Kenapa Kebanyakan Seniman Miskin? -->
close
Pojok Seni
15 March 2021, 3/15/2021 03:36:00 AM WIB
Terbaru 2021-03-14T20:36:59Z
ArtikelBerita

Kenapa Kebanyakan Seniman Miskin?

Advertisement
Kenapa Kebanyakan Seniman Miskin?

Pojokseni.com - Jejerkan anak-anak sekolahan, lalu tanyai cita-cita mereka satu persatu. Berapa anak yang akan menjawab ingin menjadi seniman? Yah, pekerjaan sebagai seniman adalah pekerjaan yang tidak banyak diimpikan anak di Indonesia. Alasan klasiknya adalah, tidak bisa jadi kaya raya.


Namun kalau kita melihat fakta, justru banyak seniman yang kaya raya. Lukisannya laku hingga ratusan juta rupiah per lukisan, atau ada yang menggelar pertunjukan dengan tiket seharga jutaan rupiah dan ludes. 


Ada seniman yang mengandalkan hibah dari institusi tertentu, ada pula seniman yang merogoh koceknya sendiri untuk berkarya. Terpenting, sebelum membahas terkait hal yang "sensitif" ini, kita bahas dulu tentang senimannya.


Seniman adalah orang yang pekerjaannya (profesi utama) adalah menghasilkan karya seni. Entah itu karya seni tari, teater, lukis, sastra, dan sebagainya. Karya seni, sebagai hasil dari tangan seniman ini setidaknya bisa kita bagi menjadi tiga jenis:


  • Objek estetis
  • Barang seni fungsional
  • Hiburan


Barang atau karya seni fungsional adalah produk seni yang memang ditujukan untuk fungsi tertentu (selain dinikmati keindahannya). Misalnya, seseorang yang membuat asbak rokok dari bahan kayu, kemudian diukir dan dicat hingga indah atau estetis. Namun kegunaan utamanya bukan sebagai "karya seni" melainkan fungsi lainnya.


Karya seni hiburan, adalah hasil atau produk seni yang ditujukan sebagai penghibur atau mungkin pelipur lara. Capaian utamanya memang bukan estetik atau artistik, juga pesan atau makna dari karya tersebut bukan hal utama. Tapi, bagaimana publik atau penikmatnya bisa terhibur. Lagu yang sedih membuat penikmatnya bisa merayakan kesedihan, drama yang sedih juga bisa membuat penikmatnya merayakan hal yang sama. Ciri khas karya seni yang satu ini adalah (biasanya) populer dan digandrungi banyak orang.


Nah, kembali ke judul kita tadi, maka seniman yang biasanya "tidak kaya" itu adalah seniman yang menghasilkan karya seni kategori pertama, objek estetis. Bahkan ada anekdot tentang seniman "jenis" ini. Bila ia kaya, maka ia akan sangat kaya, namun bila ia miskin, maka untuk makan sehari-hari pun susah.


Kacamata Kuda Kapitalisme


Bicara tentang kaya atau tidak kaya, maka mau tidak mau kita akan bicara tentang bisnis. Maka seni yang tadinya berada di ranah sosial, akan bergeser dan mendapatkan pengaruh industrialisasi, menjadi berada di ranah komersial. Seperti bagaimana dakwah misalnya yang dulunya berada di ranah sosial, namun sekarang bergeser ke ranah komersial. Jadinya, jangan terkejut kalau mendengar ada seorang pemuka agama yang punya kekayaan. 


Zaman modern dan canggih saat ini membuat semuanya bergeser ke ranah komersial. Sebelumnya, bolehlah kita berpendapat bahwa seniman (khususnya yang menciptakan "objek estetis" adalah seseorang yang bekerja di wilayah suprastruktur alias spritualitas. Maka, tidak bisa dikapitalisasikan dengan perspektif kapitalisme atau ekonomisme. Kekayaan seorang seniman tentunya berasal dari dalam, baik kekayaan pengalaman batin, maupun kekayaan sudut pandang. Maka substansi "seniman" sebagai profesi akan dipandang dalam perspektif lain, bukan sebagai "profesi ekonomis" seperti pengusaha, atau pegawai negeri.


