Advertisement
Oleh: Hafez Gumay – Manajer Advokasi Koalisi Seni
Pada 30 Maret 2021, akhirnya Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik yang merupakan amanat Pasal 35 ayat (3) dari UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
PP tersebut datang sangat terlambat, nyaris tujuh tahun setelah UU Hak Cipta ditetapkan. Padahal, peraturan pelaksanaan sebuah UU seharusnya rampung paling lambat dua tahun setelah UU tersebut mulai berlaku. Fenomena menyedihkan ini sayangnya lumrah dalam sistem hukum Indonesia. Lihat saja UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dan UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang hingga kini juga masih belum lengkap peraturan pelaksanaannya.
Di luar masalah keterlambatan, terbitnya PP Pengelolaan Royalti Lagu dan Musik ini membawa angin segar bagi para pencipta lagu di Indonesia. Sebab, kini dasar hukum pemungutan dan pembagian royalti jadi lebih kuat. Sebelumnya, baru ada Peraturan Menteri serta Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang mengatur pengangkatan komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), pendirian Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), serta besaran tarif royalti.
Karena PP ini belum genap sebulan diterbitkan, pemerintah belum sempat memberikan sosialisasi maksud dan tafsiran berbagai materi muatan yang terkandung di dalamnya. Namun, analisis awal Koalisi Seni menemukan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pemangku kepentingan agar implementasi PP Pengelolaan Royalti Lagu bermanfaat bagi ekosistem musik Indonesia.
Pertama, mengenai ruang lingkup kegiatan yang wajib membayar royalti. Pasal 2 mengatur ruang lingkup kegiatan yang wajib membayar royalti meliputi pertunjukan, pengumuman, dan komunikasi ciptaan dengan tujuan komersial yang dilakukan secara analog maupun digital. Pertunjukan ciptaan adalah ketika seseorang membawakan lagu atau musik orang lain. Pengumuman ciptaan ialah saat seseorang memainkan dan memutarkan lagu atau musik orang lain. Komunikasi ciptaan artinya ketika seseorang mentransmisikan rekaman lagu atau musik maupun rekaman pertunjukannya kepada publik. Dengan kata lain, PP Pengelolaan Royalti Lagu tidak hanya mengatur kewajiban royalti dari pertunjukan musik karya orang lain, namun termasuk juga pemutaran rekaman lagu hingga siaran rekaman pertunjukan musik melalui berbagai medium, termasuk internet.
Walaupun Pasal 3 hanya mengatur bentuk kegiatan komersial konvensional seperti konser musik, hotel, restoran, kafe, karaoke, televisi, serta radio tanpa menyebut layanan konten digital semisal Spotify dan Youtube; tak tertutup kemungkinan pada masa mendatang sebuah Peraturan Menteri memasukkan layanan konten digital sebagai kegiatan komersial yang wajib membayar royalti. Seluruh pemangku kepentingan ekosistem musik punya tugas mengadvokasi penyusunan Peraturan Menteri tersebut agar para pencipta lagu di Indonesia tidak menjadi korban eksploitasi perusahaan penyedia konten digital.
Kedua, soal pembentukan basis data lagu dan musik nasional sebagai acuan pemungutan dan pendistribusian royalti. Selama ini tantangan terbesar penegakan hak cipta di sektor musik adalah ketiadaan basis data acuan pemungutan dan penyaluran royalti. Belum seluruh pencipta lagu di Indonesia mencatatkan karyanya di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Walaupun perlindungan hak cipta otomatis berlaku ketika sebuah karya diterbitkan tanpa harus dicatatkan terlebih dahulu, pencatatan karya di Kemenkumham tentu akan mempermudah pencipta lagu jika tersangkut sengketa royalti. Maka Pasal 4 hingga Pasal 7 memerintahkan Kemenkumham menyelenggarakan layanan pencatatan karya. Data dari layanan itu kemudian dimasukkan ke dalam pusat data lagu dan/atau musik yang terus diperbarui.
Lebih lanjut, Indonesia belum memiliki sistem yang dapat mendeteksi dan menghitung penggunaan lagu dan musik secara komersial. Sistem ini mutlak diperlukan guna menjamin pembagian royalti kepada para pencipta lagu berjalan adil. Selama ini penentuan besaran pembagian royalti untuk pencipta lagu tidak pernah jelas karena data jumlah penggunaan lagu dan musik belum transparan. Untuk menanggulangi masalah tersebut, PP ini mengamanatkan LMKN membangun Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik (SILM). SILM akan mencatat seluruh penggunaan lagu dan musik secara komersial di Indonesia. Catatan tersebut kemudian menjadi dasar penyaluran royalti kepada pencipta lagu. Harapannya, setelah SILM beroperasi, setiap pencipta lagu akan mendapatkan royalti sesuai dengan jumlah pemakaian lagu dan musik karya mereka, dengan bukti penghitungan yang transparan.
