Obskurantisme Seni: Tabir dan Kabut Romantisme dan Nostalgia -->
close
Pojok Seni
22 March 2021, 3/22/2021 02:32:00 AM WIB
Terbaru 2021-03-21T19:32:00Z
SeniUlasan

Obskurantisme Seni: Tabir dan Kabut Romantisme dan Nostalgia

Advertisement
Obskurantisme Seni


pojokseni.com - Istilah obskurantisme sebelumnya melekat pada bidang relijius. Obskurantisme diartikan sebagai proses penyajian informasi yang (sengaja) dikaburkan, dengan tujuan agar sukar dimengerti maksudnya. Dulunya, tindakan obskurantisme ditujukan agar pengetahuan tidak menyebar, ketika disebarkan akan menggunakan cara "disulit-sulitkan", "dianeh-anehkan", sekaligus "disukar-sukarkan" agar tidak menyebar dan terkesan tetap sulit dimengerti.


Titik paling awal adalah keita seorang pemikir humanisme Johann Reuchlin dengan tulisan yang satir mengkritik obskurantisme. Tujuan kritiknya adalah Johannes Pfefferkorn, seseorang dari Ordo Dominikan yang dengan cara-cara "yang sukar", meminta izin pada Kaisar Romawi Suci di tahun 1509, Maximilian I untuk membakar semua kitab Talmud Yahudi di Roma, dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Semua argumen Pffefferkorn sangat sulit dimengerti, sehingga tidak banyak yang mau bertanya, hanya takut saja pada ancaman "neraka" apabila tidak mengikuti permintaan Pffefferkorn.


Perlawanan terhadap obskurantis di bidang relijius semakin keras di abad ke-18 (pencerahan). Obskurantis dianggap sebagai musuh utama terhadap pencerahan intelektual, dan ilmu pengetahuan. Perlawanan terhadap obskurantisme juga dilakukan oleh Immanuel Kant dan Friedrich Nietzsche di abad ke-19. Menurut kedua filsuf fenomenal ini, obskurantisme hanya akan menggelapkan pemahaman manusia terhadap dunia, juga menggelapkan gagasan manusia terhadap eksistensi dirinya sendiri.


Di era baru ini, obskurantisme hadir kembali dalam bentuk masa bodoh intelektual. Kebanyakan orang hanya percaya pada satu hal, yakni apa yang telah diwariskan oleh leluhur, generasi sebelumnya, atau yang lebih "abstrak", seperti pertanda dari alam, bisikan, dan sebagainya. Banyak yang berpendapat bahwa obskurantisme ini masih begitu mendominasi di bidang agama. Sehingga kaum beragama begitu menganggap remeh apa itu ilmu pengetahuan, lalu merasa tetap tidak ada yang terjadi, meski sudah ketinggalan jauh dari bangsa lainnya.


Obskurantisme Seni


Sebagai premis pengantar; Indonesia semestinya adalah ibu bagi pertunjukan seni. Kenapa? Karena negara ini lahir dan tumbuh dengan semangat gotong royong. Bahkan, dulunya tidak banyak diferensiasi sosial antar manusia, sehingga kekuatan gotong royong dan kebersamaan memang berpengaruh banyak pada berkembangnya negeri ini.


Pertunjukan seni harusnya lahir dari rahim semangat gotong royong. Apalagi seni pertunjukan, yang memang semestinya lahir dari gotong royong. Itulah kenapa, teater tradisional banyak lahir di Indonesia. Pertama gotong royong, dan yang kedua adalah ritual atau upacara keagamaan.


Tapi, ketika capaian artistik di luar negeri sudah sedemikian mencengangkan, kenapa hal itu tidak terjadi di Indonesia? Bukankah ada banyak seni pertunjukan yang lahir di sini?


Jawabannya sebagian sudah disebutkan dalam artikel berjudul Kenapa Kebanyakan Seniman Miskin?


Intinya adalah romantisme masa lalu, alias nostalgia. Betapa negeri ini adalah negeri adidaya untuk seni budaya. Seni juga begitu luhur dan sudah lahir di sini, maka seharusnya orang-orang di dunia ini yang harus datang dan belajar tentang seni ke Indonesia. Dan ternyata, itu sudah dilakukan!


Di bidang teater misalnya, nama-nama tokoh teater dunia semacam Eugene Barba, Peter Brook, Tadashi Suzuki, sampai Robert Wilson datang ke negeri ini untuk mempelajari sesuatu. Yah, sesuatu yang akan menjadi akar dari sebuah karya seni yang luhur.


Mereka memelajari apa yang sebenarnya tidak lagi dipelajari oleh kita. Akar dari gerakan silat, naskah kuno yang terbengkalai, dan sebagainya. Lalu, mereka membuat mahakarya dari "akar" tersebut. Penyebabnya adalah, mereka mengedepankan etos ilmiah, bukan obskurantisme.


Ilmu manusia memang terbatas, tapi ilmu pengetahuan tidak terbatas. Itu yang sering disalahartikan. Keterbatasan manusia, dianggap sebagai keterbatasan ilmu pengetahuan. Karena terbalik, maka kita tidak sepakat untuk memelajari ilmu pengetahuan di dalam seni. Seni selalu menjadi karya yang naluriah, spontanitas, keluar dari alam bawah sadar, bahkan terkadang pakai mabuk terlebih dulu. 


Dengan menyadari bahwa yang terbatas itu adalah manusianya, maka kita punya tendensi untuk menembus keterbatasan tersebut. Menembus keterbatasan berarti melampaui diri sendiri. Siapa kita hari ini, seharusnya sangat berbeda dengan siapa kita esok hari, karena ada satu hal yang harus kita lampaui hari ini. Harus ada sesuatu yang baru kita pelajari hari ini. Tidak ada waktu bersantai, karena kita sudah jauh ketinggalan di trek lomba lari.


Apa yang bisa kita gunakan untuk menembus keterbatasan dan mengejar ketertinggalan? Yah, keberanian intelektual, yang ditunjang dengan kreativitas dan tentunya orisinalitas. Maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah, bangun dulu dari mimpi indah kita, lalu lihat apa yang terjadi, dengan cara menghapus dulu tabir dan kabut obskurantis.

Ads