Advertisement
pojokseni.com - Sebuah robot wanita yang awalnya dibuat hanya untuk berbicara, lalu akhirnya ia membuat sebuah lukisan. Yah, lukisan yang tidak biasa. Pertama, karena lukisan itu dilukis oleh robot. Kedua, karena lukisan itu terjual seharga Rp10 miliar dalam waktu beberapa menit setelah pelelangannya.
Tidak sampai 10 menit dan lukisan karya robot ini terjual Rp10 miliar. Industri 4.0 sebenarnya yang mengerikan itu telah datang. Pekerjaan semacam pegawai bank, kasir supermarket dan mall, sales, dan sebagainya akan siap untuk digantikan oleh robot. Otak manusia akan tergantikan oleh algoritma.
Katanya, algoritma akan sangat jujur. Tidak berbohong, tidak mencuri, juga tidak korupsi. Bukankah kita mendambakan dunia tanpa korupsi? Tapi, satu pekerjaan yang tidak bisa digantikan oleh artificial inteligent (AI) adalah kesenian.
Seniman, dengan paduan logika dan perasaan, tidak mampu digantikan oleh kecerdasan buatan sampai kapanpun. Tapi, seniman yang seperti apa?
Seni fungsional, katakanlah kriya, batik, dan setipenya sudah lama tergantikan oleh mesin. Mungkin sejak revolusi industri 2.0, atau malah sejak revolusi industri pertama. Jadi, awalnya dibantu oleh mesin, lalu digantikan oleh mesin, sampai akhirnya kita diatur oleh mesin. Sebelum itu terjadi, toh kita sudah dicetak seragam seperti mesin.
Kembali lagi ke lukisan seharga Rp10 miliar karya sebuah robot. Siapa yang membelinya? Kenapa ia mau membelinya? Apa kegunaannya dan tujuannya?
Katakanlah seseorang membeli lukisan seharga Rp100 juta. Mungkin "modal" lukisannya adalah Rp20 juta, dan total harga menjadi Rp100 juta itu berarti "marwah" dari karya tersebut dihargai Rp80 juta.
Maka lukisan dengan modal yang sama, namun karya pelukis terkenal akan dibeli seharga Rp1 miliar. Maka selisih harga itu bukan harga lukisan sebagai benda, tapi harga "marwah" lukisan tersebut sebagai objek estetis.
Dengan lukisan karya robot dijual seharga Rp10 miliar, modalnya mungkin hanya Rp5 jutaan, dan sisanya harga apa? Marwah, atau perasaan terdalam dari seorang robot? Respon robot tersebut dari singgungannya dengan lingkungan sosial?
Apakah seorang pelukis berbakat yang belajar melukis sejak kecil, kemudian sekolah lukis, kemudian kuliah dan akhirnya menjadi pelukis, lukisan pertamanya akan dijual seharga Rp10 miliar?
Atau, seorang pengkarya yang lain dengan proses yang sama beratnya, bakat yang sama besarnya, lalu karya pertamanya akan dihargai Rp10 miliar?
Tidak. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Apalagi di Indonesia. Jangan bermimpi, lah!
Begitu sulitnya kita menghargai sebuah karya seni. Tapi, betapa mudahnya kita menghargai karya sebuah robot?
Ada yang bilang, itu merupakan hasil karya "kolaborasi" antara robot tersebut dengan seorang seniman yang hebat. Maka seniman hebat tersebut memberikan karyanya pada sebuah robot, lalu robot itu yang melukisnya. Dan lukisannya akan tetap dihargai Rp10 miliar.
Angka itu mengejutkan, bahkan menjengkelkan. Seharusnya, robot itu yang dihargai Rp10 miliar, bukan lukisannya.
Bagaimana nanti, kalau produsen robot akhirnya berubah menjadi produsen seniman artifisial? Bagaimana nasib seniman sesungguhnya.
Sedikit kita ulangi; revolusi industri bermula dengan membantu tugas manusia dengan mesin, lalu menjadikan mesin sebagai pengganti tugas manusia. Berikutnya, mesin akan menggantikan manusia dan pada akhirnya manusia yang akan menjadi mesin, karena mesti bersaing dengan mesin.
Hidup mesin, dan mari kita merayakan pembunuhan ini dengan bahagia.