Advertisement
pojokseni.com - Dunia seni yang berada di ranah sosial, bahkan mungkin di ranah personal, di era terkini sudah bergeser ke ranah komersial. Namun, tidak semua teater mampu (ataupun ingin) berpindah menjadi "bisnis". Teater tetap berada di posisi yang tinggi, berada di hierarki teratas, menggambarkan karya seni yang luhur, adiluhung, dan mencerahkan. Dengan demikian, "kekayaan" yang dimaksud oleh seniman teater adalah "kekayaan moral", alias kekayaan batin. Karena itu, dikatakan bahwa seniman teater tidak bisa dilihat dengan kacamata ekonomisme, sehingga disamakan dengan profesi bisnis, seperti dokter misalnya.
Namun saat ini, pilihannya memang berpindah ke industri, atau mati. Seakan-akan memang seperti itu. Atau, solusi yang paling sering diberikan adalah, seseorang harus mencari pekerjaan yang tetap, mapan, dan bisa menghidupi keluarganya, baru dia bisa fokus berkarya sebagai seniman. Namun ketika dia kerja dan mapan, apakah ia masih memiliki waktu untuk berkarya sebagai seniman?
Jawabannya, bisa saja. Syaratnya, ia menjadi guru atau dosen seni. Maka ia akan tetap berkarya, sambil bekerja, sekaligus mendapatkan peluang untuk pendanaan karyanya. Namun, tetap saja, mereka juga punya hal lain yang menjadi tanggung jawabnya. Katakanlah mengajar, menyusun berkas kenaikan pangkat, mengurus ini dan itu. Lantas, apakah memang seorang seniman murni, seperti pekerja teater di New York misalnya, memang tidak ada? Apakah menjadi seniman yang independen itu mustahil?
Ini premis yang dibawa dalam sebuah diskusi yang digelar oleh Suara Teater Nusantara (Suasana) beberapa waktu lalu. Ada tiga orang dosen teater yang terlibat dalam obrolan tersebut, antara lain Edi Susanto (dosen IKJ), Susandro (dosen ISBI Aceh), dan Din Saadudin (dosen ISI Padangpanjang). Ketiganya menawarkan solusi yang berbeda, namun tetap bersepakat dengan perlunya manajemen yang baik untuk grup teater sehingga bisa berdiri independen dan tetap berkarya.
Edi Susanto memaparkan bahwa kata kunci untuk menjadi grup teater independen yang tetap konsisten berkarya adalah intensi. Edi Susanto menyebutkan bahwa Teater Koma (Jakarta) melakukan proses yang intens, dan melakukan pembinaan terhadap penonton. Mereka punya penonton tetap, sehingga karya yang diberikan selalu sampai. Edi Susanto juga mengambil sampel dari Lampung (Teater Satu), dan Yogyakarta (Teater Garasi). Kedua teater ini merupakan teater independen yang intens berkarya, menawarkan capaian artistik dan estetis yang berbeda, memanfaatkan teknologi dan berbagai peluang, serta menyajikan sebuah pertunjukan yang mendidik sekaligus menghibur. Karena itulah, meski sebelumnya kedua teater ini berasal bukan dari ibukota, namun akhirnya dilirik dan dilihat banyak orang.
Kedua teater tersebut juga memanfaatkan ilmu yang mereka miliki untuk membuka kursus. Mereka juga jeli melihat peluang pendanaan seperti hibah dan sebagainya. Tentunya, dilandasi juga dengan kemampuan penyampaian kualitas karya dalam proposal yang baik. Dengan memanfaatkan banyak peluang, kedua teater ini bahkan bisa pentas sampai ke luar negeri.
Din Saadudin memiliki pandangan bahwa sebenarnya di Indonesia, seni baru saja mulai diperjuangkan. Karena itu, teater bisa memanfaatkan momentum tersebut untuk masuk ke industrilisasi. Meski demikian, Din Saadudin berpendapat bahwa bagi seni teater, tidak melulu harus mempertimbangkan pasar. Grup teater, atau asosiasi yang memayungi grup-grup teater harus mampu membuat klasterisasi atau corak khas dari setiap grup. Pasarnya global, karena keadaan di luar negeri berbanding terbalik dengan keadaan di Indonesia. Bila di luar negeri, pasarnya banyak dalam arti penonton ada banyak, namun tontonannya tidak banyak. Karena itu, seperti di Amerika, satu judul yang sama dipentaskan berhari-hari dan tetap penuh penonton. Sedangkan di Indonesia, tontonannya banyak, namun penontonnya tidak begitu banyak. Tentunya, hal tersebut bisa menjadi salah satu solusi apabila grup teater masih belum menemukan pasar yang tepat untuk pertunjukannya.
Din Saadudin memaparkan tentang ekosistem seni yang sesuai dengan pakem industri. Di mana ada bahan baku, kemudian ada laboratorium (pabrik), kemudian ada distribusi, lalu ada konsumen. Ia menilai bahwa semua unsur dalam ekosistem seni tersebut sudah ada dan itu berarti Indonesia memang siap untuk industrilisasi teater.
