Advertisement
Gambar 1. Demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa akademisi seni dan dosen di Surabaya, 8 April 2021 (Dok. Reihan). |
Oleh: Arung Wardhana Ellhafifie*
Tikus yang Menggerogoti, Kontribusi, dan ‘Sapi Kerapan’
Tulisan ini dilatar belakangi oleh tiga hal; pertama, tulisan yang mengejutkan saya dari Adiyanto, mahasiswa S3 Program Doktor Ilmu Sosial Fisip Universitas Airlangga yang bisa dilihat di laman berikut, http://kabargress.com/2021/04/04/stkw-menagis-mengapa-ini-harus-terjadi/, yang mengacu pada satu sistem kesewenang-wenangan, kalau saya menyebutnya ‘kandang tikus’, kalau memang terjadi demikian, yang dilanjutkan demonstrasi dari sejumlah mahasiswa dan dosen yang bisa dilihat di laman berikut, https://www.ngopibareng.id/read/puluhan-mahasiswa-dan-dosen-stkw-geruduk-grahadi; kedua, pertanyaan Yudi Ahmad Tajudin (sutradara Teater Garasi), yang mempertanyakan kontribusi kampus seni, terhadap kemajuan seni di Indonesia, khususnya teater** (sekalipun pertanyaannya masih menimbulkan banyak perdebatan), kalau tidak memiliki kontribusi bubarkan saja, yang saya duga jangan-jangan ada hubungannya dengan sekolah seni di Indonesia pada praktik kandang tikusnya—terutama kampus seni yang ada di Surabaya (Jawa Timur), yang setiap harinya menggerogoti dan menggerogoti—merujuk pada laman di atas (kalau terjadi demikian), ketiga; praktik seni di tengah kembang kempisnya komunitas seni (khususnya teater) dengan problematiknya. Saya masih banyak menemukan ‘sapi kerapan’, di mana juragannya sangat ikhlas berjibaku menjaga sapi-sapi tersebut untuk terus melesat di arena kerapan, jika seni bisa dipahami untuk melawan dan mendobrak sistem kesewenang-wenangan tersebut.
Maka dari itu harus terus lahir dan terus hadir, memberi dan menerima (meminjam bahasanya Mahendra Cipta, sutradara Language Theatre Indonesia, Sumenep, Jawa Timur, yang saya sebut ‘juragan sapi kerapan’ cukup tangguh), selain beberapa contoh ‘juragan’ lainnya.
Tiga hal itu membuat saya terpantik untuk menuliskan pengamatan saya, karena ketiganya sangat berhubungan. Tentu saja hal pertama lebih kuat sebagai dasar tulisan ini daripada dua hal berikutnya, karena bagaimanapun saya yang kini masih terus menempuh studi pascasarjana seni, lulus sarjananya dari sekolah seni yang ditulis Adiyanto. Saya mencurigai bahwa ini sangat berkaitan antara satu dengan lainnya. Maka saya katakan di awal, sekolah seni tidak boleh mati, yang boleh mati adalah mereka yang menggerogoti, kandang-kandang itu dibersihkan dari tikus-tikus berdasi, dan kita juga semestinya lebih memperbanyak wacana kritis atau diskursus-diskursus untuk membentengi tikus-tikus baru yang hendak masuk ke dalam kandang kita.
Hal pertama, tentu saja saya berbicara dari pengalaman empiris, sebagai seorang yang pernah menempuh studi di sekolah itu; bagi saya sekolah seni di Surabaya, menjadi pintu gerbang manusia yang berakal sehat untuk membongkar kebobrokan kuasa negara dari berbagai macam aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik, sekalipun memerlukan perjuangan yang keras karena sudah sekian tahun lamanya negara ini dikonstruksi oleh cara-cara yang tidak menguntungkan seni atau seperti yang dikatakan Afrizal Malna (penulis dan kritikus) bahwa negara selalu absen pada ekosistem seni (khususnya teater), bertahun-tahun lamanya. Jika ada yang berpendapat bahwa negara selama ini selalu hadir terhadap komunitas teater, saya percaya mereka yang bersuara tersebut adalah kenalan/ jejaring dari lingkaran mereka, atau ‘jongos-jongos’ yang diperalat agar perutnya tidak kelaparan. Sebab jika benar-benar hadir, berapa banyak komunitas teater yang bubar sejak tahun 1980-an hingga kini, di beberapa kota di Indonesia. Sebutlah Jakarta, menjadi gambaran yang paling jelas, karena dituliskan oleh Afrizal (baca Teater Kedua, ICAN, 2010, Kalabuku, 2016).
