Advertisement
Ilustrasi perasaan keindahan |
pojokseni.com - Bagaimana pengalaman manusia ketika bertemu dengan keindahan? Apakah keindahan yang bersifat subjektif tersebut dirasakan dengan cara yang berbeda pula? Melalui apa dan fakultas epistemik mana pula seorang manusia mampu mengenali sebuah keindahan? Apakah manusia menemukan keindahan lewat pikiran atau perasaan?
Deretan pertanyaan tersebut sudah ditanyakan oleh filsuf zaman klasik, dan kemudian dirumuskan lagi oleh Agustinus, seorang filsuf era abad pertengahan. Keindahaan, sejak awal memang selalu dikaitkan dengan perasaan yang menyenangkan ketika berinteraksi dengannya. Maka pertanyaannya adalah, bagaimana kaitan antara "keindahan" dan "menyenangkan". Apakah benar semua yang menyenangkan itu indah, dan semua yang indah itu menyenangkan?
Maka jawaban yang dirumuskan atas pertanyaan tersebut adalah, sesuatu yang indah akan menyenangkan. Dengan kata lain, suatu hal itu menyenangkan dikarenakan indah. Keindahan dalam hal ini menjadi hal yang utama dan menjadi faktor penyebab "menyenangkan". Keindahan dianggap sebagai hal yang lebih fundamental ketimbang kesenangan. Jadinya, karya seni yang jelek (secara estetis) tidak akan menyebabkan kesenangan bagi penikmatnya.
Di abad pertengahan, para pemikir mulai dari Cicero, dan diikuti oleh Agustinus mempostulasikan ada "indra seni" di dalam tubuh manusia. Indra seni ini yang kemudian menentukan (secara subjektif) sebuah objek estetis menjadi indah atau tidak. Apabila ia menjadi indah, maka kelanjutannya karya seni itu akan menjadi menyenangkan. Kemampuan rasional (misalnya matematis) di dalam tubuh manusia dianggap sangat berpengaruh pada keindahan sebuah karya seni. Dengan kata lain, para pemikir estetika abad pertengahan menganggap karya seni bisa diperhitungkan dengan pengalaman matematis.
Karena itu, meski tidak memelajari musik secara intens, namun seseorang akan langsung dapat "mengindrakan" satu karya musik yang sesuai tempo, nadanya tepat, ritme yang pas, dan sebagainya. Proporsi seni sudah ada di dalam diri manusia, yang tadi disebut sebagai indra seni. Seni dipostulatkan dengan struktur matematis yang ketat. Manusia bisa mengenali, menerima, menolak, menikmati, dan "menghakimi" sebuah karya seni dengan "hukum seni" yang disebut sudah ada di dalam tubuh manusia secara inheren bersama dengan kemampuan matematis dan rasio.
Karena pendapat Agustinus, sejak abad pertengahan awal manusia dianggap mampu (secara universal) membandingkan antara satu hal indah dengan hal indah lainnya. Karya seni dan karya seni lainnya mulai diperlombakan karena manusia (dengan sifat bawaan) mampu menilai proporsi sebuah karya seni berdasarkan kemampuan rasionya.
Lebih lanjut, hukum seni yang matematis tadi ternyata tidak berlaku tunggal. Dengan demikian, berarti hukum seni tersebut tidak hanya berlaku untuk seni saja. Tapi setiap sendi kehidupan manusia juga mampu dinilai dengan hukum seni tersebut, menurut Agustinus. Sejak saat itu, kehidupan manusia seakan memiliki "standar tetap".
Baik moral, keimanan, seni dan keindahan, kebudayaan, serta semua hal dalam kehidupan manusia memiliki standar berdasarkan "hukum seni yang matematis" dalam tubuh manusia. Lalu, siapa yang menentukan standar tetap tersebut?
Agustinus menjawab, "Tuhan".
Maka pembahasannya mulai lepas dari epistemologi seni dan mulai beralih ke teologi seni. Pandangan ini kemudian disebut sebagai "Agustinus Christian's Perspective" atau Perspektif Kristiani Agustinus.
Baca artikel terkait: Estetika