Advertisement
Historisitas Musik Kolintang, Quo Vadis? |
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil.*
Refleksi penulis sebelumnya berjudul: Nilai, Makna & Prospek Musik Kolintang Minahasa di laman pojokseni.com, tampak kasat mata, menjadi polemik. Terjadi demikian, karena berbagai perspektif mengemuka antara lain: Pertama, [katanya] data penulis kurang valid, bahkan dianggap tidak ada, sehingga dianggap sebagai tulisan yang hanya membangun opini publik untuk percaya dan setuju dengan kajian penulis tersebut.
Kedua, adanya desakan untuk menelusuri lebih ketat dan tajam tentang sejarah yang sebenar-benarnya, dalam konteks tulisan itu sejarah musik kolintang di Minahasa. Ketiga, perlunya data yang valid tentang latar belakang yang menjadi dasar atau latar belakang tulisan itu.
Dua hal itu memang menjadi titik pedebatan yang alot, yang sejatinya disebabkan oleh masih kaburnya historisitas musik kolintang Minahasa, sejak pertama kali digadang-gadang diusulkan sebagai warisan budaya tak benda di UNESCO.
Adapun yang dipertanyakan adalah sepotong paragraf dalam tulisan itu berbunyi demikian: “Musik kolintang adalah alat musik perkusi, ......(bdk. Sumolang., 2019: 1-4). Sebagai alat musik perkusi bernada, kolintang berasal dari bahan dasar kayu. Kolintang (kayu) ini ditemukan oleh Nelwan Katuuk, yang berciri nada diatonik. Nelwan Katuuk menamakan alat musik perkusi kayu tersebut dengan kolintang, nama yang secara tradisional diperuntukan bagi alat perkusi logam (gong).” (ibid., 23). (Lihat pojokseni.com). Yang diperdebatkan adalah pencipta atau orang yang menamakan alat musik yang dimaksud, sebagai alat musik kolintang adalah Nelwan Katuuk.
Potongan tulisan itu, sebetulnya bukan tanpa data rujukan. Rujukan yang penulis gunakan terdiri dari beberapa referensi, yang mana referensi ini menjadi dasar penulisan, serta menegaskan bahwa walaupun artikel itu sederhana, tapi tetap saja proses untuk menuliskannya, menggunakan kaidah-kaidah penulisa akademik. Maka berikut ini, penulis menguraikan rujukan-rujukan tulisan tersebut:
Pertama, rujukan yang dengan jelas merupakan sumber paragraf itu adalah buku yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Sulawesi Utara, 2019, berjudul: Persebaran Musik Kolintang di Minahasa, di mana di dalam buku itu, tampak lebih cenderung (secara deterministik) mengatakan bahwa Nelwan Katuuk adalah pencipta kolintang.
Kedua, rujukan yang memperkuat kajian dalam buku sebagaimana tersebut di atas, adalah fakta penelitian yang diuraikan oleh Remy Silado, Minahasanologi 2017, di mana ulasan tentang Nelwan Katuuk cukup jelas diuraikan. Silado mengatakan bahwa: “Nelwan Katuuk seorang musikus yang menciptakan instrumen-instrumen untuk kwintet, yang sekarang dikenal dengan kolintang, yaitu bilah-bilah kayu, misalnya kayu mawenang, sejenis kayu waru yang ditata seperti ‘xylofon’ atau ‘vibrafon’ dengan skala nada diatonik dan ditabuh dengan menggunakan stick. Kolintang Nelwan Katuuk ini tidak sama dengan kolintang asli Minahasa yang berbentuk sama dengan kolintang gong dari Cebu, Filipina, dan berskala pentatonik re-mi-sol-la-si.” (Silado 2017).
Bahkan Renwarin dalam Webinar 3 Bilah dari Waleposan yang diselenggarkan hari Jumat, 21 Mei 2021, secara spesifik menegaskan bahwa sumber tertua yang telah menyebutkan kolintang adalah N. Graafland, De Minahasa terbitan 1868, dan telah diterjemahkan oleh L Montolalu 1991, dan direvisi tahun 1989, lihat dalam https://www.youtube.com/watch?v=NByqCBr6LUU&t=5065s, 1:10.05. Di dalamnya sudah diuraikan dengan jelas bahwa karya Graafland adalah yang tertua. Jadi, sumber yang menuliskan kolintang yang pertama kali dalam sumber antropologi sejarah adalah N. Graafland, walaupun dalam arti tertentu, kolintang di masa itu dipahami sebagai kolintang gong, sebagiaman juga telah diuraikan oleh Remi Silado di bagian sebelumnya.
Dengan demikian, jelaslah kekuatan argumen penulis dalam tulisan yang diperdebatkan itu, berdasar pada tiga rujukan ini. Dari sini, jelaslah pula bahwa argumen-argumen dalam bentuk percakapan-percakapan singkat di berbagai media, otomatis terbantahkan, karena sifatnya bukan dalam kaitan membangun historisitas akademik sebuah sejarah kolintang. Maka, akhirnya tulisan ini merupakan pertanggungjawaban akademik penulis, yang pada saat yang sama, menciptakan kultur yang baik dalam sebuah komunitas diskusi. Hal itu tentu sebanding dengan apa yang terjadi dalam dunia akademik, di mana ruang kritis harus terus dibangun dengan akademis pula, dan bukan debat kusir yang justru tidak memiliki kaidah akademik.
Akhirnya, dari perdebatan yang berawal dari sepotong tulisan penulis, justru menyisakan sebuah pekerjaan rumah yang tidak ringan. Histrorisitas musik kolintang sampai saat ini, patut dipertanyakan, karena kendati naskah akademik yang, katanya, disiapkan untuk ke UNESCO tampak telah selesai, tapi justru pada saat yang sama, tampak tidak merangkum historisitas yang komprehensif tentang musik kolintang itu. Historisitas musik kolintang: quo vadis?
*Penulis adalah Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado - Pegiat Filsafat-Estetika