Saya merasa tidak mendapatkan satu sistem pembelajaran yang jelas di sana; apakah hal ini dipengaruhi oleh kurikulum yang dibuat, atau memang dari sistem sekolah tersebut yang tidak tahu harus berbuat apa, dan enggan berdiskusi secara serius. Tindakan kekuasaan itu hanya merujuk pada kepentingan pribadi dan golongan tanpa melihat bahwa generasi yang sedang studi seni adalah regenerasi di masa yang akan datang. Kampus seni (di Surabaya tidak memiliki orientasi yang jelas, apakah sebagai regenerasi dan pengembangan, atau berorientasi pada produksi pasar, atau memang memperkuat tradisinya—yang tampak setengah-setengah dilakukan), karena lulusannya masih banyak yang kesulitan dan kebingungan harus berbuat apa. Secara umum mereka lebih memilih menjadi guru seni dan budaya tanpa pengetahuan yang memadai, tanpa melihat satu sistem ekonomi kreatif karena memang sekolah itu tidak memfasilitasinya (hanya individu yang dianugerahi talenta yang bisa tumbuh dan berkembang secara serius, bukan karena sekolah yang dimaksud, sekalipun ada itu pun dalam jumlah relatif sedikit, berbanding terbalik dengan jumlah lulusannya).
Jika menengok secara jauh berapa banyak lulusan teater, ketika ditanya kembali; siapa di antara mereka yang benar-benar mahir dan hatam sistem latihan Stanislavsky, Brecht, Grotowski, dan Brook (baca. Shomit Mitter: System Rehearsal Stanislavsky, Brecht, Grotowski, and Brook. Routledge Taylor & Francis Group, 1992), belum lagi teoritikus lainnya. Saya sangat menyangsikannya dari empat teoritikus Barat tersebut, bahwa lulusan sekolah itu belum tentu bisa clear mempraktikkannya. Bukan berarti dosennya tidak mumpuni, karena mereka juga terjebak oleh sistem birokrasi tersebut. Sehingga saya tidak yakin lulusannya bisa mengerti sistem latihannya secara detail. Sebab dalam praktik penciptaannya masih seringkali ditemukan kebingungan harus berbuat apa. Tema penciptaaan yang beragam; ketukan musik, gerak, penokohan, dan pilihan medium hampir sama. Seringkali tumpang tindih dalam ujian keaktoran dan penyutradaraan (yang hanya berorientasi pada produk seni, seolah-olah kedua-duanya sama). Hal itu dikarenakan tidak memiliki orientasi yang jelas dan tepat, dari setiap mata kuliah yang dipelajari. Terkadang kebekuan dan kebuntuan sistem masyarakat tertentu, juga memengaruhi kebanyakan sekelompok masyarakat di Jawa Timur.
Wacana kritis dan kebaruan (seorang dosen seni di sekolah itu) tidak dapat dipahami sebagai pengetahuan yang perlu dilacak secara korelasi, dan historikalnya, tetapi langsung dituding dan dicurigai bahwa setiap individu yang datang membawa wacana disebut ‘pedagang teoritis’. Sistem tradisi yang begitu kuat di Jawa Timur, secara otomatis menciptakan kebekuan dan kebuntuan jalannya pengetahuan apa pun, termasuk di dalam sistem akademisi seni di Surabaya, yang sangat berhubungan erat dengan mata rantai kelas sosial masyarakat Jawa Timur.
Pengalaman saya pertama, berhubungan dengan pertanyaan Yudi Ahmad Tajudin, kontribusi apa yang dilakukan kampus seni (khususnya di Surabaya, Jatim), kalau melihat berdirinya dari tahun 1980-an, dan jurusan teater baru mendapatkan akreditasi pada tahun 2019, tentu saja sangat sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Jika jurusan lainnya, apakah memang sekolah seni itu memiliki kontribusi terhadap praktik seni, perkembangan seni untuk satu orientasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik? Saya juga menyangsikannya. Dan celakanya jajaran ketua yang dimaksud Adiyanto adalah lulusan sekolah itu. Artinya lulusannya berkontribusi untuk menggerogoti sekolahnya sendiri, dan bisa memungkinkan berorientasi regenerasi, atau bisa disebut ‘regenerasi tikus’ (kalau memang terjadinya demikian).
