Advertisement
PojokSeni.com - Sejak pandemi melanda dunia, termasuk Indonesia mulai dari Februari 2020 sampai saat ini (dan tidak ada tanda-tanda mau usai), semuanya dipindahkan ke internet. Sekolah, kuliah, seminar, workshop, konser, wisuda dan tentunya pementasan, semuanya pindah ke internet. Pindah dan tumpah ruah, sampai Anda bisa melihat ratusan pertunjukan teater, baca puisi, musik puisi, dramatic reading, dan sebagainya tinggal scroll-scroll mouse saja.
Teater virtual menjadi trend terkini. Sejumlah grup teater mulai berpikir untuk memindahkan pertunjukannya ke dunia maya, mungkin lewat YouTube, dan sebagainya. Tapi lagi-lagi sayang, seperti di banyak daerah di Indonesia, kualitas internet tak menjangkau seluruh tempat. Beberapa sumber justru mengatakan bahwa akses internet di Indonesia berada di peringkat bawah dari negara-negara di Asia Tenggara. Tidak semua wilayah di Indonesia terakses internet, padahal daerah itu "terakses teater".
Namun, beberapa hari terakhir ada berbagai pertunjukan yang digelar virtual. Penonton dipersilahkan masuk namun jumlahnya tidak boleh lebih dari 30 orang. Jadinya, penonton ke-31 sampai berikutnya harus menyaksikan via internet. Untuk itu, Pojokseni mencoba membandingkan penampilan yang ditonton oleh 30 orang itu (kebetulan Pojokseni berada di antaranya) serta menyaksikan dokumentasi pertunjukannya yang terekam video setelah menyaksikan pertunjukan tersebut.
Maka hasilnya adalah, jauh sekali pengalaman estetis yang didapatkan. Bila menyaksikan pertunjukan teater secara langsung itu mendapatkan angka 100 maka menyaksikan secara virtual atau daring itu hanya mendapatkan angka 20. Kurang lebih seperti itu jarak pertunjukannya. Bayangkan saja, sampai suara pemain yang merobek kertas di atas panggung mampu memberikan sebuah "getaran" di hati penonton. Namun, suara meja yang terbanting pun bila dilihat dari video dokumentasi pertunjukan masih belum begitu memberikan "getaran" yang dimaksud. Hubungan antara spektakel dan spektator seakan terpisah jurang yang panjang dan dalam.
Pengamatan berikutnya adalah, gambar yang jernih harus didapatkan dari kamera terbaik. Maka kamera yang digunakan untuk hasil terbaik adalah kamera televisi. Sedangkan pengambilan gambar agar bisa ditayangkan secara langsung rata-rata adalah smartphone. Yah, meski digadang-gadang punya kualitas kamera yang baik, tetap saja smartphone itu punya fungsi utama sebagai alat komunikasi. Bukan pembuat video. Kecuali, yah lagi-lagi, smartphone-nya memang seharga sepeda motor. Mungkin ceritanya lain.
Untuk kasus perbandingan di atas, kebetulan sekali video yang diambil menggunakan smartphone kelas menengah. Ada kamera profesional yang digunakan, tapi karena keterbatasan maka harus butuh proses tertentu untuk menayangkan video yang diambil. Dengan demikian, itu bukan pertunjukan langsung, tapi pemutaran dokumentasi pertunjukan.
Pengamatan selanjutnya dari segi audio gambar yang diambil. Seperti penjelasan sejumlah musisi, bahwa konser musik yang disiarkan secara langsung biasanya akan menggunakan alat yang bernama video switcher. Alat kecil yang bertujuan untuk mixing sekaligus mastering suara yang datang untuk diset menjadi "ramah telinga" bila didengarkan lewat gawai, ataupun televisi. Maka, pernahkah Anda mendengar rekaman suara satu grup musik sedang latihan, misalnya? Yah, bukankah suaranya cukup "berhamburan" bila tidak di-mixing terlebih dulu? Untuk pertunjukan langsung (live) maka proses mixing tersebut juga harus langsung, itulah kenapa video switcher tersebut dibutuhkan.
Sialnya, video switcher itu bukan barang murah. Bahkan tidak seluruh televisi di Indonesia memilikinya. Karena itu, lebih banyak yang memilih memutarkan rekaman video, ketimbang konser langsung. Kalaupun akhirnya mengumpulkan uang dan bisa membeli video switcher tersebut, nah operatornya juga tidak sembarangan. Harus sudah ahli agar hasil mixing yang dilakukan secepat kilat tersebut mampu berjalan dengan baik.
Kalau Anda bertanya, kenapa acara-acara di televisi swasta yang kerap ada pertunjukan band misalnya, malah lipsyinc? Alasannya adalah mungkin ketiadaan alat yang disebut di atas.
Kembali ke pertunjukan teater virtual, ternyata ketiadaan alat tersebut membuat audio yang hadir jelas tidak sempurna. Kalau tidak mau dikatakan "menyiksa telinga" pendengarnya. Maka pengalaman menonton saat streaming akan sangat terlalu jauh berbeda dengan pengalaman ketika menyaksikan secara langsung. Pertunjukan yang bagus, malah bisa jadi jelek karena itu.
