Advertisement
Oleh: Ambrosius Loho, M. Fil.
Moment apresiasi seorang penikmat seni atau bilanglah juri sebuah lomba seni apa saja, kadangkala menghadirkan problem yang tidak hanya berkepanjangan tapi berulang-ulang. Problem tentu harus diakui tidak bisa terhindarkan. Problem pun bahkan selalu saja ada dalam setiap event sejenis dan tentu juga bukan tanpa jalan keluar yang solutif.
Ketika proses apresiasi dipermasalahkan, apa rujukan jelas dari kita, agar rekonsiliasi bisa dijalankan, agar problem-problem sejenis tidak terulang dan terjaga terus menerus?
Hemat penulis rujukan penulis adalah proses apresiasi di jaman Clive Bell ketika bersama kelompoknya melahirkan aliran estetika post impresionisme. Aliran ini tidak hanya mengutamakan kesan tapi isi dan bentuk dari sebuah pertunjukan seni adalah hal yang utama. Hal itu pun telah penulis uraikan dalam karya penulis sebelumnya berjudul Seni Sebagai Bentuk Bermakna: Teori Estetika Arthur Clive Heward Bell (2018), dan telah dipresentasikan serta dijadikan buku. Maka buku yang fokus pada pencarian bentuk bermakna sebuah karya seni ini, menjadi rujukan utama refleksi sederhana ini.
Jika kita melihat secara sepintas cara mengapresiasi sebuah karya seni, adalah berbeda satu dengan yang lain. Tentu saja dari fakta ini, jelas bahwa setiap aliran seni memiliki cara masing-masing untuk mengapresiasi. Termasuk dalam konteks penilaian sebuah lomba kolintang misalnya, atau lomba-lomba tari berbasis budaya daerah tapi konsepnya dinilai oleh juri. Dalam keadaan demikian, setiap juri pasti memiliki cara pandang sendiri dalam penilaiannya atau bahkan eksekusinya. Kendati demikian, mengapresiasi karya seni tidak pernah lepas dari fakta bahwa pendekatan yang digunakan untuk mengapresiasi karya seni tidak mutlak subjektif, tetapi juga tidak mutlak objektif. Pendek kata, mengapresiasi (oleh seorang juri) tidak mutlak subjektif dan pada saat yang sama tidak mutlak objektif juga.
Selanjutnya apa jalan keluar yang cukup memadai untuk dijadikan acuan? Hemat penulis, pemahaman yang benar tentang bagaimana cara mengapresiasi. Pemahaman yang benar di sini dimaksudkan bahwa yang didaulat sebagai apresiator (juri) perlu memahami dengan benar apa itu mengapresiasi sehingga konsep penilaiannya tidak bias, atau liar bahkan terkesan amat sangat subjektif sekali.
Pendekatan Estetika untuk Apresiasi
Dalam dunia estetika terdapat pendekatan yang paling dikenal dalam mengapresiasi.
Pertama, ‘sudut pandang objek’ yang melihat dan menelaah objek yang bersangkutan secara langsung. Dengan kata lain, objek formal dari proses ini tak lain adalah keindahan yang terekspresi dari objek itu sendiri. Kedua, ‘sudut pandang subjek’ yang menelaah dinamika sang subjek ketika menikmati karya seni tersebut.
Di sisi yang sama, Marcia Muelder Eaton dalam karyanya Basic Issues in Aesthetics (1988), merinci hal itu dalam kerangka keterkaitan antara subjek dan objek. Dia mengatakan bahwa mengapresiasi dimana kerangka yang digunakan adalah kaitan subjek dan objek adalah: Pertama, berdasarkan pendekatan yang berpusat pada subjek. Pendekatan ini menyatakan bahwa penilai yang kompeten adalah subjek yang berada dalam situasi yang baik untuk menilai, mempunyai selera. Selain itu, subjek tersebut mempersepsi dan memiliki pengetahuan tentang penilaian seni yang didasarkan pada selera. (Marcia Muelder Eaton 1988: 35.)
Namun demikian, meskipun bergantung pada selera subjek, tetapi pada akhirnya, hal itu tergantung dari fakta objek dihadapannya. Kita dapat menyatakan secara pasti bahwa sebuah lukisan mempunyai arena yang berwarna kuning karena adanya kemampuan yang memungkinkan kita untuk mempersepsikan. Dan, kemampuan itu ada dalam diri subjek dan merupakan selera sang subjek.
Kedua, pendekatan yang berpusat pada objek. Pendekatan ini, amat meyakini bahwa ukuran keindahan dari sebuah karya seni adalah bahwa karya seni itu, sudah indah pada dirinya sendiri. Objek pada akhirnya menentukan subjek untuk memberikan putusan/apresiasi atasnya. Sebagaimana juga telah dipaparkan oleh Marcia Muelder Eaton, bahwa perwujudan fisik (objek) adalah karya seni itu sendiri. Bagaimanapun, tanpa perwujudan fisik dari sebuah objek, sang subjek tidak akan mengalami sebuah karya seni. Tidak bisa memberikan putusan keindahan terhadap suatu karya seni. (ibid).
Dengan demikian, yang paling mungkin adalah melihat secara utuh dan komprehensif tanpa didominasi oleh pandangan yang subjektif dan atau sebaliknya lebih berpihak pada kondisi objektif sebuah penampilan panggung. Dalam prakteknya, amat sering terjadi, ada apresiator (juri) yang lebih condong kepada sikap subjektif dalam penilaian, dan jika demikian maka konsep penilaian dari sudut pandang tulisan ini, adalah gagal. Kendati begitu, kita harus mengetahui bahwa subjek tidak pernah bisa lepas dari kondisi objek, objek pun demikian, selalu bergantung pada subjek. Kendati begitu, akhirnya kembali kepada integritas seorang apresiator-lah menjadi kunci, demi tidak menimbulkan pro kontra dalam sebuah lomba. Dan jika ada yang masih berpandangan demikian ekstrim (dalam arti cenderung subjektif), perlulah untuk ditinjau segala kapasitas dan kapabilitas siapapun apresiator (juri) yang akan dipilih. Last but not least, subjek yang menjadi apresiator (juri) haruslah subjek yang kapabel, bebas kepentingan dan berintegritas. Salam seniman.
Penulis adalah Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado, Pegiat Filsafat-Estetika