Kedua permasalahan tertutupi oleh ‘juragan-juragan’ yang memiliki ‘sapi kerapan’ (saya pakai sebagai analogi, karena saya tumbuh dan besar di Bangkalan, Madura, sekalipun petualangan saya meliputi berbagai kota di Indonesia). Saya kira kemungkinan masih bisa diterima kalau saya pakai dalam tulisan ini untuk mempermudah saja. Karena masih banyak pelaku teater khususnya, di mana karya mereka bisa terlacak dan terbaca atau memengaruhi pertunjukan teater di Jawa Timur khususnya, selain Language Theatre Indonesia, seperti; Teater Api Indonesia, Komunitas Tombo Ati, Padepokan Seni Madura, Teater Institut Surabaya, Bengkel Muda Surabaya, Teater Ideot, Teater Tobong, The Royal Actor Experimenthal Theatre, Studio Klampisan, dan lain sebagainya.
Bertolak dari tiga hal tersebut, saya ingin menyingkap kuasa simbol dari peristiwa ‘tahu tempe sambal terasi’ dari perspektif sosiologinya Pierre Bourdieu (1930-2002), yang sudah disinggung oleh Adiyanto, bahwa Bourdieu tak ingin menjadi penonton atau pengamat pasif—ia tak mengizinkan ada ruang kosong yang membentang jarak antara dirinya dengan objek yang diamati (lih. Fauzi Fashri: Pierre Bourdieu Menyingkap Simbol, Jalasutra, 2014, 51). Lewat pernyataan ini; saya sebut sebagai ‘tahu tempe sambal terasi’ sebagai pengalaman autentik saya untuk membongkar kelas. Seberapa jauh kuasa simbol di lingkungan akademisi seni (di Surabaya), memporak-poranda tatanan sosial, sehingga kelas sosial bawah seakan-akan menjadi penderitaan saja?
Gambar 3. Pertunjukan Surat Kepada Setan karya Putu Wijaya, disutradarai Arung Wardhana Ellhafifie, yang dipentaskan di halaman kampus seni, di Surabaya, 7 Januari 2017 (Dok. AWE dari youtube). |
Saya ingin kembali menegaskan bahwa tujuan sosiologi menurut Bourdieu untuk membongkar struktur-struktur berbeda dunia sosial yang terkubur di dalam semesta sosial (lih. Arizal Mutahir: Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu, kreasi wacana, 2011, 55), yang saya anggap ‘tahu tempe sambal terasi’ tidak terungkap permasalahannya karena dikubur oleh kepentingan setiap individunya. Sekalipun terkesan sederhana, padahal ini sebagai dasar utama terjadinya dominasi kelas. Pembongkaran ‘tahu tempe sambal terasi’ ini sebagai kajian untuk coba memberikan pandangan dari ketiga hal yang melatar belakangi tulisan ini, untuk memikirkan strategi naratif atau siasat dramaturgi apa yang sekiranya diperlukan untuk mengubah satu keadaan yang sudah kokoh untuk dirobohkan. Sebab tatanannya sudah pasti terjalin dan terhubung antara satu dengan lainnya, atau sudah terjadi dramaturgi kuasa yang cukup penting dan menjadi catatan yang bisa diadopsi dalam sebuah pertunjukan.
