Advertisement
pojokseni.com - Jean-Baptiste du Bos adalah seorang estetikawan populer era abad ke-18 yang menulis sebuah buku tentang estetika. Buku Jean-Baptiste du Bos pada akhirnya cukup mengejutkan banyak pihak, khususnya estetikawan terdahulu dan selanjutnya. Meski demikian, buku karangannya sangat disukai oleh kalangan awam seni.
Jean-Baptiste du Bos dengan tegas menyatakan bahwa keindahan itu adalah salah satu kemampuan seni menyentuh "rasa" penikmatnya. Semakin banyak sensasi rasa yang bisa dibuat oleh satu karya seni, maka karya seni itu akan semakin indah, menurut pandangan du Bos.
Karena itu, menurut du Bos, bisnis kesenian adalah bisnis manufaktur perasaan. Hal itu berbanding terbalik dengan pemaparan seorang pendeta yang menulis pandangannya tentang estetika sebelum du Bos, Jean-Pierre de Crousaz. Crousaz menilai keindahan dengan lebih rasionalistis, sedangkan du Bos justru dengan pendekatan yang lebih sentimentalis, yang bila ditarik lebih ke belakang ternyata pandangannya terpengaruh pandangan filsuf era klasik.
Sensasi estetis dari suatu karya adalah sensasi rasa. Keterpikatan seseorang terhadap suatu karya, itu dikarenakan kemampuan karya tersebut menjadi tiruan kenyataan. Bisa jadi penonton atau penikmatnya merasa bahwa karya seni itu "relate" dengan kehidupannya, atau mampu membuatnya menangis, atau justru mampu membuatnya tertawa.
Oleh karenanya, secara ringkas bisa disimpulkan bahwa du Bos menilai suatu keindahan karya seni berdasarkan intensitas perasaan yang bisa dihadirkannya. Menurutnya, karya yang merupakan tiruan dari kenyataan justru dapat menyentuh penikmatnya, meski apa yang ditirunya di dunia nyata justru tidak mampu melakukannya.
Bila seseorang terpikat oleh bunga di vas, maka dia akan jauh lebih terpikat dengan lukisan bunga di vas. Karya seni akan menjadikan daya pikat dari bunga di vas itu menjadi berkali-kali lipat. Atau, setidaknya menghadirkan lagi daya pikat yang sesungguhnya tidak begitu tampak dalam benda yang aslinya.
Namun, du Bos juga menyebutkan bahwa "kenyataan" yang tidak menghadirkan daya pikat sama sekali, juga tetap tidak akan menghadirkan daya pikat ketika dituangkan menjadi karya. Misalnya, lukisan tentang keramaian di pasar, atau lainnya.
Kekurangan dari pemaparan du Bos terkait keindahan adalah tidak adanya standar rinci dan pakem terhadap keindahan suatu karya. Ia bisa saja menilai lukisan seorang petani yang sedang mencangkul di sawah sebagai lukisan yang buruk. Namun, di sisi lain menilai lukisan adu ayam sebagai lukisan yang indah.
Perlu digarisbawahi, bahwa du Bos juga menyatakan bahwa karakteristik dari "karya yang indah" adalah peniruan yang sempurna dari kenyataan ke karya seni. Dalam teater misalnya, penggunaan metode Stanislavsky tentunya akan dianggap lebih indah karena menirukan secara sempurna (persis aslinya), ketimbang dengan gaya klasik.
Satu lagi yang perlu digarisbawahi dari pemikiran du Bos adalah, ia menegaskan rasionalitas (seperti yang digunakan oleh Jean Pierre de Crousaz) sama sekali tidak bisa digunakan untuk perasaan estetis. Itulah kenapa Pojokseni menyebut bahwa dua pemikiran yang datang nyaris berurutan di abad ke-18 ini adalah dua pola pikir yang saling berlawanan.
Tentunya, sebagai pembanding, dalam artikel berikutnya PojokSeni akan membahas sekilas tentang pemikiran de Crousaz. Jadi, simak terus artikel tentang seni, estetika, pertunjukan, dan sebagainya di PojokSeni.
Jangan ketinggalan artikel terbaru di Pojokseni. Daftarkan alamat email Anda (subscribe) di link ini: Berlangganan Pojok Seni agar mendapatkan notifikasi artikel terbaru dari PojokSeni langsung ke email Anda.