Sementara Susandro justru menyatakan bahwa teater sudah sejak lama bersentuhan dengan industri. Apalagi, bila industri tersebut diartikan sebagai teknologi dan alat. Seniman-seniman Indonesia telah banyak melahirkan karya yang monumental, meski tetap kelaparan. Hal itu tentunya bisa menjadi modal yang baik untuk masuk ke industri yang sesungguhnya.
Selain ketiga dosen (akademisi), ada seorang lagi narasumber dalam diskusi tersebut yang merupakan "pelaku bisnis seni" dan sudah cukup sukses dan konsisten di bidang tersebut. Dia adalah Satya Brahmantya yang biasa dipanggil Bram. Bram, memang bukan bergerak di bidang teater, karena ia merupakan tamatan jurusan Seni Rupa di ISI Yogyakarta. Bram menyebutkan bahwa ekosistem seni yang ada saat ini di Yogyakarta justru "diciptakan", bukan tiba-tiba ada dengan sendirinya. Dan untuk itu, ada banyak perjuangan yang harus dilakukan.
Di tahun 1999, Bram membuat galeri sendiri. Tentunya, membuat galeri sendiri alias membuat infrastuktur sendiri menurutnya adalah langkah kongkrit, ketimbang menunggu ajuan pembuatan infrastruktur dari pemerintah yang entah kapan akan terlaksana. Saat itu, bukan berarti Yogyakarta tidak punya infrastruktur kesenian, khususnya untuk seni rupa. Tapi, milik pemerintah biasanya akan terafliasi dengan pihak tertentu yang punya "status quo". Makanya, seniman muda akan kesulitan memamerkan apalagi menjual karyanya. Banyak seniman di daerahnya yang memilih untuk menjadi pelukis jalanan dengan karya yang dijual dengan harga seadanya. Tapi, kadang karya yang ditemukan di jalan tersebut kualitasnya lebih baik ketimbang yang dipamerkan di galeri lukisan.
Bagi Bram, orang-orang yang "berkorban" tersebut harus punya strategi, jaringan, dan sistem di bidang seni. Karena itu, ia menyatakan justru seniman itu sendiri yang punya jaringan dan sistem dengan sesama seniman. Maka ekosistem seni baru bisa terbentuk karena infrastrukturnya sudah ada, apalagi bila ada akademisi, juga kritikus, dan konsumennya.
Ada banyak hal yang harus dilalui untuk mencapai kestabilan ekosistem tersebut. Bram menyebut dirinya pernah dicap sebagai "pelacur seni" karena memperjual belikan barang-barang seni. Kemudian, sebelum akhirnya mampu menjual karya dengan harga yang mahal, di awal-awal ia justru menjual dengan harga yang "receh". Baru akhirnya, setelah konsumen telah mengenali kualitas karya-karya yang dijualnya, harganya bisa meningkat.
Bila dikaitkan dengan teater, maka cara membangun ekosistem tersebut adalah dengan membangun infrastruktur. Itu berarti, ada seorang mahasiswa seni yang sudah tamat, memiliki banyak jaringan, juga memiliki modal, maka ia berkorban dengan membangun ekosistemnya sendiri. Ia yang membangun infrastruktur, ia juga yang membangun grup, kemudian ia juga yang membina penonton. Diawali dengan harga tiket yang murah, bahkan mungkin gratis. Sampai akhirnya, ketika konsumen sudah menjadikan karya-karya tersebut sebagai "gaya hidup", barulah ekosistem yang besar bisa terlaksana dan menjamin setiap seniman dan karya-karyanya.
Menanggapi pernyataan Bram, Edi Susanto (dosen IKJ) berpendapat bahwa inilah yang diharapkan seni Indonesia dari para alumnus jurusan seni. Bisa dikatakan, ada yang akan menjadi sutradara, aktor, dramaturg, penata artistik, penata lampu, dan sebagainya. Tapi, juga akan lahir manajer grup teater, pimpinan produksi, dan sebagainya yang mampu mengendalikan arus dalam ekosistem seni tersebut.
Sedangkan Din Saadudin (dosen IKJ) menyatakan bahwa dalam hal ini pemerintah harus ikut campur. Jadinya, yang harus berkorban dalam hal ini tidak hanya para senimannya. Tapi, pemerintah dengan berbagai kebijakan dan pembangunan tertentu. Sebab, apabila ekosistem tersebut memang maju dan berkembang, seperti industri lainnya, maka negara justru yang akan diuntungkan.
Dari obrolan tersebut, tentunya bisa ditarik kesimpulan bahwa industri dalam teater bisa sangat mungkin terjadi apabila ekosistem seni terbangun. Dan untuk membangun ekosistem seni tersebut, dibutuhkan pengorbanan, baik dari seniman maupun dari pemerintahnya. Tentunya, kerjasama dan dialog dibutuhkan agar pembangunan tersebut memang tepat sasaran.