Tahu Tempe Sambal Terasi #penjarabuatsecurity
Saya masih ingat kurang lebih empat tahun yang lalu, kelas sosial bawah hanya menjadi alat tegangan kuasa simbol. Saya hampir saling baku hantam dengan bambu-bambu properti, yang hendak saya gunakan untuk pertunjukan tugas akhir. Tanpa disadari kesombongan dan keangkuhan yang dimiliki security itu bukan semerta-merta konstruksi oleh dirinya sendiri. Melainkan konstruksi kuasa akademisi seni, yang semena-mena memberikan tekanan terhadap kelas sosial bawah yang sedang membutuhkan pekerjaan buat menghidupi diri dan keluarganya. Sementara di sisi lain, kelas sosial bawah lainnya sedang berjuang menempuh hidupnya agar naik kelas dan melepaskan dirinya dari kampus seni tersebut, yang disadari dari awal; bahwa bukan di sana untuk mendapatkan kemerdekaan, dan pengetahuan seni. Seolah-olah kampus seni itu menjadi transportasi intelektual untuk mendapatkan jenjang kelas dan sebatas surat pengesahan gelar. Jelas ini semacam pertukaran identitas antara saya dengan penguasa akademisi seni (yang dapat dibaca sebagai ‘tahu tempe sambal terasi’). Security tidak pernah menyadari bahwa dia berada di antara sekeliling kaum intelektual yang sedang memasuki proses “dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas” (ibid., 56) untuk mendapatkan pengertian-pengertian kuasa dan sosial untuk bertemu. Sementara security yang diperalat oleh kuasa-kuasa tersebut, hanya sebagai kausalitas dari tegangan antara para penguasa akademisi seni dengan lingkungan sekitarnya, yang juga memiliki kuasa militer, kuasa sipil dalam pemerintahan kota, kuasa agama, dan kuasa-kuasa lainnya yang saling mendukung antar kuasa mereka. Lengkap sudah antar kuasa yang mengganggu seni dari luar seni di tengah lingkungan perumahan sebuah akademisi seni.
Apa yang bisa dilakukan jajaran kuasa akademisi seni; selain memberikan ketegangan kelas, sehingga antar kelas saling ‘membunuh’. Kelas sosial bawah seperti security tidak menyadari bahwa dirinya diperalat kekuasaan. Hal ini yang selalu bertahun-tahun seringkali terjadi. Siklus tegangan kelas sosial bawah dan atas, dengan masyarakat setempat di sekitar perumahan itu, yang letaknya memang berada di antara rumah-rumah bertingkat, yang kemungkinan besar mengalami ketimpangan sosial dengan kaum intelektual yang berada di dalamnya. Sebetulnya kalau kita sadari menempati posisi terdominasi dalam arena kekuasaan (ibid., 92), kita mesti menjadi agen individu untuk memproduksi budaya dan menukarkan modal kita terhadap mereka, yang harus dijelaskan secara eksplisit. Hanya saja penguasa akademisi seni tidak memberikan ruangnya dalam arena kultural. Mereka lebih memiliki dominasi kelas, sehingga kaum kelas sosial bawah seperti security tidak bisa bangkit dari keterpurukan dan kebodohannya.
Sejarah menceritakan bahwa hubungan antara kampus seni tersebut dengan masyarakat dulunya saling melihat antara satu dengan lainnya. Bagaimana konteks kedokteran melihat seni, aparatur negara, dan militer melihat seni dari depan rumahnya, yang kian lama semakin hilang akibat pertentangan dua sub arena, yakni arena produksi terbatas (field of restricted production) dan arena produksi skala besar (field of large-scale production). Hal ini dipengaruhi oleh individu kuasa simbol dari pelakunya sendiri. Kalau sudah terjadi demikian, bagaimana mungkin seni bisa dilihat? Masyarakat setempat saja tidak bisa didekatkan dari perspektif yang lain. Misalnya dari perspektif sosiologis; jadi bagaimana mungkin bisa dilihat oleh masyarakat luas di luar perumahan. Maka mungkin akan terus menerus kuasa simbol berkutat di area semacam itu, seperti penjara security demi ‘tahu tempe sambal terasi’, untuk menghidupi kelas-kelas sosial bawah.
Pertunjukan Marjinal, karya dan sutaradara Arung Wardhana Ellhafifie, di halaman belakang kampus seni, di Surabaya, 5 Februari 2016 |
Seni dan masyarakat menjadi kunci utama. Saya melihat tidak pernah ada usaha dalam kuasa simbol itu untuk menghadirkan pekerja otomotif, para dokter, pembuat robotik, para apoteker, para bidan, hingga perguruan silat untuk dilihatnya dari perspektif seni, dan mengadakan workshop bersama dengan mahasiswa seni; untuk memiliki orientasi pengembangan diri, atau juga mengundang beberapa komunitas teater yang menekankan interdisiplin dan ragam perspektif seperti komunitas yang saya sebut sebagai ‘juragan sapi kerapan’, bisa juga dari luar Jawa Timur untuk dilihat sebagai tatapan/ bandingan data seperti Rokateater, Teater Gantha, Artery Performa, Komunitas Sakatoya, Komunitas Berkat Yakin, Teater Satu Lampung, Komunitas Seni Nan Tumpah, Kala Teater, dan lain sebagainya; sebagai modal budaya yang diwakili setiap personal dari komunitas tersebut untuk terus dirayakan dalam kontestasi seminar, pameran ilmiah, dan ceramah (lih. M. Najib Yuliantoro: Ilmu dan Kapital Sosiologi Ilmu Pengetahuan Pierre Bourdieu, Kanisius, 2016, 111-112), dengan menghadirkan para lecturer Jawa Timur seperti Didik Harmadi, Doni Kus Indarto, Indar Sabri, Galuh Tulus Utama, dll., untuk menghasilkan ilmu secara objektif, atau untuk menentukan realitas sosial dalam satu keterhubungan komunikasi antara seni dan masyarakat.