Pasal 22 memerintahkan Kemenkumham membangun pusat data serta LMKN untuk membangun SILM paling lambat dua tahun sejak PP diundangkan. Berkaca pada keterlambatan penerbitan PP Pengelolaan Royalti Lagu, seluruh pemangku kepentingan ekosistem musik harus terus menekan Kemenkumham dan LMKN agar segera merampungkan kewajibannya. Sebab, tanpa pusat data dan SILM, transparansi pemungutan dan pendistribusian royalti akan sulit terwujud.
Ketiga, pemungutan dan pendistribusian royalti pencipta lagu yang belum terdaftar sebagai anggota LMK. Pasal 12 mengatur pemungutan royalti tidak hanya dilakukan untuk penggunaan lagu dan musik milik pencipta lagu yang telah terdaftar sebagai anggota LMK. Karya para pencipta lagu yang belum tergabung ke dalam LMK pun akan dipungut royaltinya oleh LMKN. Tentu ini menimbulkan pertanyaan. Bagaimana nasib hasil pemungutan royalti pencipta lagu yang belum terdaftar sebagai anggota LMK? Apakah tetap bisa diklaim oleh pencipta lagu?
Jawabannya ada di Pasal 15. Pasal tersebut mengatur LMKN wajib mengumumkan royalti terkumpul kepada publik agar diketahui para pencipta lagu yang belum tergabung ke dalam LMK. Apabila ingin mengklaim royalti tersebut, mereka harus mendaftarkan diri menjadi anggota LMK terlebih dahulu. Jika selama dua tahun sejak diumumkan ke publik hasil pemungutan royalti tidak diklaim oleh pencipta lagu yang bersangkutan, dana tersebut akan dimasukkan sebagai dana cadangan yang dapat digunakan oleh LMKN.
Ketentuan ini berpotensi mencederai hak para pencipta lagu yang belum bergabung dengan LMK. Pemerintah harus melakukan sosialisasi pentingnya menjadi anggota LMK bagi seluruh pencipta lagu di Indonesia serta menjamin kemudahan akses bagi mereka yang ingin mendaftarkan diri. Selain itu, LMKN juga dituntut memungut dan menyalurkan royalti para pencipta lagu yang tidak terdaftar di LMK secara transparan. Jangan sampai ada praktik jahat yang sengaja menutupi informasi royalti pencipta lagu bukan anggota LMK, agar royalti mereka menjadi dana cadangan untuk kepentingan sepihak LMKN.
Pemaparan di atas menunjukkan jalan menuju perlindungan hak cipta di bidang musik masih panjang hingga sampai ke kondisi “selamat”. Kita perlu upaya konsisten dari seluruh pemangku kepentingan ekosistem musik agar PP ini dapat diimplementasikan dengan baik.
Pada akhirnya, peraturan perihal hak cipta tidak akan dapat berjalan efektif apabila belum ada kesadaran dari masyarakat untuk menghargai karya para seniman. Mendiang Glenn Fredly selalu mengatakan ekosistem musik berawal dari sebuah lagu. Maka jaminan perlindungan hak cipta bagi para pencipta lagu adalah syarat mutlak mewujudkan ekosistem musik Indonesia yang lebih baik.
Jangan pernah menganggap kewajiban membayar royalti sebagai bentuk keserakahan musisi. Tanpa musik dan lagu yang mereka ciptakan, hidup kita akan terasa begitu sunyi. Royalti adalah hak yang pantas musisi dapatkan atas jasa mereka menginspirasi kita semua dengan karyanya, serta bentuk apresiasi kita atas pencapaian artistik sesama manusia. Sudah waktunya kita memberi penghargaan bagi seni yang menghidupkan kita.
Tentang Koalisi Seni Indonesia
Koalisi Seni adalah perhimpunan dengan tujuan mendorong kebijakan publik yang mendukung terwujudnya kebebasan berkesenian demi ekosistem seni lebih sehat. Untuk mencapai tujuannya, Koalisi Seni melakukan advokasi kebijakan dalam bidang seni, mendorong terwujudnya dana abadi kesenian, serta memperkuat pengelolaan pengetahuan dan jaringan antara anggota organisasi.
Koalisi Seni menjembatani beragam pemangku kepentingan dalam advokasi kebijakan untuk memajukan ekosistem seni. Koalisi Seni telah berhasil mendorong disahkannya UU Pemajuan Kebudayaan, turut mengadvokasi RUU Permusikan, menyusun riset tentang kebebasan berkesenian, dan ikut menjaring aspirasi pegiat ekosistem seni untuk Strategi Kebudayaan Nasional pertama di Indonesia. Koalisi Seni juga sudah menggolkan konsep dana perwalian kebudayaan sehingga pemerintah pada 2020 berkomitmen mengalokasikan Rp1 triliun per tahun.
Anggota Koalisi Seni berkontribusi memperbaiki ekosistem seninya masing-masing, serta bekerja mengarusutamakan seni sebagai aset besar Indonesia. Hingga Maret 2021, Koalisi Seni beranggotakan 285 lembaga dan individu yang tersebar di 21 provinsi.