Advertisement
Oleh: Raihan Roby*
Sejak tahun 2019 Kala Teater Makassar telah mengadakan program Kelas Teater dengan tujuan pembelajaran, diskusi metode kreatif penciptaan teater hingga sesekali mempertanyakan problem yang ada pada teater Indonesia juga arah teater Indonesia ke depannya.
Pada tahun 2021 ini, Kelas Teater berfokus pada sutradara teater Indonesia yang mempunyai rekam jejak sekiranya 15 tahun dan masih aktif berkarya hingga kini. Setidaknya pada tahun ini Kelas Teater sudah mengadakan empat kali pertemuan dengan sutradara-sutradara dari berbagai macam kelompok teater yang tersebar di Indonesia, antara lain pemateri Kelas Teater adalah: Fahmi Syariff, Nano Riantiarno, Prof. Yudiaryani, dan Iman Sholeh.
Kelas Teater dilaksanakan melalui Zoom Meetings sehingga kelas banyak diikuti oleh para peserta yang bersifat umum dan dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Makassar, Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Flores, NTT dan lain sebagainya. Juga diikuti oleh berbagai macam kelompok teater, maupun individu.
Saya amat kagum dengan konsep yang ditawarkan oleh Kelas Teater ini. Mula-mula Instagram Kala Teater (@kalateater) akan memposting pamflet berisi tentang profil singkat pemateri yang akan mengisi kelas. Setelah itu biasanya menjelang diadakannya kelas, Intsagram Kala Teater akan memposting Insta Stories yang berisi kolom pertanyaan tentang mengapa kita ingin mengikut kelas teater itu. Sehingga nanti akan dipilih sebanyak 10 orang untuk mendapatkan beasiswa mengikuti Kelas Teater.
Puji Tuhan saya mendapat kesempatan berkali-kali dalam mendapat beasiswa ini. Tetapi, ada juga cara lain untuk mengikuti kelas teater, cukup membayar sebesar Rp.100.000 untuk umum, dan Rp.75.000 untuk mahasiswa atau pelajar, kita sudah bisa mendapatkan ilmu, pengalaman, serta silaturahmi yang amat berharga.
Saat kelas dimulai moderator membacakan profil singkat juga meminta izin kepada para peserta kelas untuk merekam selama kegiatan berlangsung. Tentu hal ini menjadi sangat etis karena di zaman yang serba modern dan cepat, hal-hal seperti meminta izin untuk merekam terkadang luput. Tapi, tidak untuk kelas teater ini.
Setelah selesai membacakan profil, barulah moderator mempersilahkan pemateri untuk memberikan kelas, yang menarik bagi saya adalah para pemateri ini menyampaikan semacam “kitab rahasia” dari banyak pementasan yang telah mereka sutradarai. Pengalaman ini amat sangat sulit untuk didapatkan jika kita hanya mengandalkan diskusi pasca pertunjukan, dan yang tak kalah menarik adalah materi yang disampaikan dalam waktu yang cukup singkat hanya 2-3 jam para peserta dapat mengetahui bagaimana proses kreatif penciptaan karya dari para sutradara ternama.
Saya ambil contoh ketika kelas Nano Riantiarno (karena saya tidak mengikuti kelas Pak Fahmi Syariff) awalnya beliau bercerita tentang bagaimana beliau menekuni teater dari masa muda sampai mendirikan Teater Koma yang kemarin baru saja berulang tahun ke-44, pertemuan yang sangat membekas dengan Alm. Arifin C. Noer terkait naskah teater yang beliau tulis, hingga bertemu dengan Ratna Riantiarno, kekasihnya. Pak Nano menjelaskan secara ringkas dan mengasyikkan tentang kebutuhan teater. Baginya, teater tidak akan berjalan tanpa tiga hal, yaitu; tempat, pekerja dan penonton. Hal ini benar adanya, ketiga hal itu saling mengikat dan saling mengisi, teater tanpa tempat amatlah sangat sulit, teater tanpa pekerja hampir sangat mustahil, dan teater tanpa penonton akan terasa sangat hampa.
Selama pandemi misalnya, akan sangat terasa perbedaan rasa ketika pementasan teater dihadiri penonton secara langsung, ada interaksi yang membuat rasa dari aktor semakin membara, setting, lampu, dan semua ornamen pementasan lainnya menjadi lebih hidup ketika ada aktor merasa ada mata penonton yang memperhatikannya.
Tapi bagi saya sudah sifat alamiah manusia untuk terus beradaptasi. Seperti yang dikatakan Pak Nano, sarannya untuk orang teater selama pandemi adalah digitalisasi karya. Dengan begitu akan ada interaksi dengan penonton dan elemen pertunjukan juga tetap hidup. Meski, bagi saya pribadi akan terasa sangat berbeda, tetapi hal ini saya rasa bisa diatasi oleh Teater Koma yang tetap aktif berteater di tengah pandemi.
Bahkan Pak Nano bercerita ia telah menulis puluhan naskah lakon selama pandemi ini dengan intensitas 8 jam sehari. Baginya menulis drama adalah salah satu hal yang paling penting dalam hidup. Mungkin inilah sisi lain dari pandemi, Pak Nano dapat berkumpul dengan keluarga menjadi lebih erat dan bisa fokus berkarya menulis naskah-naskah lakon.
