Advertisement
Ya bener. Emang bener. Nyatanya bener kok. Aku sudah disebut masuk lingkaran lansia. Bisa aku rasakan kok. Otot sudah kendur. Matapun sudah rabun ayam bila senja datang. Tanpa bantuan kacamata pandangan taram temaram. Hehehehe. Kadang senyum kecut mengingat mata mulai kabur dalam melihat sekeliling. Nggak jelas lihat kendaraan mewah karena hanya dengar suaranya saja. Rumah-rumah mewah pun tak nampak nyata. Masuk mall segalanya tidak jelas jika tidak didekati dan melotot sekuatnya. Lihat lawan jenis dengan pakaian yang indahpun sudah kurang terlihat. Nah, bukannya ini menguntungkan. Mengurangi daya nafsu keduniawian? Kan sedikit banyak bisa menjadi semacam perisai untuk tidak berbuat dosa? Hahahahahaaa.
Lha jika nafsu hedonis, nafsu makan enak, nafsu berahi mulai menipis karena makin kurang mendapat pembagian pupuk ya tentu banyak waktu luang, sepi, tenang yang bisa digunakan untuk merenung, melihat masa lalu dan kemudian mencari kegiatan yang masih bisa dilakukan tanpa perlu energi besar. Olahraga kecil-kecilan seperti jalan kaki semampunya. Makanan sehat seperti sayur buah yang banyak ada di negeri sendiri. Ini lebih sehat lho dibanding daging hewan kaki empat atau dua atau yang tak berkaki. Minum susu hewan yang hasil pabrikan. Siapa si dulu yang mengajar makan itu yang akhirnya tumbuh penyakit seperti kolesterol, darah tinggi, gula darah yang mahal biaya penyembuhannya. Ditambah dokterpun menganjurkan diet makan lemak dan seterusnya.
Kadang aku berpikir, bertanya-tanya sejak ilmu kimia semakin berkembang maka hadirlah segala bentuk bumbu hasil olahan kimia. Tumbuh-tumbuhan pun yang selama ini hidup dengan pupuk alami seperti daun-daun kering yang jatuh dari pohon-pohon itu sendiri atau yang disebut pupuk kandang kemudian diganti dengan pupuk kimiawi. Hasilnya mengagumkan yakni yang biasa panen setahun dua kali bisa menjadi tiga empat kali. Ayam, sapi, bebek pun bisa dipaksa cepat gemuk, cepat bertelor yang segera hasilnya bisa dijual. Makanan bayi pun sudah banyak dengan roti atau bubur hasil pabrik yang tentu memakai bahan kimia agar awet dan nikmat bagi yang memakannya. Makanan ringan hasil pabrik bertaburan di toko-toko menggantikan makanan tradisi seperti singkong, ubi, pisang rebus atau goreng.
Kalau mengikuti logika yang jernih tentu jadi heran. Kenapa sudah tau bahwa kita sedang dilanda yang tentunya tidak sengaja yakni penyebaran racun lewat makanan, namun sepertinya tak ada kepedulian. Apa bedanya dengan narkoba? Bedanya narkoba dilarang dengan undang undang karena merusak kesehatan bahkan bisa menjadi pembunuh terencana.
Tapi racun nikotin, makanan, yang menjadi pupuk subur daya nafsu akan kenikmatan badani nggak dilarang? Kata orang pandai karena menghasilkan pajak yang besar untuk pembangunan bangsa dan negara. Lalu apa kalau narkoba tidak dilarang bisa menghasilkan pajak yang sangat besar?
Kuingat sejarah VOC atau Vereenigde Oost Indische Compagnie masuk ke bumi pertiwi tercinta ini tahun 1619 dengan mendirikan pusat dagang di Jayakarta, Ambon dan Banda. Batavia hanya dipakai sebagai pelabuhan transit untuk ambil logistik seperti air, minyak. Karena sulit nyebut Compagnie maka muncul istilah terkenal yakni kompeni. Urusan mereka hanyalah perdagangan rempah. Karena banyak perlawanan dari daerah-daerah lama kelamaan VOC kewalahan dan meminta bantuan pemerintah Belanda. VOC dinyatakan bangkrut lalu dibubarkan 13 Desember 1799. Belandapun berkuasa di Indonesia hingga 1945 dengan diselingi kekuasaan Jepang yang masuk ke Kaltim 11 Januari 1942 dan berkuasa hingga 15 Agustus 1945 karena dikalahkan sekutu dan berakhirnya perang dunia.
Jepang datang dengan mengatakan diri sebagai saudara tua. Mereka sepertinya membantu bangsa Indonesia dengan mendirikan berbagai lembaga bahkan membentuk RT yang zaman Jepang namanya Tonarigumi. Itulah salah satu peninggalan Jepang yang masih ada hingga sekarang. Namun tetap saja penjajah walau berkedok saudara tua.