Tahu Tempe Sambal Terasi #penjarabuatpemilikkantin
Saya melihat apa yang dijelaskan oleh Bourdieu dalam Fashri (ibid., 59) bahwa semakin besar kepemilikan sosial yang dimiliki oleh satu kelompok, semakin besar peluangnya merebut jenjang penghormatan dan kekuasaan. Saya mengamati bahwa kelas yang berkuasa dalam akademisi seni (di sekolah itu) semakin mengaktualisasikan kepemilikan sosial itu menjadi norma untuk dipatuhi bagi kelas sosial di bawahnya seperti security, pemilik kantin, hingga tukang kebun. Di sisi lain, saya merasa bahwa kelas pekerja seperti pemilik kantin sama sekali tidak sadar bahwa haknya sudah dirampas, dikarenakan tidak memiliki habitus yang sesuai. Termasuk pada saat penguasa memiliki kebiasaan mengutang hingga menggunung tagihannya; tanpa membayar seolah-olah sudah memutuskan hubungan antara pedagang dengan pembeli. Yang terjadi hubungan antara atasan dan bawahan. Asumsinya adalah habitus kelompok dominan atau elite memperlakukan kelas di bawahnya secara tidak adil, bobrok, dan kesewenang-wenangan dalam realitas, tanpa memikirkan hak dan kewajiban.
Istilah ‘tahu tempe sambal terasi’ ini semakin menjadi penjara buat pemilik kantin yang semakin kecil aksesnya terhadap objek-objek budaya, sekalipun setiap harinya hidup di ruang lingkup seni. Kaum terpelajar pun juga sama bodohnya, tak punya kuasa dengan dalih melakukan ‘penyelamatan diri’ dalam akademisi tersebut. Narasi ini bukan menjadi konsumi personal, melainkan konsumsi publik intelektual di sekitarnya. Hanya saja mereka tidak pernah menyadari bahwa pemakluman yang dilakukan pemilik kantin adalah memberikan jalan luas untuk sikap kediktatoran penguasa akademisi seni. Pemilik kantin secara kritis bisa disalahkan, karena mempercepat terjadinya perampasan atas penggunaan otoritas melalui kecerdasan penguasa akademisi seni, dan kecemerlangan karirnya, yang juga menjadi istimewa sebagai jajaran kuasa simbol di perumahan itu. Maka semakin minim pula kesempatan kelas sosial bawah untuk menempati posisi strategis. Dimulai dari security, pemilik kantin, hingga tukang kebun, tentunya tidak memiliki akses yang cukup besar dan sudah terjebak pada sikap pemakluman. Kaum intelektual di sana pun tentu tidak juga memiliki akses yang besar pula untuk menyuarakan penyalahgunaan hak dalam ruang lingkup akademisi seni.
Kuasa simbol yang terus mendominasi satu kelompok yang tidak beruntung, saya lihat sebagai kekerasan yang menghambat secara tidak langsung ‘ketidaksadaran budaya’ atas kepemilikan kaum terpelajar akademisi seni. Tetapi kenyataannya kaum terpelajar itu tak bergeming sama sekali seakan-akan menyepakati praktik kesewenang-wenangan tersebut. Kalau pernyataan Bourdieu dalam Harker menegaskan bahwa beberapa aspek budaya sekolah merupakan karakteristik semua masyarakat didasarkan pada pembelajaran sekolah ((Habitus x Modal) + Ranah = Praktik Pengantar Paling Komperehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, Jalasutra, 2009 (cetakan kedua), 122). Masalahnya kefasihan berorasi layaknya seorang aktor ataupun menulis tidak dijadikan sebagai tempat dan senjata untuk memerangi penindasan terhadap ‘tahu tempe sambal terasi’.