Selanjutnya Pak Nano memaparkan banyak hal terkait penciptaan karyanya, ia telah mencoba beragam bentuk sejarah teater dunia, misalkan; tragedi-komedi, melodrama, fast, parodi, satire, musikal, opera. Dengan berbagai macam bentuk itu pula Pak Nano menghadirkan teks-teks yang luar biasa ke atas panggung, ia pernah mencoba konsep penyutradaraan dengan memberikan satu tema, semisal “Rumah Sakit Jiwa” dan para aktor akan mencari sendiri bentuk “Rumah Sakit Jiwa” sesuai pemahaman dan pendalaman yang para aktor lakukan.
Sampai kepada keresahan saya dengan Pak Nano yang mempertanyakan mengapa saat ini hampir tak ada sayembara untuk penulisan naskah lakon. Seakan naskah lakon bukan bagian dari sastra Indonesia yang terus tak dianggap. Padahal ketika tahun 1928 saat Indonesia masih berjuang untuk merdeka, Sanusi Pane menulis naskah drama berjudul “Airlangga” sebagai bentuk nilai-nilai juga spirit kebangsaan yang Sanusi Pane pikirkan.
Seharusnya, seperti karya sastra pada umumnya, naskah drama pun patut diperhitungkan menjadi mimesis atau cerminan dari suatu zaman yang berkembang itu. Sehingga ada hal yang bisa mengkritisi, membangun pandangan baru, atau bahkan memperjuangkan cita-cita masa depan melalui naskah drama itu.
Sejenak kita lupakan keresahan mengenai sayembara naskah drama dan segala polemiknya. Kini kita beralih ke kelas selanjutnya, yaitu kelas teater Prof. Yudiaryani.
Pada kelas teater Prof. Yudiaryani, beliau memaparkan banyak sekali metode penciptaan karya yang ia kembangkan secara detail dan teoritis. Prof Yudiaryani berpendapat bahwa dengan adanya Mix Text yang bertujuan untuk merevitalisasi tradisi tanpa menghilangkan nilai tradisi dengan mendekatkan pertunjukan dalam konteks masa kini.
Dalam pemaparan Prof. Yudiaryani, beliau mengambil contoh pertunjukan teater “Pilihan Pembayun” yang menghadirkan nilai/filosofi
budaya Jawa, Teater Mini Kata dan Ideologi Gender. Tiga konsep budaya ini disebut dengan Mix Text. Yang menarik adalah Prof. Yudiaryani menghadirkan tari Bedhaya, fokus utama pada gender perempuan Pembayun, dan permainan teater tubuh. Tak lupa musik, koreografi juga setting panggung yang semakin memperkaya pertunjukan ini.
Lalu ingatan saya terjatuh kembali ketika pertama kali menonton pementasan “Pusaran” saduran naskah dari Toto Sudarto Bachtiar yang naskah aslinya berjudul “A Streetcar Named Desire” karya Tennese Williams yang disutradarai oleh Prof. Yudiaryani beberapa waktu lalu di Taman Budaya Yogyakarta.
Pada pementasan “Pusaran”, saya merasa amat terpukau melihat bagaimana pertunjukan yang ditampilkan oleh Teater Alam dan mahasiswa/i ISI Yogyakarta dengan konsep Mix Text ini. Ada beberapa slang bahasa Jawa yang diangkat tetapi saya lebih tertarik dengan ideologi gender yang diangkat, di pementasan ini pun amat sangat terasa perjuangan tokoh perempuan keluar dari jerat masyarakat patriarkal yang abusif sampai teater mini kata yang sangat khas. Pada pementasan ini dibuat seperti pementasan musikal dengan berbagai macam interdisiplin kesenian, seperti seni rupa untuk setting panggung, adanya nyanyian-nyanyian pada pengadeganan sampai koreografi aktor yang menari.
Saya sempat bertanya kepada Prof. Yudiaryani, karena sebelumnya saya melihat film dari Tennese Williams dengan judul yang sama, yang sebenarnya terlalu banyak dialog dan hampir tak ada koreografi atau nyanyian di dalamnya. Prof. Yudiaryani menjelaskan bahwa ketika ingin mengadakan pementasan teater sudah menjadi tugas sutradara untuk meriset target penonton yang akan menyaksikan pertunjukan, karena dalam pandangan Prof. Yudiaryani di Yogyakarta sendiri masyarakatnya cenderung terkenal suka dengan hal-hal yang lucu dan menghibur, bukan dialog panjang yang tanpa henti dan hanya akan menyebabkan kantuk. Saya setuju dengan hal ini, sehingga akan terus ada pembacaan target penonton yang disesuaikan dengan kebutuhan pementasan. Jadi, pementasan akan terus berkembang, berbeda dari
satu tempat ke tempat yang lainnya sesuai dengan kebutuhan pementasan dan penonton.