Tapi malangnya, jumlah seniman terlalu sedikit dan peminatnya (yang mungkin) sebenarnya banyak itu beralih ke karya seni hiburan. Promosinya juga sedikit, serta dukungan dari ekosistem sekitarnya juga sedikit. Untuk "memperbanyak", jalan yang dipilih adalah menjadikan "seniman" sebagai "profesi ekonomis" sebagaimana pekerjaan lain yang punya gaji atau honor rutin. Itulah kenapa muncullah istilah "sertifikasi seniman" dan sebagainya.


Sedikit rancu memang, menjejerkan pekerjaan seniman dengan pekerjaan lainnya yang bisa menghasilkan banyak harta. Toh, banyak seniman yang menolak konsep "hidup bahagia itu banyak harta", bukan?


Masalahnya adalah, pergeseran nilai sosial menjadi komersial tadi. Dengan apa seniman akan dijajarkan? Dengan pemuka agama atau budayawan? Toh, mereka juga akhirnya banyak yang kaya. Lalu, seniman dan seni menjadi sebuah jalan sunyi sendirian. Banyak yang tak tahan dengan kesendirian dan kesunyian itu, memilih pindah haluan dan bergeser ke ranah komersial. Atau malah meninggalkan dunia seni itu.


Apakah seniman yang "pindah haluan" ke ranah komersial itu salah? Tentunya tidak, tapi juga tidak 100% benar. Kita anggap saja itu adalah salah satu cara para seniman untuk mencari peluang agar tetap mampu menapaki jalan "sunyi" ini. Meski pada akhirnya, kebanyakan seniman yang pindah haluan tersebut akan lupa bersyukur pada nikmat (atau bakat) yang diturunkan kepadanya. Sebuah nikmat yang sebenarnya begitu mulia, dan menjadi pemeluk peradaban dari segala kepalsuan dan fatamorgana yang semu dan klise. Menjadi penuntun ke post-truth, melampaui "truth". 


Namun, ada banyak hal lain juga yang membuat seniman menjadi miskin (dalam kacamata ekonomisme). Berikut ulasannya:


Apa Faktor yang Menjadikan Seniman Kaya?


Modal


Ini perbedaan utama namun bisa dibilang yang paling menentukan. Seorang seniman yang punya modal akan melaju lebih cepat ketimbang seniman yang tidak punya modal. Mirip seperti bisnis, bukan? 


Yah, bila Anda ingin menjadi seorang seniman sukses, maka persiapkan modal yang sebaik-baiknya. Modal materi itu tentunya, Anda bahkan bisa membuat gedung pertunjukan Anda sendiri bila punya modal, bukan? Juga sebaiknya sekolah seni di luar negeri, agar karir melesat jauh lebih cepat. Atau, sekolah seni di dalam negeri juga bisa membuat karir Anda melesat cepat. Terpenting, jangan tidak sekolah. 


Bagaimana dengan seniman yang tidak punya modal? Sayangnya, seniman yang masuk kategori ini jumlahnya justru lebih banyak ketimbang yang bermodal. Bandingkan lukisan yang dijual di sebuah galeri ternama dengan promosi yang baik, dengan lukisan yang dijual di pinggir jalan. Berapa selisih harganya? Cukup untuk membeli tanah satu kaplingan, loh.


Jaringan


Sebagaimana pebisnis, modal saja ternyata masih belum cukup. Anda akan sulit bersaing bila tidak punya jaringan. Maka jejaring itu sangat penting untuk menunjang karir Anda. Kadang-kadang, seniman yang bermodal besar namun tidak punya jaringan, masih besar kemungkinan gagalnya. Apalagi bila tidak punya modal dan tidak punya jaringan?


Seniman yang "elit" itu punya jaringan "elit" juga. Karena itu, jaringan "elit" akan bisa dengan mudah mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk selembar tiket. Seniman yang tidak elit, menjual tiket seharga Rp10 ribu saja masih kesulitan memenuhi gedung pertunjukan, bukan?


Kadang-kadang, seniman yang kelas atas itu juga malas gabung dengan seniman kelas "bawah". Yah, mungkin karena tidak "selevel". Jadinya, seniman kelas atas (ditunjang dengan kanonisasi oleh jaringan elitnya) akan tetap menjadi seniman kelas atas selamanya. Sedangkan yang kelas bawah, kalau tidak mendapatkan momentum untuk "menyeruduk" sekat pemisah itu, juga selamanya berada di kelas bawah.