Di sinilah saya sebut ironi, bahwa kita sebetulnya selama ini sudah mengilustrasikan, mengartikulasikan, dan mengoperasikan kekuasaan struktural. Kita secara tidak langsung sudah menjadi dramaturg kuasa simbol. Tanpa adanya wacana kritis yang melangkah untuk keluar dari struktur tersebut; kita hanya berdiam saja seperti kambing congek untuk selalu saling menyelamatkan diri sendiri. Padahal seni tidak pernah mengajarkan hal demikian. Malah kita semakin ditertawai dari luar akademisi seni, oleh ‘juragan-juragan’ atas pemeliharaan ‘sapi kerapan’nya yang sangat telaten, sabar, dan tawakkal memeliharanya, serta sewaktu-waktu dilepaskan untuk menyeruduk kita semua.
Tahu Tempe Sambal Terasi #penjarabuattukangkebun
Bourdieu dalam Fashri (ibid., 61) menjelaskan bahwa ranah pendidikan dibentuk oleh dua prinsip hierarki yang berlawanan dan bersifat antagonis yakni hierarki sosial modal ekonomi dan kekuasaan politis yang diwariskan. Saya masih bersepakat dengan pernyataan di atas, jika saya pakai untuk membongkar kuasa simbol yang terjadi di sekolah seni (di Surabaya), melalui kelas bawah lainnya; kali ini tukang kebun. Saya ngin menjadikan ‘tukang kebun’ ini masuk dalam ranah ‘tahu tempe sambal terasi’, yang sedari tadi saya kacaukan keberadaannya. Tetapi ‘dia’ sengaja saya jadikan sebagai konsepsi untuk melawan determinisme sosial dalam lingkungan seni.
Tegangan antara tukang kebun dengan saya, yang ‘memakan’ korban security lainnya dalam pertarungan antar kelas sosial bawah, yang bisa memunculkan saling ‘menikam’ antara satu dengan lainnya tepat di hari raya idul fitri tahun lalu; kalau saya tidak menyadari sebagai formasi perlawanan. Karena bagaimanapun peristiwa itu sebagai sejarah yang tersituasikan di saat awal-awal masa pandemi, ketika negara menerapkan pembatasan skala besar secara serentak di Indonesia. Sehingga setiap sekolah dengan kewibawaan negara yang datangnya tiba-tiba otomatis mematuhi peraturan, yang disebutnya sebagai komitmen oleh jajaran ketua. Maka selama masa tersebut, hampir tiga bulan tidak boleh ada seorang pun (kaum intelektual, terkecuali pekerja) yang berada di area sekolah. Hanya saya yang tengah mengalami keterpurukan nasib dari kaum intelektual—sedang kebingungan di tengah pandemi, bisa saya menyebutnya gelandangan, secara otomatis memanfaatkan sekolah itu untuk bersembunyi.
Hal menarik terjadi; bahwa izin pada jajaran ketua akademisi seni (di Surabaya) hanya ditanggapi sebagai komitmen negara, yang sebetulnya pada bagian ini saya igin menjelaskan ecara reflektif agar tidak terjebak dalam penjelasan realitas sosial, yang pada dasarnya negara juga tidak menghidupi para gelandangan seperti saya. Mau tidak mau saya melangsungkan arena kultural dengan meminta izin secara etik pada jajaran ketua, yang disambutnya seperti demikian. Padahal sebetulnya jajaran penguasa akademisi ini melihat beragam perspektif dalam kondisi objektif material, sosial, dan budaya, jika merujuk pada pemikiran Bourdieu lainnya dalam Mutahir (ibid., 160); perlunya akademisi seni memiliki rancangan asal-usul struktur sosial dan asal- usul disposisi agen-agen yang terlibat, maka saya juga bisa menyebutnya ‘tahu tempe sambal terasi’ sebagai agen pribadi, yang bertugas untuk memintai keterangan dalam pertanggungjawabannya untuk membongkar simbol, sehubungan dengan habitus, arena, modal, dan strategi.