Kembali soal makanan sebenarnya kita ini punya bumbu yang sangat alami dan terjamin sehat yakni yang disebut rempah-rempah. Jika Pedagang Belanda sampai jauh-jauh dengan biaya besar mau datang untuk katakanlah mengambil yang secara dagang disebut beli lalu dijual ke Eropa dengan keuntungan besar; kenapa kita sendiri justru tidak memanfaatkannya di zaman sudah merdeka dari penjajah? Pelan-pelan tapi pasti justru mulai berdiri pabrik-pabrik bumbu yang pasti merupakan hasil kimia sehingga bisa berubah menjadi sebangsa racun. Bumbu penyedap yang bermacam warna dan murah harganya serta mudah menggunakannya karena tinggal ditaburkan selesai tanpa harus giling bahan-bahan bumbu yang banyak macamnya yang dianggap nggak praktis.
Masih lekat diingatanku sebutan generasi MSG. Generasi yang terbuai oleh segala macam makanan yang instan. Generasi yang hanyut oleh reklame yang penuh iming-iming rasa telor, rasa ayam, rasa rendang dengan minuman rasa jeruk, apel, melon, jahe yang menjadikan terlupa bahwa itu semua cuma rasa saja. Ngak pernah kelihatan telor, daging dan segalanya. Kita menjadi bangsa yang mudah kena iming-iming palsu. Jadi nggak usah heran bila remaja sudah kena kolesterol, darah tinggi, gula darah, asam urat, kanker dan sejenisnya.
Tapi aku tidak mencari siapa yang salah karena kalau diurut-urutkan ya akan jadi lingkaran setan. Nah itu paling aman menyalahkan setan. Setan disalahkan nggak akan marah atau menyiksa kita di dunia tapi justru memperbanyak bentuk iming-imingnya yang makin nikmat dengan cepat dan murah harga belinya. Kita tak bisa membedakan nikmat singkong goreng itu karena singkongnya atau penyedapnya? Ah betapa penyebaran “racun” buatan pabrik ini telah menyebar dan menjadi kebutuhan hingga ke pedagang2 makanan yang paling merakyatpun.
Penelitian para ahli sepertinya kurang didengar kecuali anjuran dokter ketika memberi resep ke pasiennya sambil mengatakan jangan makan ini itu dulu ya. Sudah merasa sehat kembali lagi ke laptop hahaha. Ya kembali ke awal menulis ini disertai niat menulis sebuah monolog. Cuma mau cerita tentang kesadaran menjadi lansia. Tentang kenyataan bahwa tua adalah bisa dialami siapapun bila mendapat anugerah dari Yang Maha Kuasa. Lha melebar lebar jadi bukan monolog tapi seperti sebuah artikel yang bicara tentang perkembangan racun kehidupan yang semakin mengglobal berkembang biak sepertinya tiada akhir. Barangkali akan setua kehidupan manusia. Lalu apakah hanya Yang Maha Kuasa yang mampu menghentikan? Atau adanya keyakinan bahwa ini bisa disebut bencana tapi juga ujian. Kita tentu pernah dengar ajaran yang mengatakan bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian yang melebihi kemampuan manusia. Jadi jika masih saja belum berhenti racun-racun ini berarti manusia diberi keyakinan akan mampu menghentikan?
Jadi hingga setua sekarang aku masih juga belum melihat pembuktian bahwa kita bisa diberi kepercayaan. Sudah ada lembaga anti rusuh, anti narkoba, anti teroris, anti setan tapi masih juga belum ada tanda tanda bisa menyelesaikan para racun? Hampir tiap saat dengar berita penangkapan teroris, bandar narkoba, koruptor, sampai kadangkala terasa sebagai drama di panggung saja yang bisa dilihat tiap malam atau ditonton di layar perak baik di gedung bioskop atau di televisi. Namun aku sangat menghargai bahwa bangsa dan pemerintahan saat ini terus begerak berusaha menghabisi semua racun-racun tersebut. Walau jangan jangan seperti racun tikus yang tiap hari membasmi tikus namun tak ada habisnya.
Tulisan monolog atau artikel ini rasanya juga tak akan ada habisnya ditulis oleh siapapun termasuk diriku. Kalau begiu untuk sementara ya disudahi dululah. Lain waktu disambung jika tidak mulai bosan membicarakan racun yang terus bergerak bahkan makin cepat. Namun si lansia satu ini tetap menjamin tak akan bosan menulis karena itulah sarana yang aku miliki dan mampu aku lakukan.
Selanjutnya aku mengajak Anda untuk tetap optimis bersamaku dalam memandang ke depan bahwa masih ada sinar terang yang memberikan sinyal bahwa kehidupan abadi yang bahagia bersama akan hadir. Jangan ditanya kapan karena akan membuat kita pesimis.
Salam jabat optimis.
Jakarta 29 Mei 2021.
*Rudolf Puspa adalah sutradara, aktor dan pendiri Teater Keliling Jakarta. Penulis bisa dihubungi lewat alamat email pusparudolf@gmail.com.