Advertisement
Kritik seni berawal dari apresiasi |
Oleh: Ambrosius M. Loho, M.Fil *
Realitas hidup diyakini akan berlangsung dinamis dan tidak akan selamanya statis. Realitas itu pun tidak tanpa kait mengait satu sama lain, karena keberadaannya di suatu tempat yang sama. Hal itu dibuktikan dengan fakta bahwa realitas hidup jaring jaring menjaring, dan bahkan saling melengkapi satu dengan yang lain. Akhir dari jaring menjaring dan saling melengkapi itu, adalah lahirnya sebuah perubahan. Kendati demikian, sebuah realitas hidup tidak akan berjalan mulus tanpa kritik. Kritik bahkan sangat dibutuhkan untuk membangun fondasi yang semakin kuat, demikian juga kehidupan itu.
Kehidupan berkesenian saat ini pun, tentu tidak bisa hidup dan berkembang tanpa kritik, walaupun kritik sering dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Apa sebenarnya kritik itu? Ensiklopedi Indonesia 1990 mencatat bahwa kritik adalah penilaian yang dikemukakan dalam tulisan maupun lisan tentang orang atau sesuatu hal berdasarkan tolok ukur atau kaidah tertentu (177). Sementara The Grolier International Dictionary 1990 mencatat bahwa kritik adalah perbuatan atau aktivitas menyampaikan pertimbangan atau penilaian tentang kelebihan dan kekurangan sesuatu. Kritik juga dipahami sebagai kemampuan, keterampilan bahkan seni mempertimbangkan atau menilai sesuatu. (Iswantara 2016: 41)
Dari dasar pemahaman di atas, tampak jelas bahwa kritik memang sesuatu yang tidak sedemikian negatif seperti dalam pandangan umum. Kritik juga adalah sesuatu yang teramat positif, demi sebuah perubahan. Demikian pun dalam dunia kesenian, termasuk seni dan budaya, kritik akan sangat penting untuk membangun fondasi yang kuat bagi upaya pemajuan kesenian itu. Terkait hal itu, pada prinsipnya, eksistensi seni tidak bisa lepas dari empat komponen berikut, sebagaimana diuraikan oleh Murgiyanto 2002, yaitu: Seniman (pencipta, penyaji, pelaku), penonton/penikmat, pengelola/penyelenggara, dan kritikus seni. Anggapan ini tentu perlu diurai secara detail, namun fokus penulis dalam refleksi ini adalah urgensi komponen yang keempat yakni kritik seni.
Dari uraian ini, tampak bahwa sebuah eksistensi seni, tidak terlepas dari seni. Ini juga membuktikan bahwa tanpa kritik seni, sebuah pertunjukkan seni tak lengkap. Bahkan tanpa kritik, sebuah pertunjukkan seni dirasa pincang, karena komponen itu, tidak bisa lepas satu dari yang lain. Walaupun demikian, perlu juga kita memahami dengan benar dan terukur kritik seperti apa yang dibutuhkan.
Laman seni.co.id lewat salah satu tulisannya berjudul “Matinya Kritik di Negara Kita” mengetengahkan sebuah fakta bahwa jika kritik itu hilang maka kedangkalan berpikir dan penyempitan wawasan serta kecenderungan mengabaikan kesadaran intuitif, tak terhindarkan. Apa maksud secuil statemen ini? Tak lain adalah bahwa ketika kritik tidak kita anggap sebagai sebuah bagian utuh dari pemajuan, tentu kedangkalan berpikir, penyempitan wawasan serta pengabaian kesadaran intuitif akan semakin merajalela. Maka jika demikian, kondisi kita tidak lain hanya akan ‘berjalan di tempat’, tanpa kemajuan dan atau tanpa perubahan.
Melihat kenyataan realitas saat ini, kita butuh kritik, kita juga butuh kritik seni untuk pemajuan dan kemajuan, dan bukan semata untuk tujuan menjatuhkan. Kendati hal itu penting dan dibutuhkan, generasi saat ini banyak yang tidak memahami fondasi penting dan vital ini, bahkan ada kecenderungan orang-orang yang ingin membangun kemajuan sebuah kesenian melalui kritik seninya, tidak mendapatkan tempat. (?) Padahal di saat ini, dengan kritik seni kita akan menempatkan seni sebagai objek perhatian yang mendalam, karena dengannya hasil kajian kritis dapat memberi pencerahan kepada masyarakatnya.
Belajar dari Aristoteles, dalam dunia ilmu pengetahuan, proses apresiasi terhadap sebuah kesenian yang dianggap tertinggi adalah apresiasi kritis. Dalam mengapresiasi, sebagai bagian dari kritik seni sebagaimana yang dimaksudkan dalam tulisan ini, menunjuk pada tahap-tahap berikut: Tahap awal sebagai sebuah proses mengalami keterlibatan panca indera dengan karya seni yang dialaminya, kemudian tahap selanjutnya adalah proses di mana apresiator mengalami keterlibatan psikis dengan karya itu.
Jadi, di dalam kedua tahap tersebut terjadi sebuah proses kritik seni karena tanpa tahap kedua, tahap awal tidak bisa ditempuh. Maka dari itu, jelaslah pula bahwa akan terjadi persinggungan antara apresiator dengan karya seni yang ada di hadapannya, ketika melihat sebuah karya seni. Dalam kondisi demikian, dalam kesadaran sang apresiator terjadi gerakan-gerakan pikiran, perasaan dan daya imajinasi sang apresiator. Gerakan-gerakan psikis ini menuju ke arah penjernihan, pendalaman dan perluasan kesadaran itu. (Iswantara 2016: 45).
Dari proses itu yang sedemikian runtut itu, dalam kritik seni dituntut sebuah kemampuan dan keterampilan dalam mempertimbangkan dan menilai sesuatu (sebuah karya seni). Seorang kritikus harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang seni, kesenimanan, karya seni, peristiwa seni, dan kritik seni itu sendiri. Setiap kritikus seni harus secara komprehensif memiliki hal-hal tersebut, sehingga apa yang mereka kritik justru membawa kemajuan, dan tanpa kepentingan (disinterestedness). Dalam arti bahwa hasil yang disampaikannya, tidak menimbulkan polemik di masyarakat, tapi justru memberi edukasi kepada masyarakat terkait tumbuhnya kepekaan seni, ketajaman analisis serta dan kejelian pengamatan terhadap karya seni yang dikritiknya.
Pertanyaan reflektifnya, masihkah kita meragukan fungsi penting dari kritik itu? perlukah sebuah kesenian ditopang oleh kritik seni demi kemajuan seni tertentu? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi refleksi kita bersama.***
*Penulis adalah Dosen Filsafat Universitas Katolik De La Salle Manado - Pegiat Filsafat-Estetika