Gambar 5. Sebagian gedung-gedung akademisi seni di Surabaya, yang menjadi saksi penting dalam tegangan atar kelas dalam kuasa simbol, 18 Oktober 2020 (Dok. AWE dari youtube) |
Diplomasi yang dilakukan oleh jajaran ketua, seharusnya ditenggarai bahwa penguasa akademisi seni (di sekolah itu), yang bisa disebut sebagai intelektual profesional, bukan seperti sekelompok terpelajar yang masih belum tahu strategi masa depannya. Termasuk saya pribadi berada di antara intelektual dan gelandangan. Tentunya sama-sama berada pada dimensi pertunjukan. Di mana tugas kita adalah menyampaikan konsepsi kritis ke publik, bisa semcam tulisan ini, oral presentasi, pertunjukan dalam demonstrasi, seminar, dan konferensi, serta ceramah-ceramah yang terus diperketat untuk mencari strategi naratif lanjutan untuk melihat ‘tahu tempe sambal terasi’, difungsikan sebagai apa, dan untuk apa dari pembongkaran realitas sosial yang sudah terjadi. Dan sangat penting kita segera mencari hubungan yang lebih terstruktur untuk melihat posisi individu kita semua. Jikalau semuanya masif dan berbasis riset sebagai perjuangan kita untuk memperoleh akses tertentu dan sangat dekat dengan kekuasaan, berarti selangkah lagi untuk segera diruntuhkan atau dibongkar dominasi, atau bisa juga memungkinkan dominasi intelektual kita menjadi oposisi yang sepadan dari kuasa –kuasa lainnya. Bukan dominasi yang terpejarakan sepanjang hidupnya.
Kandang Tikus di antara ‘Sapi Kerapan’
Konsepsi ‘tahu tempe sambal terasi’, saya kira sebagai pendekatan empiris dan autentik untuk mengungkapkan bahwa masyarakat kelas bawah di sekolah itu dikonstruksi oleh kebodohan. Cara yang paling ekstrem adalah seni kita jadikan sebagai ‘sapi kerapan’ dengan melihat laju-laju cepat mereka yang berada di luar untuk dikumpulkan dan diklasifikasikan, kemudian kita golongkan, seberapa tegas dan semantap apa tindakan kita semua. Bagaimana ranah kita semua, kalau ranah bagi Bourdieu dalam Fashri (ibid., 200) dianggap terlalu mereduksi “dunia kehidupan” pada pertarungan semata, padahal ranah sosial bukan pertarungan semata, bukan juga arena kompetisi, tetapi kali ini memang mengambil kesempatan momen-momen ini untuk membongkar dari kuasa simbol; merujuk pada hal yang paling dekat, secara masif, dan secara estafet. Bukan hanya berhenti di sini, tetapi terus berkelanjutan dan berkelindan antara satu dengan lainnya.
Sekalian saja, kita gerakkan kritik terhadap kekerasan simbolik Bourdieu untuk kita semakin ‘tebalkan’ pelaksanaan dan mekanismenya secara frontal, sehingga seni memang benar-benar dihadapkan pada pertentangan untuk melawan ketidak adilan. Masa bodoh bahwa ini bukan sebuah konsep, atau melahirkan bentuk otoritas baru. Sasarannya adalah merobohkan kuasa simbol di sekolah itu yang terus menghimpit setelah sekian tahun lamanya. Kalau Bourdieu dalam Jepkins (Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, kreasi wacana, 2016, 186) melihat ‘harapan subjektif’ terhadap bayang-bayang revolusi Mei 1968 di Prancis, tetapi saya ingin melihat lebih ke dalam bahwa demonstrasi yang dilakukan teman-teman juga mesti diimbangi dengan data-data tertulis lainnya. Kita berada dalam krisis majemuk dengan disipin akademisi seni dan orientasi yang ‘tidak jelas’. Sebab kuasa simbol jajaran ‘kandang tikus’ selalu menggerogoti bertahun tahun. Bagaimana kita menaikkan modal sosial itu? Barangkali cara sementara kita hidupkan data-data secara komperehensif, referensi, catatan, oral presentasi, pidato, ceramah-ceramah, lecture secara terbuka, untuk menemukan karakterisasi dan merobohkan hierarki kelas, yang semakin menjadi elite.
*Penulis adalah kurator, dramaturg, dan peneliti
** Pertanyaan/pernyataan dari Yudi Ahmad Tanjudin diungkapkan dalam Konferensi Pertunjukan dan Teater Indonesia yang digelar secara daring di tahun 2020. Pertanyaan/pernyataan tersebut direspon oleh beberapa akademisi, di antaranya Arsita, Dede Paramayoza, dan Wendi HS.