Advertisement
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado - Pegiat Filsafat-Estetika)
Pemajuan kebudayaan adalah semua insan Indonesia. Pemajuan kebudayaan yang telah di ‘undang-undang’kan dalam UU Pemajuan Kebudayaan 2017 itu pada akhirnya menjadi sebuah pemicu untuk terus berupaya memajukan kebudayaan itu. Kendati sedemikian dijamin dalam undang-undang, penulis berkeyakinan bahwa yang terpenting dalam pemajuan kebudayaan adalah nilai, makna dan prosepek kebudayaan itu akan seperti apa di masa depan nanti. Dengan mengacu pada fondasi demikian, justru pemajuan kebudayaan akan semakin terasa dampak bagi masyarakat insan Indonesia. Demikianlah bahwa pemajuan kebudayaan harus berkesinambungan agar budaya lestari selamanya (?).
Dari latar itu, penulis dalam refleksi ini, akan mengurai nilai, makna dan prospek salah satu seni budaya dari Minahasa yakni musik kolintang, yang digadang-gadang akan diusulkan ke UNESCO agar mendapatkan pengakuan sebagai warisan budaya tak benda dari Minahasa-Indonesia.
Musik kolintang adalah alat musik perkusi, seperti: Bonang, kenong, canang keromong, kromong kethuk, tromping/terompong, rejong, talempong, chalempung, caklempong/caklempung. Namun dari sisi alat memang sama-sama perkusi, tetapi perbedaan mendasar adalah musik kolintang jenis alat musik perkusi bernada. (bdk. Sumolang., 2019: 1-4). Sebagai alat musik perkusi bernada, kolintang berasal dari bahan dasar kayu. Kolintang (kayu) ini ditemukan oleh Nelwan Katuuk, yang berciri nada diatonik. Nelwan Katuuk menamakan alat musik perkusi kayu tersebut dengan kolintang, nama yang secara tradisional diperuntukan bagi alat perkusi logam (gong). Maka, sejak saat itu istilah kolintang lebih populer sebagai nama alat musik kolintang kayu. Sedangkan istilah kolintang untuk kolintang gong mulai pudar. (Ibid., 23).
Dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan dari UNESO sebagai warisan budaya tak benda dari Minahasa-Indonesia, sebagaimana upaya massif yang selama ini dilakukan oleh berbagai pihak (Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Utara dan beberapa komunitas musik kolintang seperti Persatuan Insan Kolintang Nasional (PINKAN)), dapatlah diketahui, bahwa pengkajian dari berbagai sudut pandang pendekatan musik kolintang itu, harus diperbanyak. Mengapa demikian, karena pengkajian atas musik kolintang itu, sejauh ini, masih amat sedikit (minim). Dan yang justru dilakukan saat ini adalah hal di luar pengkajian, yakni: Penyelenggarakan event, festival, dan atau pertunjukkan musik itu, yang disadari penuh bahwa hal tersebut berakhir pada fakta bahwa musik kolintang sudah ada ‘di jalan pengembangan’.
Belajar dari faktum di atas, penulis mencoba kembali kepada pemikiran bahwa dengan berkesenian kolintang, apa yang kita dapatkan? Apa dampak positif bagi masyarakat, jika musik ini mendapatkan pengakuan dari UNESCO? Dan, bagaimana posisi musik ini, jika dikaji dan ditelaah dari berbagai sudut pandang ilmu pengetahuan.
Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, hal berikut ini kiranya menjadi pengetahuan dasar kita, sehingga kedepannya, pengkajian dan telaah atas musik ini bisa semakin diperbanyak. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa musik kolintang itu memiliki nilai, makna dan prospek, entah itu akan diakui atau tidak diakui sebagai warisan budaya tak benda dari UNESCO. Seyogyanya, hal tersebut telah penulis angkat dalam karya berjudul Estetika Musik Kolintang 2019.
Musik sebagai sebuah seni, merupakan ekspresi dalam bentuk bunyi. Musik berarti juga ekspresi dari apa yang dipikirkan, dirasakan dan diinginkan oleh manusia, yang senantiasa berkembang, seturut perkembangan kehidupan manusia, dan termasuk didalamnya pandangan dan filosofi hidupnya. (Perry Rumengan 1989: 2). Dalam tradisi filsafat seni, Phytahoras (555 SM), menerangkan bahwa musik sebagai ungkapan dari harmoni secara universal yang direalisasikan dalam aritmatika dan astronomi. Sementara Plato (400 SM), mengatakan bahwa musik merupakan satu kecocokan tertinggi dari kehidupa sosial dan pendidikan politik.
Pada periode filsafat modern, Filsuf Jerman Arthur Schopenhauer mengatakan bahwa musik adalah seni tertinggi. Musik berarti pula inkarnasi yang paling murni dari keinginan mutlak dan sebagai pengalaman rasa manusia. (ibid.). akhirnya, gambaran ini, paling tidak kita mendapatkan secara mendasar apa itu musik, sehingga dari hal itu, kita bisa berpijak untuk memahami secara jelas dan ketat apa itu musik.
Bagaimana dengan musik kolintang? Dari sisi alat musik, kolintang merupakan transmutasi dari alat musik modern, dan karena demikian, maka lagu apapun, termasuk genre apapun, bisa dimainkan dengan menggunakan alat musik kolintang. Selain itu, dalam komposisi musik, komposisi musik barat bisa digarap dalam musik kolintang itu, karena musik kolintang sifatnya terbuka bagi penggarapan modern. Kendati demikian, apakah keterbukaan musik tradisional kolintang itu, sudah menyentuh “substansi” musik kolintang itu sendiri?
