Apa Itu Pengetahuan Filsafat dan Pengertiannya: Sebuah Pengantar -->
close
Pojok Seni
22 April 2021, 4/22/2021 02:20:00 AM WIB
Terbaru 2021-04-21T19:20:34Z
ArtikelMusik

Apa Itu Pengetahuan Filsafat dan Pengertiannya: Sebuah Pengantar

Advertisement

Pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Filsafat membahas segala hal dengan kritis sehingga dapat diketahui secara mendalam tentang apa yang sedang dikaji.Menurut Drs. Sidi Gazalba dalam bukunya yang berjudul “Sistematika Filsafat” yang dikutip oleh Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai.


Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses usaha dari manusia untuk tahu.Menurut Jujun S. Suriasumantri yang dikutip oleh A. Susanto dalam bukunya “filsafat ilmu” pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama.


Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontologis ( teori tentang apa). 


Pengertian filsafat selanjutnya bahwa filsafat jenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu. ﴾Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat, 1971 : 11﴿.


Seharusnya ada dua teori untuk dapat mengetahui hakikat dari sebuah pengetahuan. Yaitu teori Realisme dan idealisme.Teori realisme mengatakan bahwa pengetahuan adalah kebenaran yang sesuai dengan fakta. Apa yang ada dalam fakta itu dapat dikatakan benar. Dengan teori ini dapat diketahui bahwa kebenaran obyektif juga dibutuhkan, bukan hanya mengakui kebenaran subjektif. Teori idealisme memiliki perbedaan pendapat dengan realisme. Pada teori ini dijelaskan bahwa pengetahuan itu bersifat subyektif. Oleh karena itu pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran, yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui. 


Ciri-ciri Pengetahuan Filsafat


Penjelasan sebelumnya dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang memiliki ciri ciri tertentu serta cara (metode) bagaimana memperoleh dan membuktikan kebenarannya. Beerling (1986) mengemukakan beberapa ciri ilmu pengetahuan: pertama,anggapan bahwa pengetahuan berlaku umum; kedua,ilmu pengetahuan mempunyai kedudukan mandiri (otonomi) dalam mengembangkan norma-norma ilmiah;ketiga,pengetahuan ilmiah mempunyai dasar pembenaran (misalnya: verifikasi,dan falsifikasi);keempat,pengetahuan ilmiah bersifat sistematik; dan kelima, pengetahuan ilmiah bersifat objektif (intersubjektif) (Beerling, 1986:4-8).


 Sedangkan Van Mesen mengemukakan ciri-ciri pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan) yaitu metodis (memiliki pembenaran logis dan koheren) sebagai dasar pembenaran (justifikasi) teorinya,memiliki sistem (sistematis),universitas (berlaku dimana saja),objektif/intersubjektif,progresif(dinamis,teori,bersifat tentatif),dapat digunakan (ada kaitan antara teori dengan praktik) dan tanpa pamrih (prinsip ilmu demi ilmu).


Adapun ciri-ciri pengetahuan menurut Robert Merton,seorang sosiologi (terkait metode ilmiah) mengemukakan mencakup lima nilai dasar: 


  1. “universalisme”
  2. “komunisme”
  3. “ketanpa-pamrih-an”
  4. “skeptisisme” 
  5. “terorganisir”

(Chadwick Bruce A., Howard M.Bahrstan L. Albrecht, metode ilmu penelitian sosial. Terjemahan Dr.Sulistia,ML,Dkk,Semarang: IKIP Semarang press, 1991:13).


Universalisme mengacu pada suatu pemikiran bahwa kebenaran ilmu pengetahuan melampaui batas-batas individu, ruang dan waktu atau tempat penemuan teori itu. Kebenaran ilmiah dianggap relevan dan dapat diterapkan dalam konteks yang universal. Universalisme disini dimaksudkan sebagai kewajiban ilmuwan untuk mengomunikasikan hasil temuannya kepada orang lain dan bagi mereka yang berminat pada umumnya, sehingga temuan ilmiah bukan milik perorangan, organisasi, universitas atau lembaga ilmiah/penelitian tetapi menjadi milik bersama. Tanpa pamrih mengacu pada pencarian pengetahuan ilmiah demi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan demi kelahiran, uang dan jabatan atau keuntungan pribadi. Skeptisisme dan terorganisir adalah sebagai sikap yang harus dimiliki ilmuwan dengan tidak menerima begitu saja temuan orang lain, tapi menerimanya dengan kritis, dengan melakukan tes ulang (verifikasi, falsifikasi).


Ciri-ciri ilmiah pengetahuan yang dikemukakan diatas, lebih tepat untuk ciri ilmu pengetahuan yang empiris-eksperimental (positivisme), sedangkan untuk masa sekarang ini tokoh post-positivisme, tidak menerima semua ciri diatas, bahkan teori kritis dan postmodernisme menolak sebagian besar ciri ilmiah (modern) itu. Misalnya Ciri ilmu pengetahuan yang berlaku universal, khususnya untuk ilmu-ilmu sosial, budaya dan humaniora kini kurang diterima. Alasannya fakta pada fenomena sosial-budaya tidak selalu sama untuk setiap waktu dan tempat, Jika fenomena alam bersifat universal (kesemestaan fenomena alam), maka fenomena sosial -budaya amat terkait dengan konteks sosial.


Cara Mengembangkan Filsafat Ilmu


Mengalami perkembangan melalui 3 zaman dan ada yang mengatakan empat zaman yaitu dimulai zaman purba yaitu zaman prasejarah dan jaman sejarah, pada masa ini ilmu memulai perkembangannya sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa ahli filsafat dari yunani seperti Aristoteles, Demokritos. Pada zaman prasejarah ini sekitar 20.000 tahun atau 10.000 tahun sebelum Masehi.


Pada masa ini yang berkembang bukan pengetahuan ilmiah pada masa perkembangan pengetahuan ditandai dengan pengetahuan apa dan bagaimana yang diperoleh manusia melalui kemampuan mengamati, membeda-bedakan, memilih dan melakukan percobaan berdasarkan prinsip trial and error. Kemudian zaman sejarah kira-kira 15.000 tahun sampai 600 tahun sebelum masehi kemajuan yang bersifat khusus pada masa ini tentang ilmu ialah kemampuan membaca, menulis dan berhitung.


Dengan dikuasainya kemampuan membaca dan menulis, berkembanglah kebiasaan untuk melakukan pencatatan informasi dan pengumpulan data secara sistematis sehingga akumulasi pengetahuan dan pengalaman mulai memasuki babaknya yang lebih teratur dan murni. Pada abad pertengahan kira-kira tahun 500 M sampai tahun setelah 1500 M. Dimulai dengan mengambil patokan beberapa kejadian di Eropa, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang sosial budaya, seperti penemuan alat cetak.


Pada masa ini terjadi pertukaran atau penerjemahan bahasa dari Yunani ke Arab. Kemudian memperluas pandangan terhadap timbulnya ilmu pasti, astronomi, fisika dan dalam bidang kedokteran, biologi, farmasi dan ilmu kimia (Mardianto dan Al Rasyidin, Filsafat Ilmu, 2012, 73-74). Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan utamanya.


Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan, berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan kloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet.


Belum lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology, dalam bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa. Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini sehingga filsafat ilmu dikatakan sebagai akar dari sebuah ilmu.


Tulisan ini ditulis oleh: 


  • Siti Kholijah Batu Bara
  • Sudarlina
  • Sintia Sari
  • Fadilla Husna


Mahasiswa Institut Agama Islam Daar Al Ulum Asahan Kisaran

Ads