Kualitas Karya


Ini jalan terakhir, meski untuk melabelkan karya seorang seniman menjadi "berkualitas" tentunya juga dibutuhkan modal dan jaringan. Sebagaimana pebisnis, kualitas produknya akan mendapatkan semacam labelisasi tertentu dari institusi terpercaya. Maka perusahaan yang besar, ketika mengeluarkan produk baru, akan langsung terlegitimasi sebagai produk "berkualitas".


Seniman begitu juga sebenarnya. Kalau dia sudah punya nama, mau dia buat apa juga akan ada label "berkualitas" dari otoritas tertentu. Ada seorang seniman yang membuat karya yang sebenarnya tidak bagus-bagus amat, maknanya juga tidak mendalam, bahkan lebih cocok masuk kategori "hiburan" ketimbang "objek estetis". Tapi, karena legitimasi dari "otoritas" maka karyanya masuk dalam jajaran karya terbaik se-antariksa.


Etos Kerja


Seniman itu bukan terlatih, tapi berlatih. Demikian kutipan terkenal yang sering kita dengar. Faktanya, seniman itu terlatih karena berlatih. Bagi seorang seniman, berlatih itu adalah salah satu dari rangkaian "pekerjaan". Yah, sebagaimana tentara yang setiap hari berlatih, bukan setiap hari berperang. 


Sejauh pantauan kita, coba lihat grup atau sanggar yang punya nama dan kredibilitas, berapa "jam kerjanya" dalam sehari, atau seminggu? Kalau grup atau sanggar tersebut hanya berlatih satu atau dua kali seminggu, atau bahkan hanya berlatih kalau mau ada pementasan saja, sampai kapan bisa mengejar ketertinggalan?


Sayangnya, kebanyakan orang menganggap seniman adalah orang-orang kurang kerjaan yang lebih banyak ngobrol-ngobrol kosong, sambil ngopi, atau malah ketawa-ketiwi. Faktanya, tidak seperti itu. Rata-rata seniman yang sukses itu menghabiskan nyaris setengah dari sehari (12 jam) untuk berlatih, berkarya, dan bekerja (mempersiapkan pentas dan sebagainya). 


Berlatih bisa berupa latihan dasar (training) atau bisa juga rehearsal. Bisa juga latihan fisik, atau latihan "otak" seperti meditasi, konsentrasi, membaca, berdiskusi, dan sebagainya. Kemudian, ketika punya ide, akan langsung menyusun kerangka atau konsepsi, lalu mulai berlatih lagi. Untuk karya teater misalnya, rata-rata minimal 3 bulan proses latihan (rehearsal) belum ditambah waktu latihan dasar. Bahkan ada garapan yang memakan waktu hingga 7 bulan, 1 tahun, dan sebagainya. 


Nah, dari ulasan di atas, apakah kita sudah bisa menjawab kenapa seniman banyak yang tidak kaya? Bisa jadi karena kurangnya modal, kita anggap saja nasibnya yang "apes". Bisa jadi karena kurangnya jaringan, termasuk dukungan dari berbagai pihak seperti pemerintah setempat, dan masyarakatnya. Atau, masalahnya datang dari kualitas karyanya yang kurang baik sehingga kurang mendapat apresiasi. 


Meski demikian, masih banyak juga penyebab lain yang membuat kenapa seniman Indonesia jarang ada yang kaya, apalagi yang ada di daerah. Penyebab terbesarnya adalah kurang hidupnya ekosistem seni di daerah tersebut. Ini mungkin masalah dominan yang sulit untuk dipecahkan tanpa kerjasama dengan berbagai pihak.


Seperti seorang pembuat es krim yang berjualan di kutub utara. Yah, sulit (bahkan mustahil) bisa jadi kaya, bukan? Karena ekosistem daerahnya memang tidak mendukung karyanya. Pojokseni banyak sekali menemukan seorang seniman yang mengorbankan dirinya untuk seni, dan dengan rela menjalani hidup dengan pendapatan yang sangat rendah. 


Maka muncullah pertanyaan, "Apakah seniman yang memperoleh pendapatan rendah mengorbankan diri mereka untuk seni, atau mereka sedang dikorbankan oleh sistem yang berpura-pura mendukung mereka?” 



Artikel ini sedikit banyak mendapat ide dari buku Hans Abbing berjudul Why are Artists Poor: The Exceptional Economy of the Arts.

Ads