Alat-alat yang diperlukan untuk menunjang pertunjukan teater virtual tersebut, rasanya sangat sulit untuk dimiliki oleh grup teater. Mungkin ada beberapa grup teater yang punya budget tidak terbatas bisa memilikinya. Kalau tidak? Jelas, pilihan yang pas adalah memutar dokumentasi pertunjukan. Pertunjukannya digelar langsung dan direkam dengan kamera terbaik, serta diletakkan semacam recorder untuk audio di atas panggung. Kemudian, video akan melewati proses editing, sedangkan audionya akan melewati proses mastering terlebih dulu. Setelah sudah benar-benar sempurna, baru ditayangkan.
Penayangan teater virtual jadi tampak seperti sebuah omong kosong saja. Karena pilihan terbaik memang bukan pertunjukan teater virtual secara langsung, tapi penayangan dokumentasi pertunjukan.
Masalah berikutnya hadir di sinyal internet. Ada banyak masalah yang hadir apabila si penayang tidak ditunjang dengan kecepatan internet yang stabil. Juga masalah didapatkan ketika si penonton tidak memiliki kecepatan internet yang stabil. Maka pertunjukan virtual itu akan terpotong dengan "buffering" atau malah ada yang seperti ter-skip sehingga pertunjukan tidak bisa disaksikan secara langkap. Salah satu kasusnya didapatkan ketika PojokSeni mencoba menyaksikan pertunjukan virtual live dari Komunitas Seni Nan Tumpah. Masalah sinyal internet menjadikan pertunjukan tersebut terpotong hingga 15 menit. Termasuk 5 menit endingnya!
Itu bukan masalah yang terakhir, yah berikutnya darimana grup teater mendapatkan uang untuk mengembalikan dana produksinya? Jual tiket daring. Waduh? Yah, satu tiket bisa digunakan oleh satu pleton manusia untuk nonton bareng. Misalnya, bila biasanya satu grup teater akan dapat 100 penonton yang berarti 100 tiket. Maka ketika ditayangkan daring, satu grup teater tersebut hanya mampu menjual 20 - 30 tiket saja, meskipun jumlah penontonnya sama. Yah, 1 tiket bisa sampai 20 orang yang nonton, bukan?
Padahal, dana yang dihabiskan untuk artistik tetap sama seperti ketika pentas biasanya. Bedanya, ditambah lagi dengan sewa jasa videografer, pemusik dan sewa alat-alat agar bisa tayang secara daring. Namun, pemasukan dari tiket justru jauh lebih kecil. Apakah harus pakai kalimat ajaib yang selama ini terus membunuh seniman satu persatu ini: "Iklaslah dalam berproses seni, terpenting jangan berhenti berproses".
Cara satu-satunya adalah menggelar pertunjukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Satu gedung misalnya maksimal menampung sekitar 500 penonton, maka juallah hanya 150 tiket saja. Beri jarak, pastikan tetap bermasker, juga pastikan ada tempat cuci tangan atau handsanitizer di depan pintu masuk. Petugas yang tergabung dalam Satgas Covid tentunya bersedia membantu untuk melakukan pengecekan suhu tubuh dan sebagainya bila dimintai pertolongan dengan surat resmi dari grup teater. Bila mereka tidak mau bantu, kirimkan surat itu ke Presiden.
Gelar pertunjukan dua kali lipat, misalnya Anda biasa menggelar dua hari (Sabtu dan Minggu) maka lakukan pertunjukan selama 4 hari. Jangan lupa, tekan biaya produksi serendah-rendahnya. Pemerintah yang memiliki gedung pertunjukan seperti yang ada di Taman Budaya misalnya, harus sadar diri untuk menggratiskan sewa gedung selama Pandemi Covid-19 ini masih ada.
Cara lainnya adalah grup teater kembali meningkatkan intesitas latihannya, mempersiapkan garapan dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Sedangkan pemerintah, bekerja dengan baik untuk mengatasi pandemi ini agar cepat selesai. Darimana pemasukan seniman kalau tidak pentas? Terserah pemerintah itu mau lakukan apa, mau berikan bantuan kek, subsidi, atau beri program pelatihan untuk anak sekolah oleh grup teater secara daring atau apalah namanya dan bentuknya. Sedangkan grup teater, mungkin mulai bisa mengandalkan sisi lain untuk tetap "bertahan hidup" semacam menerbitkan buku naskah drama, atau membuat buku modul latihan teater, atau kelas teater daring, atau malah minta sumbangan, atau apalah bentuknya dan namanya.
Atau, buat saja film pendek lalu unggah ke Youtube. Siapa tahu bisa dapat uang dari YouTube. Tapi yang jelas itu bukan pertunjukan teater, apa lagi teater virtual live.
Hentikan ide "memindahkan panggung ke layar virtual" yang terkesan omong kosong itu, juga hentikan pandemi ini secepatnya. Di kota besar mungkin pertunjukan virtual live bisa dilakukan maksimal meski masih jauh dari kata sempurna. Tapi di daerah, pertunjukan teater virtual live itu hanya semacam basa-basi bertajuk "obat rindu".
Vaksin sudah berjalan dan beredar ke mana-mana, juga pasien yang sembuh sudah cukup banyak untuk membentuk kekebalan komuniti, dan jangan jadikan pandemi ini sebagai proyek! Sebab, proyek itulah yang memperlama masa pandemi dan menambah banyak jumlah korban karena terjangkit penyakit ini.