Advertisement
Pojokseni.com - Sebagian muslim mengganggap seni menggambar, mematung, dan melukis adalah sesuatu yang haram. Sebagian yang lainnya beranggapan bahwa menggambar sesuatu yang bernyawa seperti makhluk hidup (dalam hal ini biasanya khusus hewan dan manusia) adalah sesuatu yang haram.
Lebih tepatnya, hal ini disebut anikonisme. Anikonisme adalah praktik menghilangkan, atau melarang adanya gambar atau representasi makhluk Tuhan, terutama Nabi, hingga tokoh-tokoh tertentu dengan tujuan menghindari "pengucilan" makhluk hidup dengan gambar. Hal itu kadang terlepas dari ada atau tidaknya perintah terhadap hal itu.
Anikonisme ini sebenarnya tidak hanya dikenal pada agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam). Terutama di agama Islam, dengan larangan yang tegas untuk menggambar Tuhan, Nabi Muhammad, hingga manusia lainnya. Namun, anikonisme juga ditemukan di berbagai agama, bahkan beberapa cabang Hindu modern juga memiliki keyakinaan anikonistik ini.
Tuhan adalah sesuatu yang abstrak dan tak tersentuh, karena itu tak bisa pula digambarkan. Premis inilah yang kemudian diwakili dengan anikonisme ini. Selanjutnya, anakonisme menjadi lebih berkembang. Tidak hanya Tuhan yang tidak boleh digambarkan, tapi manusia yang disucikan juga diharamkan untuk digambar. Berikutnya, sebagian orang meyakini bahwa mahluk yang bernyawa tidak boleh digambar, dibuat jadi patung, dilukis, dan sebagainya.
Meski ada aktor yang memerankan Yesus, namun hal tersebut tidak bisa dilakukan untuk Nabi Muhammad, Guru Sikh, dan sejumlah nama tokoh dari agama-agama tertentu. Juga tidak bisa digambarkan, dan gambar atau lambangnya juga bukan untuk disembah.
Khusus untuk Islam, banyak yang merujuk pada hadits, yang menyebutkan bahwa haram hukumnya membuat kemiripan dengan manusia (gambar) karena hal itu berarti manusia sedang mencoba menandingi ciptaan Tuhan.
Namun, sebenarnya menggambar, membuat patung, atau melukis itu justru hanya menghasilkan sesuatu yang "fisik", karena Tuhan nyatanya tidak hanya menciptakan "sesuatu" hanya fisiknya saja.
Manusia diciptakan Tuhan dengan psikis, sosiologis, sifat, karakter, kebiasaan, dan hal-hal lainnya secara lebih lengkap. Membuat patung hanya membuat "bentuk" dan masih jauh bila disebut sebagai "menyaingi Tuhan".
Justru, sutradara film dan teater yang lebih "menyaingi" karena membangun kehidupan, sosial, lingkungan, sifat, karakter, dan sebagainya yang benar-benar "menyerupai" ciptaan Tuhan. Hal itu seakan-akan memberi deduksi bahwa, "bila menggambar atau mematung diharamkan dengan alasan 'menyaingi Tuhan', bagaimana dengan sutradara teater, atau penulis novel misalnya?"
Penulis novel dalam hal ini bahkan jauh lebih intens "mendekati" atau "menyaingi" Tuhan. Ia bahkan sudah menjadi tuhan untuk kisahnya sendiri. Ia menciptakan orang (orang), lingkungan, kota, kehidupan, kematian, jodoh, takdir, cita-cita, dan sebagainya. Ia yang mengaturnya, dan "tidak ada sehelai daun pun yang jatuh tanpa sepengetahuan penulis novel". Pun begitu pula para penulis naskah drama, dan skenario film.
Meski ceritanya relijius, misalnya kita ambil contoh Habiburahman El Shirazy dengan novel Ayat-ayat Cinta. Bukankah sang penulis menciptakan orang-orang yang tak pernah ada, lalu menentukan kapan mereka lahir, di mana mereka tumbuh besar, kapan pula mereka menikah, dengan siapa menikah, dan kapan mereka bercerai?
Kenapa malah melenceng jauh ke novelis, dramawan, dan seniman teater? Yah, karena alasan dari pengharaman seni menggambar tersebut sebenarnya lebih berlaku pada mereka.
Dan seandainya benar bahwa seni menggambar diharamkan dengan alasan "menyaingi", atau "menyerupai" seperti yang diungkapkan di atas, maka sepertinya novelis, seniman teater, dramawan, penari, koreografer, dramaturg, sutradara, hingga penata efek, cahaya, make up, dan kostum sekalipun akan siap-siap ikut diharamkan.
Sedangkan musik sudah lebih dulu diharamkan, bukan? Itu berarti, dunia tanpa seni adalah yang diinginkan Tuhan? Apakah benar seperti itu?