Advertisement
Pojokseni.com - Dalam artikel sebelumnya, PojokSeni pernah mengulas tentang 3 macam karya seni, antara lain seni estetis, seni hiburan, dan seni terapan. Ketiganya punya pasar yang berbeda, meski harus diakui bahwa ketiganya sama-sama memiliki pasar, alias konsumen. Konsumen dalam konteks ini diartikan sebagai orang yang membeli, menikmati, menyelami, dan mengapresiasi sebuah karya seni. Selanjutnya, masih pada tulisan ini, konsumen ini kita sebut saja sebagai "konsumen seni".
Konsumen seni, bila ditilik dari asal-usul ideologis kebutuhannya, ternyata dimulai dari sebuah asumsi bahwa karya seni memiliki "sesuatu" yang jauh lebih menarik, mengilhami, menginspirasi, dan mampu menyublim dengan dirinya, bila dibandingkan hal-hal lainnya (non seni). Maka dengan konsep ketertarikan yang serba abstrak dan subjektif tersebut, nyatalah bahwa yang dilihat oleh konsumen seni adalah "tanda".
Sebelumnya, PojokSeni juga menulis dengan tajuk "Estetika Komoditas dalam Seni". Intinya, ada nilai-nilai tertentu dalam karya seni, salah satunya nilai tanda. Nilai tanda adalah komoditas yang menjadi penanda pembeda, katakanlah dengan komoditas yang lain.
Misalnya, saat ini irama musik yang folk, dengan suara vokal yang "unik-unik manja" menjadi ciri sebuah karya musik yang digemari anak-anak muda. Anak-anak muda konsumen musik jenis ini menyebutnya sebagai "musik indie" meski sebenarnya semua musik yang tidak dibuat oleh mayor label adalah indie. Namun, ada "tanda" yang berhasil lahir di kalangan mereka, bahwa musik yang mereka sebut "musik indie" ini adalah simbol dari perlawanan terhadap arus utama (mainstream). Nilai tanda sebagai "perlawanan" menjadikan musik yang satu ini memiliki pangsa pasar yang besar, yakni anak-anak muda yang "gemar melawan".
Selain nilai tanda, ada juga nilai guna. Nilai guna berarti kegunaan dari komoditas atau barang seni tersebut bagi konsumennya. Nilai guna yang dimaksud tidak melulu berlaku pada seni fungsional (seni terapan). Tapi, bisa juga berlaku untuk seni hiburan, pun seni estetis. Apabila konsumen merasa karya seni yang baru ia saksikan, atau ia beli itu memiliki kegunaan baik secara lahiriah maupun batiniah, maka komoditas tersebut dianggap bernilai guna.
Berikutnya, ada nilai tukar. Tentunya, konsumen yang membeli produk seni dengan mempertimbangkan nilai tukar, adalah konsumen yang melihat seni dalam kacamata ekonomisme. Nilai tukar diartikan sebagai kemampuan karya seni tersebut untuk memiliki nilai yang lebih tinggi bila ditukarkan dengan benda lainnya. Maka dari itu, pembelian karya seni yang "bernilai tukar" biasanya dimanfaatkan untuk investasi.
Terakhir, ada nilai simbolik. Nilai simbolik berkaitan dengan status dari karya seni tersebut. Ada banyak hal yang memengaruhinya, mulai dari siapa senimannya, kapan waktu pembuatannya, bagaimana prosesnya, dan lain-lain. Buku Pramoedya misalnya, memiliki nilai simbolik yang tinggi. Sebab, selain dibuat oleh seorang "Pramoedya" (yang dinilai punya status tinggi), karya tersebut juga dibuat ketika beliau dalam pengasingan di Pulau Buru. Hasilnya, karyanya memiliki nilai simbolik yang lebih tinggi, misalnya bila dibandingkan dengan karya Tere Liye.
Keempat nilai tersebut tentunya bila dilihat dengan perspektif "produk" dan dari kacamata konsumennya. Tentunya, nilai tersebut bisa dikatakan tidak berlaku bila suatu produk seni dilihat oleh estetikawan, atau oleh kritikus misalnya. Meski demikian, sangat besar kemungkinan keempat nilai tersebut memberikan pengaruh pada penilaian kualitas sebuah karya seni.
Dalam buku "Pour une Critique de 'economie politique du signe" karya Jean Baudrillard disebutkan keempat nilai tersebut sangat berpengaruh pada pemberian harga pada suatu "produk" kesenian. Pandangan Jean Baudrillard yang memengaruhi cara kekinian untuk menakar berapa harga suatu karya seni. Maka lelang lukisan misalnya, akan memperhatikan keempat nilai yang sudah disebutkan di atas.
Dengan demikian, pemikiran era romantik bahwa karya seni "dinikmati secara estetis tanpa pamrih" sudah tidak berlaku lagi, khususnya di era industrilisasi dewasa ini. Meski demikian, Baudrillard tampak seperti menggiring penilaian atau penaksiran harga suatu karya seni berdasarkan ideologi kebutuhan. Tanpa ada kemungkinan bahwa seni merupakan "kebutuhan alamiah" manusia, sebagaimana dipaparkan oleh para filsuf Yunani antik.
Alhasil, semua produk seni direduksi menjadi "produk industri" dan tidak berpondasi pada kebutuhan alamiah peradaban terhadap seni. Seni yang awalnya punya kemampuan untuk mengoreksi, mengkritisi, dan (bahkan) mengubah tatanan dan sistem namun pada masyarakat kontemporer justru seni itu juga harus tunduk pada sistem dan tatanan yang berlaku tersebut.