Advertisement
pojokseni.com - Istilah "teater yang luhur" atau "teater suci" (holy theater) pertama kali diungkapkan oleh Peter Brook. Peter Brook menjelaskan bahwa Holy Theater berarti pertunjukan yang memberikan (atau menginginkan) sebuah komunikasi tingkat pengalaman universal yang metafisik. Kalimat lain yang sering dikatakan oleh Peter Brook untuk merujuk ke istilah Teater yang Luhur tersebut ialah, "realitas yang lebih dalam daripada bentuk kehidupan sehari-hari."
Peter Brook seakan ingin mengatakan bahwa kehidupan kita yang nyata ini adalah sebuah main-main, tertutup oleh kabut, sehingga untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya, seseorang harus disadarkan jiwanya. Cara menyadarkan tersebut adalah mengajak spektatr untuk menembus permukaan kehidupan, itu istilah yang sering dirujuk untuk menyampaikan apa yang diinginkan oleh Peter Brook. Meski demikian, hal yang ingin dicapai oleh Peter Brook sudah terlebih dulu dilakukan oleh para pendahulunya sejak zaman Yunani klasik. Keinginan yang sama (menembus permukaan kehidupan/pengalaman) juga menjadi ciri khas karya para tokoh teater dunia sejak dulu kala.
Teater yang luhur tersebut, didefinisikan sebagai teater yang mampu mencipta katarsis. Katarsis ialah momen psikologis yang dirasakan oleh penonton teater ketika menyaksikan sebuah pertunjukan teater. Di era teater Yunani antik, katharsis ini didapat paling utama ketika melewati fase puncak adegan tragis. Namun di era modern, bahkan di setiap detail adegan ditujukan untuk mendapatkan katharsis tersebut. Teater mengusung sebuah tugas yang mulia yakni, merenovasi jiwa manusia dengan membawa (jiwa) mereka menembus permukaan pengalaman. Aktivitas penyelaman ke dalam "pengalaman kehidupan" tersebut membuka tabir sebuah kebenaran universal yang selama ini (dianggap) ditutup oleh kabut.
Maka pertunjukan teater memiliki visi sebagai memanusiakan manusia. Sebab, pertunjukan teater (yang luhur) akan membawa penonton ke dalam sebuah harmoni emosional (emotional harmony) yang selanjutnya ditujukan untuk merayakan identitas manusia sebagai manusia sesungguhnya. Manusia yang tidak terpisah oleh sekat apapun, bisa saling mengasihi dan menghormati sebagai sesama "spesies manusia". Itu merupakan konsep pertama dari teater yang digaungkan oleh Brook.
Namun, Antonin Artaud dan Jerzy Grotowski memiliki konsep yang berbeda tentang katharsis ini. Teater yang suci menurut kedua orang ini merupakan sebuah "terapi teater" yang didesain khusus untuk merevitalisasi spiritual manusia, dengan membuka topeng ketertekanan fisik manusia.
Meski sedikit berbeda, namun ada kesamaan visi dari dua konsep "teater yang suci" ini, yakni cara untuk mengubah keadaan afektif penonton dengan cara mencapai katarsis.
Mengutip Martin Suryajaya, setidaknya ada lima pengertian momen psikologis yang disebut "katarsis" tersebut. Kelimanya antara lain:
- Pembersihan emosi
- Pelepasan emosi
- Pemurnian moral-spiritual
- Pendidikan emosi
- Penjernihan intelektual
Kelima kondisi itulah yang disebut katarsis, sebuah momen psikologis yang ingin dicapai oleh teater.
V-Effect ala Bertold Brecht, Antitesis dari "Teater yang Luhur"
Cara Brecht untuk menyadarkan penontonnya, tentunya berbeda dengan teater barat yang terpengaruh dari teori tragedi Yunani, ala Aristoteles. Bahkan dikatakan bahwa teori teater yang diusung oleh Brecht justru antitesis dari teater Yunani. Teater epik yang digagas Brecht dianggapnya sebagai pertunjukan teater yang paling tepat untuk abad modern seperti saat ini.
