Bias Modernitas dalam Menilai Karya Seni Masa Prasejarah -->
close
Adhyra Irianto
06 April 2021, 4/06/2021 02:30:00 AM WIB
Terbaru 2021-04-05T19:30:00Z
SeniUlasan

Bias Modernitas dalam Menilai Karya Seni Masa Prasejarah

Advertisement



pojokseni.com - Suatu hari di televisi swasta Indonesia, sebuah film yang dibuat pada tahun 1971 diputar kembali. Seorang mahasiswa jurusan perfileman menyatakan bahwa film itu jelek sekali. Baik dari segi sinematografi, penyutradaraan, hingga seni berperan. Dalam hal ini, sang mahasiswa sudah melakukan sebuah penilaian yang subjektif, namun mengalami sebuah sesat pikir (logical falacy). Pasalnya, ia menilai sebuah karya seni di masa lampau dengan perspektif modern. Hal itulah yang dikemukakan dalam judul, sebuah kesalahan karena bias modernitas.


Ternyata, bias modernitas sudah terjadi sejak dulu. Seperti dipaparkan oleh Martin Suryajaya dalam Sejarah Estetika, bahwa para pakar sejarah di abad modern dengan tegas menyatakan bahwa karya seni yang pertama di dunia adalah lukisan yang ada di gua. Pertanyaannya, kenapa lukisan yang menjadi karya seni pertama? Karena perspektif yang digunakan adalah perspektif modern.


Abad ke-19, sudah jelas dan tegas diberi batas antara seni murni dengan seni terapan. Maka benda-benda yang termasuk dalam seni terapan, seperti pedang misalnya, bukan termasuk dalam seni murni. Maka pedang tidak disebutkan sebagai benda seni, meski dibuat oleh seniman pembuat pedang. Namun, apakah distingsi yang baru dimulai abad ke-19 itu bisa digunakan untuk menilai yang mana karya seni dan yang mana bukan karya seni untuk manusia purba? Apa benar manusia purba sudah tahu mana yang seni murni (lukisan di goa misalnya) dan seni terapan (kapak perimbas misalnya).


Abad ke-19 itu, RG Colliwood memberi batas yang tegas mana yang termasuk barang seni (art) dan barang kerajinan (craft). Art bukan craft, begitu pula sebaliknya. Maka muncul dikotomi antara seni murni dengan seni terapan sejak saat itu. Tepatnya, perumusan tersebut dilakukan pada tahun 1938. Perumusan tersebut tentunya dilakukan untuk melindungi otensititas karya seni dibandingkan dengan karya kerajinan. Itulah kenapa kerajinan akan berbasis kegunaan, dan pembuatannya berdasarkan aturan tertentu dalam produksi suatu barang. Sedangkan karya seni tidak berbasis kegunaan, dan pembuatannya berdasarkan imaji dan gelora ekspresi jiwa manusia.


Pertanyaannya, apakah hal tersebut berlaku pada manusia purba? Apakah benar hanya lukisan di goa, tarian-tarian ketika hujan, semacam ritual upacara pemujaan pada petir, dan setipenya yang dikategorikan sebagai "seni". Sedangkan kapak batu yang mereka buat itu tidak termasuk karya seni?


Dengan bias modernitas, kita menganggap bahwa seorang manusia purba yang melukis gua dengan cap tangan, atau mungkin seekor banteng yang hari ini mereka dapatkan untuk makan sebulan, justru tampak seperti Leonardo da Vinci yang sedang melukis di atas kanvas. Atau, dipostulasikan sebagai Michelangelo yang sedang melukis dinding kapel Sistine. Apakah mereka memang sedang memperindah tempat tinggal mereka?


Atau, mereka justru melakukan aktivitas yang sebenarnya di zaman sekarang bukan termasuk aktivitas "seni". Menulis buku diary, atau malah menulis status di sosial media misalnya. Bayangkan bila Anda mendapatkan rezeki yang cukup untuk makan satu bulan di hari ini, apa yang akan Anda lakukan? Melukis segepok uang di dinding rumah? Tidak, kemungkinan hanyalah Anda akan menuliskannya di buku diari. Apakah tulisan tersebut termasuk "karya seni"?


Maka bila dilihat dari kacamata modern, berarti tidak ada satupun karya seni yang dibuat oleh manusia prasejarah. Semua yang dilakukannya memiliki kegunaan sendiri-sendiri. Karena itu, sensibilitas modern bahwa karya seni adalah "benda yang tidak memiliki fungsi, kecuali keindahan" tentunya tidak bisa diberlakukan bagi manusia prasejarah.


Karena itulah, benda-benda artefak purbakala adalah karya seni dengan perspektif purbakala. Apapun yang mereka buat, adalah sebuah pencapaian pertama. Belum ada benda yang menjadi contoh sebelumnya, mereka murni membuat sebuah karya yang berdasarkan imaji, ide, pikiran, dan perasaan mereka sendiri. Apakah benar itu "perspektif estetis purbakala", mungkin iya, mungkin juga tidak. Kita mendapatkannya dari pengandaian. Toh, filsafat memang bergerak dengan landasan yang abstrak, bukan?


Namun pengandaian tidak boleh juga tidak berdasar bukti. Untuk mencoba melihat bagaimana peradaban manusia zaman prasejarah, maka beberapa tokoh mencoba mencari peradaban yang masih terkungkung dan murni. Misalnya, suku Piaroa yang berada di dalam hutan Amazon. Suku ini masih cukup asri sebagaimana mereka terdahulu, tanpa banyak tersentuh modernitas. Bagi suku ini, tidak ada karya seni atau keindahan apabila benda itu tidak memiliki kegunaan. Maka karya seni bagi mereka tergantung pula dengan kegunaannya. Topi, senjata perang, pakaian, kalung, dan sebagainya merupakan deretan karya seni yang memiliki kegunaan. Tidak hanya barang, bahkan orang sekalipun selama mereka memiliki kegunaan bagi suku, maka mereka akan menjadi "indah".


Lalu, bagaimana dengan estetika prasejarah? Coba lihat batu berbentuk bilah kerucut yang disebut prismatic blade. Dengan peralatan seadanya, orang-orang prasejarah telah menemukan teknik khusus untuk membuat batu besar yang dipecahkan menjadi berbentuk kerucut dan tajam, di era Paleolitik Tinggi. Sedangkan di  era Paleolitik akhir, manusia purba mulai menemukan kuali, kapak, pisau, dan perkakas lainnya. Bila kita mencoba melihatnya dengan kacamata prasejarah pula, saat itu kita mencoba menyadari bahwa ada banyak hal yang indah dan fungsional sekaligus diciptakan oleh manusia prasejarah. Sampai akhirnya, bentuknya semakin indah, dan semakin rumit pula cara pembuatannya. Memasuki era neolitik, ada tungku yang berhasil dibuat dengan bentuk yang indah, sekaligus fungsional.


Maka dari itu, setiap karya seni harus indah. Namun, seperti apa itu keindahan? Bila sebelumnya Pojokseni telah mengulas "keindahan" dalam perspektif abad pertengahan, maka di atas ini sedikit diulas tentang "keindahan" dalam perspektif prasejarah. Salah satu kesalahan kita adalah sering anakronis. Kita tidak melihat suatu karya seni dalam situasi dan waktunya. Karya artifak peninggalan purbakala, tentunya tidak akan pernah menjadi karya seni bila kita melihatnya dalam perspektif abad ke-19, atau mungkin dengan pendekatan modern.

Ads