Advertisement
pojokseni.com - Beberapa tahun silam, kita mendengar bagaimana nasib Naniel Khusnul Yakin (pencipta lagu "Bento") hingga meninggal dunia mendapatkan nasib yang kurang beruntung. Berbanding terbalik dengan lagunya yang terus mengudara, menjadi salah satu lagu 90-an yang populer hingga hari ini.
Naniel tidak sendirian, masih banyak nama pencipta lagu lainnya yang nasibnya juga sama mirisnya, padahal lagunya sukses dan terus dinyanyikan. Ingat bagaimana marahnya band Payung Teduh perkara lagunya berjudul "Akad" dinyanyikan, di-cover, bahkan ditampilkan secara langsung namun mereka selaku pencipta karya justru tidak mendapatkan apa-apa.
Lalu kemudian, keluarlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 56 tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. PP satu ini menjadi angin segar bagi musisi. Setidaknya, salah satu pejuangnya, Glenn Fredly bisa tenang di atas sana. Karena ahli warisnya akan mendapatkan royalti dari lagu-lagu yang diciptakannya apabila akan dikomersilkan oleh pihak lain.
PP tersebut menguatkan UU RI no. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Akhirnya para musisi bisa tersenyum, mereka mendapatkan hak yang seharusnya memang mereka dapatkan.
Tapi, coba sekali lagi kita bicara tentang PP RI no. 56 tahun 2021 ini. Apakah sudah tepat?
Sebenarnya, seperti yang diungkapkan oleh Budi Rahardjo (gitaris band Drive), memang PP ini terasa "tanggung". Tidak begitu jelas apa saja yang akan disasar oleh PP ini, dan apakah semua kegiatan "komersil" harus membayar royalti tersebut?
Kita anggap saja penyanyi YouTube yang gemar meng-cover lagu milik orang lain. Beberapa kasus ditemukan bahwa lagu yang dinyanyikan ulang Youtuber ternama (meski kualitasnya jauh di bawah penyanyi aslinya) justru lebih banyak penontonnya. Lebih sialnya, Youtuber yang dimaksud akhirnya mendapatkan lebih banyak penghasilan ketimbang pencipta aslinya.
Bila kasusnya seperti itu, maka sebenarnya YouTuber yang dimaksud memang harus membayar royalti pada pencipta aslinya. Kasus Payung Teduh tadi misalnya, yang dinyanyikan oleh Youtuber keluaran ajang pencarian bakat di televisi. Payung Teduh jadi "mencak-mencak" karena lagunya dinyanyikan tanpa izin, dan YouTuber yang dimaksud justru mendapatkan keuntungan dari karya orang lain.
Namun, sisi lain, ada cafe dan minimarket yang memutar lagu milik penyanyi atau musisi tanah air, dan tujuannya juga "komersil" secara tidak langsung. Apakah mereka harus membayar royalti?
Sayangnya, sebenarnya penggunaan lagu di minimarket atau cafe dan sebagainya, tidak sama seperti YouTuber tadi. Justru usaha yang cukup mirip dalam penggunaan karya musik untuk keperluan komersil adalah tempat karaoke dan konser musik secara langsung.
Konser musik juga harus dilihat lagi, apakah penyanyi yang membawakan lagu tersebut adalah penyanyi aslinya? Kalau iya, kenapa juga EO harus membayar royalti karena "mengomersilkan lagu"? Hal itu harus diatur dengan jelas di PP.
Beda kasusnya dengan satu band yang membawakan lagu band lain untuk tujuan komersil. Tentunya, harus ada royalti di sana.
Terpenting, bukannya tidak pro dengan PP yang memberikan keuntungan bagi musisi di atas. Namun, alangkah baiknya apabila lebih dijelaskan dengan detail agar tukang odong-odong yang kerap memutar lagu anak-anak juga tidak dibebani dengan "royalti" tersebut.
Karena bagi PojokSeni, UU dan PP tentang hak cipta dan royalti ini sebenarnya bukan perkara "meningkatkan hajat hidup seniman". Tapi, yah lagi-lagi itu, "fulus". Income bagi negara lewat pajak.
Budaya Kulonuwon
Terpenting adalah budaya "kulonuwon". Kadang-kadang musisi atau seniman tidak begitu keberatan karyanya dibawakan (maupun dikomersilkan) oleh seniman lainnya. Syaratnya adalah ada permohonan izin, minta restu, dan sebagainya. Yah, ada kulonuwon dulu sebelum main.
Kita anggap saja naskah drama yang kemudian dibawakan oleh satu grup teater. Apabila karya yang dibawakan adalah karya seniman tanah air, serta orangnya juga masih hidup, maka seniman yang dimaksud memiliki hak cipta yang penuh atas karya itu. Tentunya, grup teater yang dimaksud mesti kulonuwon, sekedar memberikan pemberitahuan, dan minta izin. Apabila seniman tersebut memberi izin, maka grup teater itu bisa mementaskan karyanya dengan aman.
Masalahnya, sudahkah budaya "kulonuwon" itu kita budayakan? Mungkin sudah, tapi 50% saja. Sialnya, sisanya itu justru dilakukan oleh orang-orang dengan pendidikan yang cukup tinggi. Minimal sedang mengenyam strata satu. Justru mereka-mereka ini yang tidak menghargai jerih payah si pencipta karya.
Apapun bentuk karyanya, mau jelek ataupun bagus, kalau kita ingin membawakan ulang, meng-cover, mengaransemen, menganalisis, dan sebagainya, maka budayakan kulonuwon terlebih dulu. Baik itu diatur dalam PP, UU, maupun tidak. Hak cipta itu ada dan melekat pada seseorang tepat ketika karyanya selesai diciptakannya.