Terakhir adalah kelas Pak Iman Sholeh, dalam kelas ini Pak Iman menceritakan banyak sekali pengalamannya menjadi sutradara teater, mulai dari kolektif teks, pencarian gagasan secara bersama, seperti apa yang menjadi hal genting atau isu sosial yang ingin direpresentasikan lewat pementasan.
Tak main-main dalam proses pencarian gagasan atau isu sosial lingkungan yang ingin diangkat, Pak Iman bersama Komunitas Celah Celah Langit di Bandung meriset banyak hal mulai dari undang-undang hukum, pandangan masyrakat sekitar terkait isu lingkungan yang diangkat, hingga pengalaman pribadi para aktor menanggapi isu yang sedang dibahas. Inilah yang menarik bagi saya, jadi para aktor merasakan bagaimana tubuh realis dan tubuh tema/gagasan seperti yang Pak Iman bilang, sehingga dalam penyusunan naskah para aktor bisa berbicara atau menulis dialognya sendiri sesuai dengan keresahan yang dialami.
Barulah tugas Pak Iman sebagai sutradara yang mengoreksi atau memadatkan naskah bersama itu menjadi naskah final pementasan, tentu dengan pertimbangan para aktornya juga yang turut hadir ketika pengeditan naskah bersama itu.
Bisa saya katakan Pak Iman amat sangat berdedikasi tinggi dengan lingkungan yang selama ini ia tinggali, ia melihat bagaimana modernitas kian menggilas tradisi yang melekat pada diri manusia. Dan jika tidak diimbangi, maka amat sangat berbahaya. Bisa kita lihat bagaimana pembangunan yang tidak merata dan konsep infrastuktur hijau yang tinggal angan-angan. Atau tanah dan air yang hanya milik segelintir orang saja.
Pak Iman juga bercerita bahwa selama pertunjukan yang ia sutradarai, ia amat sangat jarang menggunakan gedung pertunjukan, ia lebih menyukai untuk melakukan pementasan pada “temuan tempat” karena baginya yang terpenting adalah pementasan yang merepresentasikan gagasan atau tujuan yang hendak ia bicarakan. Bukan pada bangunan yang menampung pertunjukan itu.
Pak Iman menaruh rasa yang dalam pada lingkungan, inilah yang menjadikannya sangat berbeda dengan yang lain. Hubungannya dengan alam,
nilai-nilai kehidupan, juga masyarakat sekitar menjadikan Celah Celah Langit, komunitasnya di Bandung, diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia.
Hal ini bisa dibuktikan dengan betapa masyarakat sekitar terminal Ledeng sangat merasa terbantu juga diperhatikan oleh Pak Iman dan Celah Celah Langit. Bagi saya, ini juga salah satu yang amat penting di dalam kehidupan berteater, jika ada yang bilang teater adalah cerminan budaya dari suatu masyarakat. Maka tentu Pak Iman menghadirkan teater di tengah-tengah masyarakat sehingga menonton teater tidak harus selalu di gedung-gedung pertunjukan, cukup di tempat yang sederhana namun erat dan juga hangat untuk saling berkontemplasi tentang kehidupan yang harus selalu disokong bersama-sama.
Setelah kelas selesai, para peserta diminta untuk mengulas kelas dan diunggah dalam post Instagram dengan menandai akun Instagram @kalateater. Hal ini menjadi menarik karena dengan begitu adanya komunikasi dua arah yang terus berlanjut hingga kelas selesai.
Tetapi harapan saya sebenarnya lebih jauh dari mengulas kelas. Saya membayangkan di akhir dari program Kelas Teater 2021 yang diselenggarakan oleh Kala Teater Makassar ini, nantinya para peserta kelas yang sudah mengikuti berbagai macam kelas dengan pemateri yang luar biasa istimewa itu, membentuk semacam catatan kelas, atau ide yang tercetus setelah mengikuti kelas.
Bisakah Anda bayangkan jika seluruh konsep, atau ide juga gagasan yang telah diberikan oleh pemateri juga hasil diskusi selama kelas berlangsung, melahirkan konsep, ide atau gagasan yang dicampur-adukkan, direspon, atau bahkan dikritisi dengan kreatif sehingga menghasilkan bentuk konsep, ide, gagasan yang baru.
Bentuk konsep, ide, gagasan dari para peserta kelas inilah yang nantinya akan dipresentasikan bersama para peserta kelas yang hadir. Mungkin nantinya akan ada tanggapan, atau diskusi yang turut memperkaya juga menambahkan ide-ide itu.
Lalu ketika sudah selesai dengan hasil dari pembelajaran yang didapat selama mengikuti program inilah, mungkin dari Kala Teater Makassar akan menuliskan sebuah catatan, bisa berbentuk buku, atau artikel atau kumpulan ide-ide setelah mengikuti Kelas Teater, yang nantinya bisa saja untuk dipentaskan, atau jika terlalu rumit, bisa untuk dibaca kembali bersama-sama. Sehingga Kelas Teater tak pernah berakhir, akan terus ada diskusi, pembaruan ide, dan pembelajaran yang berkelanjutan.
Jakarta, 2021
*Raihan Robby adalah mahasiswa Sastra Indonesia UNY.