Advertisement
pojokseni.com - Siapa filsuf modern terpopuler? Meski beberapa nama akan disebutkan, namun nama Friedrich Nietzche akan selalu masuk dalam list tersebut. Kontroversi dari pemikirannya membuatnya dibenci, sekaligus dicintai banyak orang. (Baca artikel: Sekilas Tentang Kelahiran Nihilisme Nietzche yang Berdampak Besar Bagi Kesenian Abad ke-20)
Nietzche bahkan menjadi semacam "ikon" untuk pemberontakan dan perlawanan terhadap sistem yang saat ini sedang mencengkeram kehidupan. Bagi para "anti kapitalis", maka kitab Nietzche akan menjadi "kitab suci" bagi mereka.
Pemikiran Nietzche memang kerap memberontak, melawan arus, dan menjadi sesuatu yang baru. Namun, untuk filsafat estetika, justru Nietzche menjadi kebalikan dari itu. Ia tidak memberontak, melawan, atau membuat sesuatu yang benar-benar baru. Malahan, ia justru mengikuti saja apa yang sudah ditanamkan dalam tradisi estetika sejak zaman filsuf Yunani antik.
Namun dari berbagai pemikiran Nietzche terkait estetika yang menurut Rekonstruksi Young selalu berubah-ubah, setidaknya ada satu hal yang "cukup" baru dipaparkan oleh Nietzche. Nietzche mempertanyakan apa sebenarnya kegunaan seni bagi kehidupan, sumbangannya terhadap kehidupan, kemudian apakah seni mampu menjadi solusi untuk problem kehidupan?
Bagi Nietzche, seni yang baik atau bagus adalah seni yang mampu membuat seseorang lainnya lebih memiliki kehendak untuk hidup, dan sejenak lupa akan kematiannya. Seni yang bagus akan meminta para penikmatnya tetap memiliki kehendak untuk hidup, serta tetap berencana untuk mewarnai kehidupan ini sesuai dengan keinginan, kemampuan, dan cita-cita manusia.
Sedangkan seni yang buruk bagi Nietzche adalah seni yang justru membuat orang menjadi kehilangan kehendak untuk hidup. Seseorang justru terus mengingat kematiannya dan kehilangan banyak semangat untuk berbuat sesuatu bagi kehidupan.
Bagi Nietzche, seni seharusnya bisa menjadi solusi bagi manusia yang menyadari bahwa hidup adalah kesia-siaan, lalu mencoba "kabur" dari kenyataan itu dengan mengejar "kehidupan setelah kematian". Seni seharusnya membuat manusia mampu menanggung perihnya hidup, absurditas hidup, serta penderitaan hidup, namun dengan penuh suka cita dan berbahagia.
Nietzche dalam bukunya The Birth of Tragedy from the Spirit of Music mengartikulasikan seni di era Yunani kuno dalam dua paradigma. Pertama Apollonian, dan yang kedua Dionysian. (Terkait Apollonian dan Dionysian sudah dibahas oleh Pojokseni dalam artikel berikut: Dionysian dan Apollonian dalam Kehidupan dan Karya Seni.)
Nietzche sempat mencibir paradigma Apollonian dalam bukunya dengan metafora:
Seperti di dalam badai samudra, dihempas dari segala penjuru, didorong dan ditarik oleh ombak yang menggunung, seorang pelaut duduk di atas perahu dan begitu yakin pada (perahu)nya.
Kondisi itu yang menurut Nietzche sama dengan manusia yang berparadigma apolonnian. Mereka sudah tahu (atau mungkin tidak tahu) bahwa kehidupannya penuh dengan banyak ancaman, baik itu bencana, masalah keuangan, masalah keluarga, dan masalah ini itu yang akan datang silih berganti. Namun, ia bukannya menjadikan dirinya sebagai tameng dari masalah itu, malah menjadikan "sesuatu di luar dirinya" seperti perahu itu misalnya.
Karena, ada konsep semacam redemption alias penebusan yang akan didapatkan seorang manusia setelah melewati penderitaan dalam hidupnya, asalkan ia tetap "patuh". Karena "kabur" dari fakta hidup, seseorang merasa bahwa penderitaan hidupnya bisa tertanggung, karena ada "penebusan di hari akhir". Nietzche menyebut bahwa itu adalah sebuah "ilusi keindahan" yang muncul dalam paradigma apolonian.
Namun, Nietzche juga sama sinisnya mencibir dionesian. Semua kisah tragedi yang muncul, lalu hadir seorang pahlawan yang "melewati kenikmatan tragis" dan berakhir kadang lebih buruk. Nietzche menyebutnya sebagai "sebuah bidak catur yang dimainkan secara sembarangan oleh nasib" alih-alih pahlawan atau "tokoh baik".
Bahkan "pencerita" dalam kisah tragedi Yunani klasik justru punya keunggulan ketimbang para aktor utamanya. Setidaknya, mereka bukan bidak catur seperti para aktor, yang bermain sembarangan, menerima nasib yang tak terperih, lalu berakhir dengan lebih buruk. Meski demikian, dionesyan justru menyadarkan manusia bahwa "nasib" dan "takdir" memang dua hal yang tak berpangkal juga tak berakhir, membuat manusia seakan hidup berputar-putar semacam itu saja setiap harinya hingga akhir usianya nanti.
Nietzche tidak memandang ada yang lebih tinggi dari keduanya, baik apolonian maupun dionesian. Bahkan, menurutnya, sejarah estetika bergantung, (sekaligus diobrak-abrik) dalam dua paradigma yang saling berbenturan itu.
Seni hiburan, lanjut Nietzche, bahkan lebih buruk dari narkotika. Karena hiburan yang dihadirkannya (mungkin untuk berjoget, atau tertawa karena lucu) hanya ditujukan untuk membuat manusia melupakan "hidupnya yang tragis". Mulai dari menjadi budak pasar, kesemena-menaan hidup yang disebabkan orang lain yang punya kuasa, ketidakadilan hidup, tendensi orang lain untuk menjatuhkan orang lain pula, dan berbagai "tragedi hidup" yang seharusnya dilawan, bukan dilupakan.