Berbeda dengan teater barat yang terpengaruh teori Aristoteles, bahwa teater dramatik ditujukan untuk mencapai katarsis. Maka teater Brecht, justru melepas atau menghindarkan empati penonton pada pertunjukan. Karena itu, Brecht menunjukkan bahwa pementasan yang digelarnya harus tampak seperti "pura-pura", agar jarak yang dibuat bisa menyadarkan penonton bahwa yang disaksikannya memang bukan peristiwa sebenarnya.
Jarak yang sengaja diciptakan Brecth antara spektator dengan spektakel ditujukan agar penonton tidak sedang "menonton", tapi "mengawasi". Dengan mengawasi, penonton mampu menilai dan menganalisis secara kritis apa saja yang disajikan di atas panggung, alih-alih "menikmatinya".
Artaud menawarkan "menyelami dan menembus tabir kepalsuan hidup" yang berbeda dengan teater dramatik ala Yunani, namun tetap menghasilkan sebuah katarsis. Brecht tidak seperti itu. Ia menawarkan pertunjukan di mana para penontonnya lebih peka dan kritis karena jarak yang diciptakannya. Maka jarak yang terjeda akan
Untuk mencipta jarak tersebut, Brecht mencipta V-Effect, alias efek alienasi. Jarak yang diciptakan dikarenakan penonton terasa terasing dan terpisah dari pertunjukan, yang pada akhirnya tidak bisa menikmati pertunjukan sebagaimana tragedi Yunani.
Jarak yang terpisah tentunya tidak menghasilkan katarsis, namun menjadikan penonton bisa membedakan mana dunia nyata, dan mana yang fiksi di atas panggung. Brecht menjadi salah satu orang pertama yang menegaskan bahwa "teater bukan untuk menciptakan katarsis".
Brecht sangat terpengaruh pikiran Karl Marx, yang pada akhirnya membuat ia ingin memberikan sesuatu yang berbeda berdasarkan pemahamannya. Bahwa kehidupan manusia adalah suatu hasil dari perbuatan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia bisa mengonstruksi kehidupannya sendiri, alias bisa mengubah kehidupannya apabila ia mau.
Keadaan masyarakat terkini adalah "cara manusia mencari sesuatu untuk bertahan hidup." Itulah kenyataannya, dan tidak ada given circumstance yang diturunkan dari langit. Manusia berpikir sesuai dengan kebutuhannya, dan semua yang terjadi di dunia ini awalnya bermula dari "keinginan personal."
Maka manusia harus mampu menganalisis, mengawasi, mengamati, dan mengambil keputusan atas hidupnya sendiri. Hal itu yang kemudian menjadi visi dari teater Epik ala Bertold Brecht. (Lebih lengkapnya, silahkan baca di artikel ini: Sekilas Tentang Teater Epik Bertolt Brecht).
Paling penting di mana titik perbedaan antara teater dramatik dengan teater epik adalah masalah kesadaran penonton. Penonton (manusia) akan mengingat kembali keadaan sekeliling dan kehidupannya, hal itu yang akan membangkitkan atau menentukan kesadaran. Sedangkan di teater dramatik, kesadaran itu yang dibangun dan "diketuk" untuk mengubah atau menentukan keadaan.
Karena perbedaan (keterbalikan) visi tersebut menjadikan penonton untuk teater epik tidak bisa melibatkan "perasaan", melainkan "pikiran". Maka teater epik Brecht menawarkan bentuk lain dari "teater yang luhur" sebagai teater yang tidak mencipta katarsis. Tentunya, penawaran Brecht menjadi antitesis dari premis utama yang dikemukakan di bagian atas artikel ini. Bahwa teater yang luhur adalah teater yang mampu mencipta katarsis.