Hemat penulis, terlepas dari keterbukaan musik kolintang terhadap musik modern, kita tidak serta merta meninggalkan pemahaman yang benar tentang kenyataan bahwa musik kolintang itu merupakan warisan budaya, dan karena merupakan warisan budaya, kita tetap harus selalu menempatkan nilai-nilai tradisional dalam garapan yang modern sekalipun. Praktisnya, sebuah warisan budaya tradisional, harus dipahami dengan baik, agar proses pengembangan dan pengakuan dari dunia, tidak diandaikan begitu saja. Jadi, warisan budaya dipahami sebagai sebuah atribut dalam bentuk benda atau pun tak benda yang merupakan jati diri masyarakat tertentu, yang dilestarikan oleh generasi-generasi berikutnya. (www.cultureindevelopment.nl/cultural_heritage/what_is_cultural_heritage.)
Beranjak dari sana, maka nilai dari sebuah warisan budaya yang terdapat dalam musik kolintang adalah: Pertama, nilai sosial, yaitu mempunyai makna bagi masyarakat. Apakah sebuah warisan budaya itu memiliki makna yang bisa diambil oleh seluruh lapisan masyarakat? Atau dengan bermain atau mendengarkan musik kolintang masyarakt mendapatkan dampak positif apa. Kedua, nilai ilmiah, yaitu berperan dalam bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Apakah warisan budaya dalam musik kolintang itu berperan dalam bidang pendidikan dan terutama pengembangan ilmu pengetahuan? (Simon Thurley, Conservation Bulletin, 2005). Akhirnya jelaslah bahwa kedua ciri ini menguak fakta bahwa sebuah warisan budaya harus ditangkap maknanya, dilihat sisi peluangnya, dan dipahami perannya dalam kehidupan: Pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Jika itu sudah bisa dipenuhi maka tentu warisan itu bisa langgeng dari generasi ke generasi, turun temurun.
Hal berikut yang perlu dielaborasi adalah makna dari musik kolintang itu. Pertanyaan sentralnya adalah: Mampukah musik kolintang itu, bertautan dengan sekian banyak warisan budaya dari daerah lain sehingga membentuk budaya yang sangat Indonesia (universal dan menyeluruh)? Jawaban atas pertanyaan ini adalah: Usaha untuk menonjolkan sisi modernitas dalam penampilan musik kolintang dalam setiap penampilan, harus diapresiasi. Bahwa musik se-tradisional apapun seperti musik kolintang harus tetap menonjolkan kekhasannya yang bersifat tradisional, tapi juga harus pula disinergikan dengan ciri khas budaya di luar Minahasa (terutama ciri khas yang identik dengan kemodernan. Itulah yang penulis maksudkan keterbukaan musik kolintang itu.
Selain makna keterbukaan pada musik modern, makna lain dari kolintang juga bisa dilihat dari gagasan-gagasan filosofinya yang terbangun dari beberapa poin berikut (Renwarin 2007: 23; Bdk juga. R. Supanggah 1995: 11): Pertama, harmoni dalam musik (Loho, Tribun Manado 18 Desember 2017) kolintang tidak bisa dimainkan oleh satu orang saja, melainkan oleh perpaduan sekelompok orang yang memainkan musik kolintang itu secara bersama-sama. Kerja sama yang serempak dan harmonis akan melahirkan harmoni nada-nada yang indah dan merdu.
Kedua, persaudaraan dalam kelompok, di mana satu pemain terhadap pemain lain saling memadukan semua alat musik kolintang yang berjumlah 9 orang. Di sini, nilai yang bermakna dan tak kalah pentingnya dalam persaudaraan adalah mapalus/gotong-royong. (Yapi Tambayong 2013: 125-126.) Ketiga, nilai kreativitas. Seseorang bisa menjadi creator dalam menciptakan harmoni arrangement dan seni estetika dalam pertunjukkan kelompok musik kolintang di atas pentas. Ketiga, kreativitas. Kreativitas menunjuk pada sikap kreatif seorang penggarap (arranger) dan pemain yang membawakan lagu dalam musik kolintang itu, menambah daya tarik dan bahkan nilai jual kolintang itu sendiri.
Akhirnya, harmoni, persaudaraan, dan kreativitas dalam musik kolintang ini dapat bertransformasi menjadi kekuatan preventif dan solutif dalam menghadapi amukan negatif dari modernisasi. Demikianlah, makna yang sesungguhnya lekat dengan kolintang. Apa yang ada dalam musik kolintang ini diyakini bisa menembus batas peradaban (budaya). Apapun peran yang dilakukan setiap lapisan masyarat dalam pengembangan kebudayaan seperti musik kolintang, harus diapresiasi, namun tidak melupakan pemahaman yang benar tentang hal-hal internal, serta melibatkan para tenaga profesional dalam penelitian berkelanjutan, terutama tentang substansi terpenting dari musik tradisional kolintang itu. Sebuah karya seni (musik kolintang) bukanlah hanya memperlihatkan keindahan inderawi, melainkan selalu memperlihatkan dan menonjolkan yang jauh lebih mendalam.***