect-actor. Jadi, mereka berada dalam posisi penonton sekaligus aktor.
Selain itu, juga dikenal istilah Rainbow of Desire (Pelangi keinginan) yang digunakan Boal dalam teater kaum tertindas. Disebutkan dalam Actingnow, bahwa "Rainbow of Desire is Boal’s extraordinary effort to apply TO approaches, especially Image Theatre, as a way of offering a systematic psychotherapeutic technique. Although too extensive both in theory and practice to summarize adequately here, suffice it to say that the Rainbow work seeks to exteriorize interior feelings and relationships, but to use a collaborative process."
Selain itu, dikenal pula beberapa mode pertunjukan, seperti teater gambar (Image teater), dan teater forum. Teater gambar adalah pertunjukan dengan tubuh manusia sebagai representasi rasa, ide, dan hubungan. Bisa menggunakan tubuh sendiri, maupun tubuh orang lain untuk mendemonstrasikan bentuk atau respon terhadap situasi, penindasan, dan konflik yang ada di atas panggung.
Mode yang kedua adalah teater forum. Bermula dari ide "improvisasi untuk adegan penindasan" serta "merespon penindasan", menjadikan penonton juga seorang protagonis yang menghadapi dan melawan penindasan dari antagonis.
Tentu masih ada lebih banyak lagi terkait teater kaum tertindas yang masih sangat menarik untuk dibahas dan diulas.